Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Pemerintah Tak Miliki Kemampuan Baca Gelombang Protes

Kamis, 14 Mei 2020 - 07:55 WIB
loading...
Naikkan Iuran BPJS Kesehatan,...
Lokataru Foundation dan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengecam langkah pemerintah yang kembali menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan. Foto/Dok SINDO
A A A
JAKARTA - Lokataru Foundation dan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengecam langkah pemerintah yang kembali menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan . Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Peraturan Presiden No 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, per 6 Mei 2020.

"Anehnya, Presiden Joko Widodo justru mengeluarkan Peraturan Presiden No 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini akan berlaku bertahap dimulai pada 1 Juli 2020," ujar aktivis Lokataru Foundation Fian Alaydrus dalam pers rilisnya, Kamis (14/5/2020).

Fian mengatakan, melalui Perpres terbaru ini, besaran iuran BPJS Kesehatan memang lebih rendah dari Perpres yang dibatalkan oleh MA. Dalam Perpres terbaru, besaran iuran bagi Kelas III untuk kelas PBPU dan BP/Kelas Mandiri jumlahnya sebesar Rp25.500 yang sebanyak Rp16.500 dibayarkan oleh Pemerintah. Namun, kebijakan itu hanya berlaku pada tahun 2020, pada tahun 2021 besarannya akan naik menjadi Rp35.000 dengan Rp7.000 dibayarkan Pemerintah.

Sementara, bagi Kelas II PBPU dan BP/Kelas Mandiri besaran iurannya menjadi Rp100.000, lebih rendah Rp10.000 dari Perpres yang telah dibatalkan oleh MA sebelumnya. Sedangkan untuk Kelas I jumlah besaran iuran menjadi Rp150.000, lagi-lagi selisih Rp 10.000 dari Perpres sebelumnya. ( ).

"Kami menilai Pemerintah seolah hendak mempermainkan warga yang menolak secara menyeluruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak awal. Sejak wacana kenaikan iuran digulirkan hingga diberlakukannya Perpres 75 Tahun 2019 pada Januari silam, gelombang ketidaksetujuan warga telah diungkapkan melalui aksi 792.854 orang yang memilih turun kelas," ungkapnya.

Fian mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan, seharusnya Pemerintah tetap teguh berpegang pada prinsip pedoman hak atas kesehatan, salah satunya prinsip aksesibilitas keuangan yang memastikan layanan kesehatan harus terjangkau secara biaya oleh semua warga. Aksi protes turun kelas tersebut jelas mengabarkan bahwa warga kesulitan menjangkau besaran iuran yang baru secara finansial.

"Sayangnya, Pemerintah tidak memiliki sensitivitas dan kemampuan untuk membaca gelombang protes tersebut dan tetap memilih menaikkan iuran," kata Fian.

Sementara itu, perwakilan KPCDI Tony Samosir mengatakan, sebagai pihak yang sebelumnya menggugat Perpres 75 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung, kabar Pemerintah menaikkan kembali besaran iuran khususnya Kelas III PBPU/BP sangat mengecewakan. Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19, gelombang PHK juga sedang marak terjadi.

Menurutnya, hal itu mengancam keselamatan pasien penyakit kronis seperti penderita gagal ginjal yang harus tetap mengakses layanan kesehatan (hemodialisa/cuci darah) demi kelanjutan hidup. "Dengan kembali dinaikkan, artinya pembatalan kenaikan iuran hanya bertahan selama tiga bulan; April, Mei, Juni," tutur Tony. (Baca Juga: Sri Mulyani Minta BPJS Kesehatan Transparan Soal Biaya Operasional hingga Gaji).

Selain itu, lanjut Tony, kebijakan Presiden yang ngotot menaikkan iuran BPJS Kesehatan meski sebelumnya telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung adalah sebuah tabiat yang tak terpuji dalam demokrasi dan kehidupan bernegara. Putusan Mahkamah Agung seharusnya mengikat secara hukum bagi semua pihak, tak terkecuali Presiden. Karena itu, Perpres No. 64/2020 tak lain adalah sebuah upaya melawan hukum.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2084 seconds (0.1#10.140)