Fahira Idris: Mohon Maaf, Kami Sudah Berjuang Maksimal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris menegaskan sejak awal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah meminta pemerintah dan DPR menunda semua pembahasan di semua klaster dalam RUU hingga pandemi Covid-19 bisa dikendalikan.
Bagi Fahira, sebuah RUU yang mendapat penolakan luas, bahkan bukan hanya dari kalangan buruh, petani, nelayan, civil society, mahasiswa, akademisi tetapi juga ditolak organisasi keagamaan besar, menandakan RUU tersebut mengandung banyak persoalan.
Dalam merespons penolakan ini, kata dia, seharusnya pemerintah maupun DPR memformulasikan ulang draf RUU Cipta Kerja dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik atau mengedepankan prinsip keterbukaan.
“Niat ingin mempercepat kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki secara mendasar iklim investasi dan memudahkan rekrutmen tenaga kerja yang muaranya membuat pertumbuhan ekonomi, sah-sah saja. Namun, jika niat tersebut dicapai dengan meniadakan aturan-aturan lain yang juga sangat penting maka mungkin saja pertumbuhan ekonomi naik, tetapi berpotensi semu karena tidak merata dinikmati seluruh rakyat,” tutur Fahira di Jakarta, Jumat (9/10/2020).( )
Fahira mengungkapkan, DPD secara kelembagaan telah berupaya sangat keras untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dan kepentingan daerah dalam pembahasan tingkat pertama RUU Cipta Kerja.
DPD, kata dia, telah menyampaikan aspirasi rakyat dan daerah yang telah disiapkan oleh masing-masing Komite. DPD berkepentingan untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat dan menjaga agar tidak terjadi degradasi kewenangan pemerintah daerah dalam pembahasan RUU Cipta Kerja dalam 56 kali rapat panja mulai 20 April hingga 3 Oktober 2020.. (Baca: Polisi Masih Bersiaga Amankan Ibu Kota Jakarta)
Terkait dengan substansi perubahan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, DPD RI telah menyampaikan analisa substansi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap norma-norma baru yang diusulkan dalam RUU tentang Cipta Kerja.
Dia menambahkan, DPD bahkan mengusulkan untuk kembali ke UU eksisting atau dicabut dari RUU tentang Cipta Kerja. Penolakan DPD terhadap klaster UU Ketenagakerjaan juga telah disampaikan Ketua PPUU mewakili DPD pada Rapat Kapoksi dengan pimpinan DPR.
Dalam setiap pembahasan, DPD tak pernah berhenti mendesak agar kewenangan daerah tetap diakomodasi dalam RUU Cipta Kerja. Dikembalikannya kewenangan daerah dari draf awal, merupakan bukti perjuangan DPD RI untuk menjaga prinsip otonomi daerah.
Namun sayang, permintaan DPD RI secara kelembagaan untuk menghentikan dan menunda pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja sampai pandemi Covid-19 berakhir, belum berhasil dikabulkan oleh DPR dan Pemerintah sehingga pembahasan terus bergulir hingga RUU tersebut disahkan oleh DPR.
“Kesulitan DPD RI memuluskan usulannya untuk diakomodir dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja ini, disebabkan keterbatasan kewenangan DPD. Sebagai lembaga Negara seharusnya kelak DPD diberikan kewenangan yang cukup dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.
Memang, kata dia, jika merujuk Pasal 22D UU MD3, DPD hanya dapat mengajukan dan ikut membahas berbagai UU. Kewenangan pengambilan keputusan tidak diberikan kepada DPD.
Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu. Dengan Keterbatasan ruang lingkup DPD RI dalam bidang Legislasi, DPD hanya dilibatkan dalam pembahasan Tingkat I dan tidak dilibatkan langsung dalam proses pengesahan dan persetujuan RUU Cipta Kerja antara Pemerintah dengan DPR.
Fahira berharap rakyat bersedia memahami keterbatasan kewenangan DPD. Dengan segala keterbatasan kewenangan ini, DPD semaksimal mungkin telah memperjuangkan aspirasi rakyat dan kepentingan daerah dalam Omnibus law Cipta Kerja.
“Sedari dulu saya pribadi tidak pernah mengeluhkan soal keterbatasan kewenangan DPD dalam hal legislasi, karena ini menjadi konsekuensi yang harus saya jalani sebagai Anggota DPD agar lebih maksimal lagi berjuang. Namun, memang kenyataan di lapangan, keterbatasan kewenangan dalam hal legislasi ini menjadi hadangan besar bagi Anggota DPD untuk mengawal sebuah aspirasi untuk benar-benar menjadi sebuah regulasi atau UU. Mohon maaf jika belum bisa maksimal, ini karena keterbatasan kewenangan lembaga DPD RI,” pungkasnya.
Terkait aksi penolakan pengesahan RUU Cipta dari berbagai elemen masyarakat di wilayah Jakarta, Kamis 8 Oktober 2020, Fahira Idris melalui LBH Bang Japar membuka crisis center bagi siapa saja yang merasa kehilangan keluarga dan membutuhkan bantuan hukum, pendampingan dan advokasi pasca unjuk rasa dan penyampaian pendapat terkait pengesahan Omnibuslaw UU Cipta Kerja di wilayah Jakarta.
Warga yeng membutuhkan bantuan hukum, pendampingan dan advokasi bisa datang langsung ke Mako Pusat dan LBH Bang Japar, Jl. H. Sa’abun No. 20, RT.10/ RW.05, Jati Padang, Kec. Pasar Minggu, Jakarta Selatan atau bisa menghubungi 0821-6842-5158 atau 0812-9818-7060 atau 0818-4300-86. Layanan advokasi mulai pukul 10.00 sd 19.00 WIB.
Bagi Fahira, sebuah RUU yang mendapat penolakan luas, bahkan bukan hanya dari kalangan buruh, petani, nelayan, civil society, mahasiswa, akademisi tetapi juga ditolak organisasi keagamaan besar, menandakan RUU tersebut mengandung banyak persoalan.
Dalam merespons penolakan ini, kata dia, seharusnya pemerintah maupun DPR memformulasikan ulang draf RUU Cipta Kerja dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik atau mengedepankan prinsip keterbukaan.
“Niat ingin mempercepat kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki secara mendasar iklim investasi dan memudahkan rekrutmen tenaga kerja yang muaranya membuat pertumbuhan ekonomi, sah-sah saja. Namun, jika niat tersebut dicapai dengan meniadakan aturan-aturan lain yang juga sangat penting maka mungkin saja pertumbuhan ekonomi naik, tetapi berpotensi semu karena tidak merata dinikmati seluruh rakyat,” tutur Fahira di Jakarta, Jumat (9/10/2020).( )
Fahira mengungkapkan, DPD secara kelembagaan telah berupaya sangat keras untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dan kepentingan daerah dalam pembahasan tingkat pertama RUU Cipta Kerja.
DPD, kata dia, telah menyampaikan aspirasi rakyat dan daerah yang telah disiapkan oleh masing-masing Komite. DPD berkepentingan untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat dan menjaga agar tidak terjadi degradasi kewenangan pemerintah daerah dalam pembahasan RUU Cipta Kerja dalam 56 kali rapat panja mulai 20 April hingga 3 Oktober 2020.. (Baca: Polisi Masih Bersiaga Amankan Ibu Kota Jakarta)
Terkait dengan substansi perubahan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, DPD RI telah menyampaikan analisa substansi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap norma-norma baru yang diusulkan dalam RUU tentang Cipta Kerja.
Dia menambahkan, DPD bahkan mengusulkan untuk kembali ke UU eksisting atau dicabut dari RUU tentang Cipta Kerja. Penolakan DPD terhadap klaster UU Ketenagakerjaan juga telah disampaikan Ketua PPUU mewakili DPD pada Rapat Kapoksi dengan pimpinan DPR.
Dalam setiap pembahasan, DPD tak pernah berhenti mendesak agar kewenangan daerah tetap diakomodasi dalam RUU Cipta Kerja. Dikembalikannya kewenangan daerah dari draf awal, merupakan bukti perjuangan DPD RI untuk menjaga prinsip otonomi daerah.
Namun sayang, permintaan DPD RI secara kelembagaan untuk menghentikan dan menunda pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja sampai pandemi Covid-19 berakhir, belum berhasil dikabulkan oleh DPR dan Pemerintah sehingga pembahasan terus bergulir hingga RUU tersebut disahkan oleh DPR.
“Kesulitan DPD RI memuluskan usulannya untuk diakomodir dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja ini, disebabkan keterbatasan kewenangan DPD. Sebagai lembaga Negara seharusnya kelak DPD diberikan kewenangan yang cukup dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.
Memang, kata dia, jika merujuk Pasal 22D UU MD3, DPD hanya dapat mengajukan dan ikut membahas berbagai UU. Kewenangan pengambilan keputusan tidak diberikan kepada DPD.
Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu. Dengan Keterbatasan ruang lingkup DPD RI dalam bidang Legislasi, DPD hanya dilibatkan dalam pembahasan Tingkat I dan tidak dilibatkan langsung dalam proses pengesahan dan persetujuan RUU Cipta Kerja antara Pemerintah dengan DPR.
Fahira berharap rakyat bersedia memahami keterbatasan kewenangan DPD. Dengan segala keterbatasan kewenangan ini, DPD semaksimal mungkin telah memperjuangkan aspirasi rakyat dan kepentingan daerah dalam Omnibus law Cipta Kerja.
“Sedari dulu saya pribadi tidak pernah mengeluhkan soal keterbatasan kewenangan DPD dalam hal legislasi, karena ini menjadi konsekuensi yang harus saya jalani sebagai Anggota DPD agar lebih maksimal lagi berjuang. Namun, memang kenyataan di lapangan, keterbatasan kewenangan dalam hal legislasi ini menjadi hadangan besar bagi Anggota DPD untuk mengawal sebuah aspirasi untuk benar-benar menjadi sebuah regulasi atau UU. Mohon maaf jika belum bisa maksimal, ini karena keterbatasan kewenangan lembaga DPD RI,” pungkasnya.
Terkait aksi penolakan pengesahan RUU Cipta dari berbagai elemen masyarakat di wilayah Jakarta, Kamis 8 Oktober 2020, Fahira Idris melalui LBH Bang Japar membuka crisis center bagi siapa saja yang merasa kehilangan keluarga dan membutuhkan bantuan hukum, pendampingan dan advokasi pasca unjuk rasa dan penyampaian pendapat terkait pengesahan Omnibuslaw UU Cipta Kerja di wilayah Jakarta.
Warga yeng membutuhkan bantuan hukum, pendampingan dan advokasi bisa datang langsung ke Mako Pusat dan LBH Bang Japar, Jl. H. Sa’abun No. 20, RT.10/ RW.05, Jati Padang, Kec. Pasar Minggu, Jakarta Selatan atau bisa menghubungi 0821-6842-5158 atau 0812-9818-7060 atau 0818-4300-86. Layanan advokasi mulai pukul 10.00 sd 19.00 WIB.
(dam)