Di Balik Perang Azerbaijan-Armenia dan Konflik Nagorno-Karabakh yang Absurd
loading...
A
A
A
Peran Turki, Georgia, Rusia dan Iran
Perang ini memang unik karena melibatkan berbagai negara. Armenia yang penduduknya mayoritas kristen didukung oleh Iran yang mayoritas muslim Syiah. Armenia adalah negara pertama di dunia yang mengakui kristen sebagai agama resmi negaranya. Sedangkan Azerbaijan sebagai negara muslim dengan syiah sebagai mayoritas malah didukung oleh negara-negara non muslim seperti Israel dan Armenia.
Di Azerbaijan sendiri memang terdapat kampung Yahudi yang sudah lama dihuni oleh etnis Yahudi dan berlokasi dekat dengan kota Quba. Dukungan diplomatik yang utama tentu saja dari Turki sebagai sahabat dan saudara dekat satu etnis. Turki disinyalir mengirim pasukan eks kombatan ISIS dengan bayaran sekitar 30 juta rupiah perorang untuk berada digaris depan memperkuat pertahanan tentara Azerbaijan. Meski mereka sendiri tidak tahu mana kawan mana lawan.
Sebagai negara bekas jajahan Uni Sovyet dan masuk dalam wilayah Kaukasia, Georgia memilih untuk bersikap netral dan ingin menjadi mediator. Sementara Rusia dalam posisi dilema mengingat Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan sedang tidak harmonis. Dalam hal ini Rusia pun memilih bersikap netral. PM Armenia tersebut belum membahas meminta bantuan Moscow. Ia masih mengharapkan partisipasi dari Organisasi Traktat Keamanan Kolektif (CSTO), yaitu aliansi militer yang ditandatangani oleh negara-negara Eropa Timur-Asia Tengah eks Uni Sovyet yaitu Rusia, Armenia, Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan dan Uzbekistan.
Iran nampaknya akan kembali fokus pada persoalan Kaukasia Selatan. Karena selain Turki dan Rusia, pemgaruh Iran sebagai aktor regional sangat kuat. Terlebih kesepakatan nuklir blok barat Join Comprehensive on A Action (JCPOA) mengalami kegagalan. Iran akan bermain sangat hati-hati jika kedepan yang dihadapi adalah Turki dan Rusia. Turki menyatakan akan membela Azerbaijan baik di meja perindungan ataupun di medan perang, hal ini bertentangan dengan Perancis yang mendukung Armenia.
Dalam pidatonya di stasiun TV lokal (Madaniyat TV), Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev telah memerintahkan operasi kontra ofensif berskala besar. Hal itu dilakukan lantaran Armenia melakukan penyerangan bertubi-tubi terhadap Azerbaijan. Situasi ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi semua pihak. Indonesia sendiri sudah menyatakan agar perang segera dihentikan.
Di Balik konflik Nagorno-Karabakh
Perang Azerbaijan dan Armenia sejak 1988-1994 ini nampaknya akan terus menjadi perhatian dunia sejak. Satu sisi secara hukum internasional Nagorno-Karabakh masuk wilayah Azerbaijan, sementara wilayahnya dihuni etnis Armenia. Di sisi lain juga Nagorno-Karabakh ingin memisahkan diri dan merdeka sejak 1990 dan tidak diakui oleh negara manapun. Konflik Kaukasia Selatan akan mereda andai saja Armenia tidak mengganggu stabilitas keamanan di Nagorno-Karabakh apalagi sampai memprovokasi agar merdeka.
Turki dan Rusia menjadi barometer dalam konflik ini mengingat hal ini sudah diprediksi saat keruntuhan Uni Sovyet bahwa koridor pipa di Kaukasia Selatan merupakan jalur pipa sebagai akses pengiriman minyak dan gas ke pasar internasional dari laut Kaspia. Laut Kaspia sendiri sampai hari ini pun masih menjadi konflik. Dengan cadangan 16 % minyak dunia atau sekitar 200 Milyar barel, tentu menatim banyak pihal asing untuk melakukan eksploitasi.
Perang ini memang unik karena melibatkan berbagai negara. Armenia yang penduduknya mayoritas kristen didukung oleh Iran yang mayoritas muslim Syiah. Armenia adalah negara pertama di dunia yang mengakui kristen sebagai agama resmi negaranya. Sedangkan Azerbaijan sebagai negara muslim dengan syiah sebagai mayoritas malah didukung oleh negara-negara non muslim seperti Israel dan Armenia.
Di Azerbaijan sendiri memang terdapat kampung Yahudi yang sudah lama dihuni oleh etnis Yahudi dan berlokasi dekat dengan kota Quba. Dukungan diplomatik yang utama tentu saja dari Turki sebagai sahabat dan saudara dekat satu etnis. Turki disinyalir mengirim pasukan eks kombatan ISIS dengan bayaran sekitar 30 juta rupiah perorang untuk berada digaris depan memperkuat pertahanan tentara Azerbaijan. Meski mereka sendiri tidak tahu mana kawan mana lawan.
Sebagai negara bekas jajahan Uni Sovyet dan masuk dalam wilayah Kaukasia, Georgia memilih untuk bersikap netral dan ingin menjadi mediator. Sementara Rusia dalam posisi dilema mengingat Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan sedang tidak harmonis. Dalam hal ini Rusia pun memilih bersikap netral. PM Armenia tersebut belum membahas meminta bantuan Moscow. Ia masih mengharapkan partisipasi dari Organisasi Traktat Keamanan Kolektif (CSTO), yaitu aliansi militer yang ditandatangani oleh negara-negara Eropa Timur-Asia Tengah eks Uni Sovyet yaitu Rusia, Armenia, Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan dan Uzbekistan.
Iran nampaknya akan kembali fokus pada persoalan Kaukasia Selatan. Karena selain Turki dan Rusia, pemgaruh Iran sebagai aktor regional sangat kuat. Terlebih kesepakatan nuklir blok barat Join Comprehensive on A Action (JCPOA) mengalami kegagalan. Iran akan bermain sangat hati-hati jika kedepan yang dihadapi adalah Turki dan Rusia. Turki menyatakan akan membela Azerbaijan baik di meja perindungan ataupun di medan perang, hal ini bertentangan dengan Perancis yang mendukung Armenia.
Dalam pidatonya di stasiun TV lokal (Madaniyat TV), Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev telah memerintahkan operasi kontra ofensif berskala besar. Hal itu dilakukan lantaran Armenia melakukan penyerangan bertubi-tubi terhadap Azerbaijan. Situasi ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi semua pihak. Indonesia sendiri sudah menyatakan agar perang segera dihentikan.
Di Balik konflik Nagorno-Karabakh
Perang Azerbaijan dan Armenia sejak 1988-1994 ini nampaknya akan terus menjadi perhatian dunia sejak. Satu sisi secara hukum internasional Nagorno-Karabakh masuk wilayah Azerbaijan, sementara wilayahnya dihuni etnis Armenia. Di sisi lain juga Nagorno-Karabakh ingin memisahkan diri dan merdeka sejak 1990 dan tidak diakui oleh negara manapun. Konflik Kaukasia Selatan akan mereda andai saja Armenia tidak mengganggu stabilitas keamanan di Nagorno-Karabakh apalagi sampai memprovokasi agar merdeka.
Turki dan Rusia menjadi barometer dalam konflik ini mengingat hal ini sudah diprediksi saat keruntuhan Uni Sovyet bahwa koridor pipa di Kaukasia Selatan merupakan jalur pipa sebagai akses pengiriman minyak dan gas ke pasar internasional dari laut Kaspia. Laut Kaspia sendiri sampai hari ini pun masih menjadi konflik. Dengan cadangan 16 % minyak dunia atau sekitar 200 Milyar barel, tentu menatim banyak pihal asing untuk melakukan eksploitasi.
(muh)