Dominasi Kuasa di Pilkada

Rabu, 30 September 2020 - 06:24 WIB
loading...
Dominasi Kuasa di Pilkada
Gun Gun Heryanto
A A A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta


TAHAPAN Pilkada Serentak 2020 terus berlanjut, di tengah kekhawatiran banyak pihak. Saat ini, sedang berlangsung masa kampanye yang dimulai 26 September dan akan berakhir 5 Desember 2020. Artinya, ada waktu panjang bagi para pasangan calon yang bertarung untuk memersuasi basis pemilih guna memenangi kontestasi di hari H pencoblosan, 9 Desember 2020. Tentunya, gegap gempita politik citra di 9 Provinsi, 224 kabupten, dan 37 kota yang menyelenggarakan pilkada, tak menghadirkan kegembiraan dan harapan perbaikan, yang ada justeru resonansi kegamangan dan kekhawatiran dari sejumlah potensi masalah yang ada baik dari sisi pandemi, maupun sosial-politik penyelenggaraannya.

Tanggung Jawab
Yang jelas, para pihak yang paling bertanggung jawab atas risiko penyelenggaraan pilkada di musim pandemi adalah KPU/Bawaslu, pemerintah dan DPR karena atas kesekepatan merekalah pilkada tetap digelar. Suara PBNU, PP Muhammadiyah, Komnas HAM, pernyataan sikap para pegiat pemilu, para mantan penyelenggara serta suara para akademisi agar pilkada ditunda tak berpengaruh sama sekali pada perubahan sikap untuk tetap melanjutkan tahapan. Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) Bawaslu sendiri telah melansir tingkat kerawanan tinggi Covid-19 di 9 provinsi. Sementara kabupaten/kota yang rawan tinggi ada 50 daerah, kabupaten/kota yang rawan sedang 126 daerah, dan rawan rendah ada 85 kabupaten.

Sikap yang sangat wajar, jika PP Muhammadiyah memberi peringatan dini. Dalam salah satu diskusi, PP Muhammadiyah menyatakan akan menggugat pemerintah jika Covid-19 meningkat tajam usai pilkada digelar 9 Desember 2020. Sikap ini, merupakan bentuk kontrol publik atas ragam kebijakan yang berdampak luas pada masyarakat. Perlu ada upaya menuntut tanggung jawab politik, terutama dari pemerintah dan KPU. Tanggung jawab politik tersebut kongkritnya ada dua hal.

Pertama, menyangkut komitmen pemerintah yang jelas dan terukur terutama jika pilkada benar-benar menghadirkan petaka menjadi kluster baru penyebaran Covid-19. Apa yang akan pemerintah lakukan, dan bagaimana wujud nyata tanggung jawab penyelesaian masalahnya? Ikrar komitmen ini perlu publik dengar sebagai wujud hadirnya pemerintah di tengah kecemasan dan ketidakpastian yang melanda banyak kalangan akibat keputusan untuk melanjutkan tahapan pilkada ini. Hal fundamental yang harus dijaga dari warga negara yang pertama dan utama tentu saja nyawa mereka.

Kedua, tanggung jawab Bawaslu dan jajarannya untuk mengawal setiap proses yang dilalui sesuai dengan standar protokol kesehatan. Ini bukan basa-basi di musim pandemi. Sejarah mencatat, pilkada tahun ini tetap digelar, karena kesepakatan mereka. Artinya, secara langsung wajib berkontribusi pada berbagai upaya melindungi warga dari marabahaya selama proses pilkada. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terbaru Nomor 13/2020 tentang pilkada dalam kondisi bencana non alam Covid-19 banyak merevisi isi PKPU Nomor 6/2020. Aturan tentang masa kampanye yang meniadakan rapat umum, bazar, konser musik dan lain-lain yang berpotensi melahirkan perilaku kolektif tidak disiplin harus benar-benar dikawal.

Para pelanggar wajib ditindak dan diberi sanki yang tegas dan memberi efek jera ke yang lainnya. Dalam Pasal 57/KPU Nomor 13/2020, kampanye serentak ditetapkan hanya 7 metode yakni: pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, penayangan iklan, dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan perundangan-undangan. Dijelaskan Pasal 63 bahwa kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan perundang-undangan tersebut dilaksanakan dalam bentuk kampanye melalui media sosial dan media daring. Selain soal kampanye tentu masih banyak aturan-aturan yang harus dipatuhi mengacu ke penyelenggaraan pilkada di musim pandemi. KPU dan Bawaslu jangan hanya normatif menegakkan aturan main, karena pada akhirnya proses akhir pilkada akan menjadi tanggung jawab mereka. Kalau pun pilkada menjadi kluster baru nantinya, jelas dan tegas siapa yang paling bertanggung jawab untuk hal ini bukan?

Karawanan Politik
Selain isu kesehatan, kerawanan politik yang berpotensi mengancam kualitas demokrasi adalah dominasi kuasa di pilkada. Jumlah pasangan calon tungal semakin meningkat pesat di Pilkada 2020. Jika di pilkada 2015 hanya ada 3 paslon tunggal dari 269 daerah pemilihan, di pilkada 2017 ada 9 dari 101 daerah, Pilkada 2018 ada 12 dari 171 daerah, di pilkada 2020 ada 25 dari 270 daerah. Semakin banyaknya jumlah paslon tunggal dari satu pilkada ke pilkada disebabkan empat faktor utama.

Pertama, rendahnya proses kaderisasi di tubuh partai, karena kerapkali tidak ada standar pasti dalam tahapan kandidasi. Semua kembali ke selera elite utama partainya. Ini yang oleh Dennis Gouran dalam tulisannya yang berjudul The Signs of Cognitive, Affiliative, and Egosentric Constraints (1998) disebut sebagai batasan afiliatif, dimana anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri. Mereka enggan berbeda dengan elite utamanya karena tahu risiko yang akan diterimanya. Jika pun membelot dari kehendak elite utamanya dan dianggap penyimpang biasanya dengan mudah si kader tersebut akan dipecat dari partai.

Kedua, syarat ambang batas pencalonan (threshold) 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara hasil pemilu legislatif. Realitas ini, kerap menjadi hambatan serius bagi orang berkualitas untuk mendapatkan tiket menuju kompetisi. Partai menganggap dirinya maha penting, karena dapat menyediakan kendaraan menuju gelanggang permainan. Praktik ini, menyuburkan negosiasi dan mahar. Kandidasi menjadi “pasar taruhan” dan sisi gelap yang susah dijamah. Praktik ini bisa menyebabkan demokrasi elusif. Makna demokrasi elusif dalam tulisannya The Elusive Democrac-Political Parties, Democratic Institutions and Civil Society in Mexico/Latin American (2010) adalah penurunan kualitas demokrasi sebagai konsekuensi dari lambatnya konsolidasi, baik dari pemantapan kapasitas institusi demokrasi maupun kematang­an budaya politik. Penurunan kualitas demokrasi bisa dimulai dari partai politik.

Ketiga, politik berbiaya tinggi yang menyebabkan dominasi kuasa ekonomi. Orang yang menjadi calon adalah mereka yang mengendalikan sumber-sumber ekonomi dan seluruh kekuatan kumulasi di dirinya. Terlebih kalau ada pasangan calon yang mendapat “investor” dari para pengusaha yang memiliki kepentingan dengan sumber-sumber kekayaan material di daerah bersangkutan. Misalnya tambang, migas, izin usaha properti dan lain-lain. Praktik ini menyuburkan praktik oligarki. Dalam bukunya Jaffrey Winter, Oligarchy (2011), oligarki sesungguhnya bukan semata soal kekuasaan yang dikendalikan sedikit orang, melainkan ada aspek penguasaan sumberdaya material melalui pertahanan kekayaan (harta dan pendapatan). Sumberdaya material yang tidak setara secara ektrem bisa menyebabkan kumulasi dukungan kepada salah satu pasangan dan mereduksi kompetisi dengan cara sejak awal all out menguasai perahu lawan.

Pasangan calon tunggal akan menyebabkan ketiadaan alternatif pilihan, tingkat partisipasi yang berpotensi turun akibat ketidaan harapan, dan yang jelas kian menyuburkan praktik politik kartel di daerah. Jangan heran kalau praktik ini akan menjadi penyakit menahun yang terus menerus dikelola, dipertahankan guna mengamankan akses ke kekuasaan.

Satu lagi yang menjadi wajah dominasi kuasa di pilkada adalah kian menjamurnya sanak kerabat. Setidaknya ada 52 bakal calon kepala daerah yang mengikuti Pilkada 2020 terindikasi dinasti politik. Akhirnya, pilkada bukan menjadi mekanisme konsolidasi demokrasi, tetapi menjadi pintu bagi politik kekerabatan. Hal ini, diperparah jika orang yang diusung dipaksakan. Menjadi pemimpin butuh proses yang tak instan, jangan asal-asalan!
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1628 seconds (0.1#10.140)