Inggris: Covid-19, Resesi, dan Brexit
loading...
A
A
A
Ali Rama
Penerima beasiswa Mora 5000 Doktor untuk studi S3 di Universitas Aberdeen Inggris dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SEIRING dengan penurunan tren kasus Covid-19, pemerintah Inggris mulai membuka kegiatan ekonomi secara masif pada bulan Juni disertai dengan sejumlah protokol kesehatan yang harus dituruti jika beraktifitas di ruang publik termasuk menjaga jarak satu meter dan menggunakan masker. Puncak kasus korona di Inggris terjadi pada bulan April dengan jumlah rata-rata per hari sekitar 5.000 kasus terinfeksi dengan jumlah kematian mencapai sekitar 1.000 orang. Tren penyebaran virus korona mengalami penurunan signifikan pada bulan Juli bahkan angka kematian per hari semenjak bulan Juli sampai saat ini hanya sekitar rata-rata 20-30 kasus per hari. Secara akumulatif, jumlah kasus terinfeksi Covid-19 per 10 september 2020 di seluruh wilayah Inggris telah mencapai 355.219 dengan tingkat fatalitas sekitar 12%, atau 41.594 kasus kematian.
Secara global, terdapat sekitar 28 juta penduduk dunia telah terinfeksi virus korona dengan tingkat kematian mencapai sekitar 3,2%, dimana Amerika Serikat, India dan Brazil sebagai negara paling banyak terjangkiti. Inggris sendiri berada pada posisi ke-13, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia yang berada pada posisi ke-23. Ironisnya, China sebagai negara asal virus ini justru hanya berada di urutan ke-39 dari total kasus Covid-19 di dunia.
Seiring dengan pelonggaran aktivitas di ruang publik di hampir seluruh wilayah Inggris yang dimulai secara bertahap pada bulan Juni sampai saat ini, masyarakat Britania Raya tumpah ruah di pusat-pusat perbelanjaan dan rekreasi. Kegiatan ekonomi mulai bergeliat kembali setelah “terkunci” sekitar lima bulan aktibat lockdown. Namun belum lama rakyat Inggris menghirup udara kebebasan. Jumlah kasus korona di Inggris mulai meningkat kembali di bulan Sepetember ini. Akibatnya, sejumlah wilayah melakukan lokal lockdown untuk jilid kedua termasuk kota Aberdeen dimana penulis tinggal. Bahkan perdana menteri Inggris, Boris Johnson, memberlakukan pengetatan kembali untuk wilayah Inggris yang mulai berlaku pada Senin (14/09) minggu depan. Pihak pemerintah sangat berhati-hati dalam memformulasikan kebijakan untuk menekan peningkatan kasus korona, menghindari terjadinya gelombang kedua.
Perdana menteri memperkenalkan strategi baru untuk menghadapi lonjakan kasus Covid-19 di Inggris, yaitu “Operasi Moonshot” berupa tes korona virus secara massal dengan target satu juta per hari dimana hasilnya bisa diketahui hanya dalam tempo 20 menit. Strategi ini dianggap lebih efektif untuk mengidentifikasi siapa yang telah terinfeksi dan belum terinfeksi. Dan setelah diketahui hasilnya, hanya mereka yang terinfeksi saja yang harus melakukan isolasi diri. Hal ini dilakukan untuk menghindari kebijakan lockdown massal yang berdampak serius bagi perekonomian nasional. Akan tetapi kebijakan baru sang perdana menteri ini mendapatkan kritik dari sejumlah pihak terutama dari para saintis. Keterbatasan kapasitas laboratorium menjadi kendala implementasi kebijakan ini. Tes Covid-19 tidaklah semudah seperti tes kehamilan yang hasilnya bisa diketahui dalam hitungan menit. Bahkan hasil tes negatif atau positif belum bisa dijadikan patokan utama untuk identifikasi keberadaan virus ini dalam diri manusia, karena ada masa inkubasi.
Covid-19 dan kebijakan lockdown untuk menahan penyebarannya telah membawa guncangan besar bagi perekonomian Inggris. Negeri Ratu Elizabeth ini kini memasuki periode resesi terdalam semenjak 1955. Menurut rilis pusat statistik nasional (ONS), produk domestik bruto (PDB) Inggris mengalami penurunan sebesar 20,4% pada kuarter kedua dan sebesar 2,2% pada kuartal sebelumnya. Penurunan pertumbuhan ekonomi dua kali berturut-turut merupakan definsi sederhana dari resesi ekonomi.
Jika dibandingkan dengan negara G7 lainnya, Inggris merupakan negara yang mengalami penurunan GDP terbesar pada kuartal kedua, atau dua kali lipat dari Amerika Serikat yang hanya turun sebsar 10,6%. Angka penurunan tersebut masih lebih besar jika dibandingkan dengan negara Eropa lainnya yang sama-sama dihantam virus korona, yaitu Perancis, Jerman, dan Italia. Performa ekonomi yang buruk ini menjadi kritikan pedas bagi pemerintahan Boris Johnson yang dianggap gagal menahkodai perekonomian di masa-masa pandemi.
Di tengah resesi, pemerintah justru memberhantikan kebijakan skema subsidi gaji cuti (furlough wage) akibat beban fiskal yang sangat tinggi. Furlough pay adalah subsidi gaji yang diberikan oleh pemerintah Inggris bagi setiap pekerja yang mengalami cuti kerja akibat lockdown yang nilainya mencapai 70% dari gaji yang diterimanya melalui klaim perusahaan tempatnya bekerja. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya PHK massal dan sekaligus menjaga daya beli para pekerja di masa lockdown.
Selain itu, pandemi Covid-19 ini menyisakan beban jangka panjang bagi perekonomian Inggris, tidak hanya pada proses pemulihan ekonomi dan pencipataan lapangan pekerjaan tapi juga beban utang yang jumlahnya sangat besar selama pandemi. Saat puncak pandemi terjadi di bulan April dan Mei pemerintah mengalami peningkatan pinjaman sebesar 103,7 miliar poundsterling dan berdampak pada peningkatan defisit sebesar 289.4 miliar poundsterling pada 2020, tercatat sebagai defisit terbesar setelah Perang Dunia Kedua. Secara akumulatif, total utang nasional Inggris per Agustus 2020 telah mencapai sekitar 2.004 miliar poundsterling, atau 100.5% lebih besar dari total ekonominya atau PDB. Indikator ini semakin memperkuat ungkapan “after the desease, the debt”.
Di tengah Covid-19 yang belum meredah dan hantaman resesi ekonomi, Inggris juga masih disibukkan dengan urusan Brexit yang belum menemukan titik temu dimana masa transisinya akan berakhir pada akhir tahun ini. Sebagaimana diketahui, Inggris resmi keluar dari blok Uni Eropa pada akhir Januari 2020 setelah mengalami dua kali penundaan semenjak dilakukan referendum pada tahun 2016. Saat ini Inggris dan Uni Eropa berada pada masa transisi untuk membicarakan sejumlah kesepakatan paska “bercerai” terutama terkait dengan perdagangan, imigrasi, penerbangan, keamanan dan kelautan.
Inggris memang sudah keluar dari Uni Eropa yang disebut dengan kesepakatan penarikan (withdrawal agreement) tetapi belum disepakati bagaimana hubungan kedua belah pihak dimasa yang akan datang. Namun yang pastinya, pemerintah Inggris melalui perdana mentrinya sekarang, Boris Johnson, tidak akan melakukan perpanjangan transisi meskipun belum ada kesepakatan antar kedua belah pihak. Dengan demikian yang akan terjadi adalah no-deal brexit, yaitu pola hubungan antara Inggris dan Uni Eropa tidak lagi berada dalam pasar tunggal, lalu lintas barang antar kedua negara akan mengalami tarif dan pengecekan di perbatasan. Hubungan perdagangan akan menggunakan aturan WTO.
Situasi no-deal brexit yang paling dihindari terutama oleh pemerintahan sebelumnya, Theresa May, karena dampak ekonominya yang lebih tinggi bagi kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya akan semakin sulit bagi Inggris di tengah Covid-19 yang belum terkontrol dan resesi ekonomi yang sudah terjadi.
Penerima beasiswa Mora 5000 Doktor untuk studi S3 di Universitas Aberdeen Inggris dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SEIRING dengan penurunan tren kasus Covid-19, pemerintah Inggris mulai membuka kegiatan ekonomi secara masif pada bulan Juni disertai dengan sejumlah protokol kesehatan yang harus dituruti jika beraktifitas di ruang publik termasuk menjaga jarak satu meter dan menggunakan masker. Puncak kasus korona di Inggris terjadi pada bulan April dengan jumlah rata-rata per hari sekitar 5.000 kasus terinfeksi dengan jumlah kematian mencapai sekitar 1.000 orang. Tren penyebaran virus korona mengalami penurunan signifikan pada bulan Juli bahkan angka kematian per hari semenjak bulan Juli sampai saat ini hanya sekitar rata-rata 20-30 kasus per hari. Secara akumulatif, jumlah kasus terinfeksi Covid-19 per 10 september 2020 di seluruh wilayah Inggris telah mencapai 355.219 dengan tingkat fatalitas sekitar 12%, atau 41.594 kasus kematian.
Secara global, terdapat sekitar 28 juta penduduk dunia telah terinfeksi virus korona dengan tingkat kematian mencapai sekitar 3,2%, dimana Amerika Serikat, India dan Brazil sebagai negara paling banyak terjangkiti. Inggris sendiri berada pada posisi ke-13, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia yang berada pada posisi ke-23. Ironisnya, China sebagai negara asal virus ini justru hanya berada di urutan ke-39 dari total kasus Covid-19 di dunia.
Seiring dengan pelonggaran aktivitas di ruang publik di hampir seluruh wilayah Inggris yang dimulai secara bertahap pada bulan Juni sampai saat ini, masyarakat Britania Raya tumpah ruah di pusat-pusat perbelanjaan dan rekreasi. Kegiatan ekonomi mulai bergeliat kembali setelah “terkunci” sekitar lima bulan aktibat lockdown. Namun belum lama rakyat Inggris menghirup udara kebebasan. Jumlah kasus korona di Inggris mulai meningkat kembali di bulan Sepetember ini. Akibatnya, sejumlah wilayah melakukan lokal lockdown untuk jilid kedua termasuk kota Aberdeen dimana penulis tinggal. Bahkan perdana menteri Inggris, Boris Johnson, memberlakukan pengetatan kembali untuk wilayah Inggris yang mulai berlaku pada Senin (14/09) minggu depan. Pihak pemerintah sangat berhati-hati dalam memformulasikan kebijakan untuk menekan peningkatan kasus korona, menghindari terjadinya gelombang kedua.
Perdana menteri memperkenalkan strategi baru untuk menghadapi lonjakan kasus Covid-19 di Inggris, yaitu “Operasi Moonshot” berupa tes korona virus secara massal dengan target satu juta per hari dimana hasilnya bisa diketahui hanya dalam tempo 20 menit. Strategi ini dianggap lebih efektif untuk mengidentifikasi siapa yang telah terinfeksi dan belum terinfeksi. Dan setelah diketahui hasilnya, hanya mereka yang terinfeksi saja yang harus melakukan isolasi diri. Hal ini dilakukan untuk menghindari kebijakan lockdown massal yang berdampak serius bagi perekonomian nasional. Akan tetapi kebijakan baru sang perdana menteri ini mendapatkan kritik dari sejumlah pihak terutama dari para saintis. Keterbatasan kapasitas laboratorium menjadi kendala implementasi kebijakan ini. Tes Covid-19 tidaklah semudah seperti tes kehamilan yang hasilnya bisa diketahui dalam hitungan menit. Bahkan hasil tes negatif atau positif belum bisa dijadikan patokan utama untuk identifikasi keberadaan virus ini dalam diri manusia, karena ada masa inkubasi.
Covid-19 dan kebijakan lockdown untuk menahan penyebarannya telah membawa guncangan besar bagi perekonomian Inggris. Negeri Ratu Elizabeth ini kini memasuki periode resesi terdalam semenjak 1955. Menurut rilis pusat statistik nasional (ONS), produk domestik bruto (PDB) Inggris mengalami penurunan sebesar 20,4% pada kuarter kedua dan sebesar 2,2% pada kuartal sebelumnya. Penurunan pertumbuhan ekonomi dua kali berturut-turut merupakan definsi sederhana dari resesi ekonomi.
Jika dibandingkan dengan negara G7 lainnya, Inggris merupakan negara yang mengalami penurunan GDP terbesar pada kuartal kedua, atau dua kali lipat dari Amerika Serikat yang hanya turun sebsar 10,6%. Angka penurunan tersebut masih lebih besar jika dibandingkan dengan negara Eropa lainnya yang sama-sama dihantam virus korona, yaitu Perancis, Jerman, dan Italia. Performa ekonomi yang buruk ini menjadi kritikan pedas bagi pemerintahan Boris Johnson yang dianggap gagal menahkodai perekonomian di masa-masa pandemi.
Di tengah resesi, pemerintah justru memberhantikan kebijakan skema subsidi gaji cuti (furlough wage) akibat beban fiskal yang sangat tinggi. Furlough pay adalah subsidi gaji yang diberikan oleh pemerintah Inggris bagi setiap pekerja yang mengalami cuti kerja akibat lockdown yang nilainya mencapai 70% dari gaji yang diterimanya melalui klaim perusahaan tempatnya bekerja. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya PHK massal dan sekaligus menjaga daya beli para pekerja di masa lockdown.
Selain itu, pandemi Covid-19 ini menyisakan beban jangka panjang bagi perekonomian Inggris, tidak hanya pada proses pemulihan ekonomi dan pencipataan lapangan pekerjaan tapi juga beban utang yang jumlahnya sangat besar selama pandemi. Saat puncak pandemi terjadi di bulan April dan Mei pemerintah mengalami peningkatan pinjaman sebesar 103,7 miliar poundsterling dan berdampak pada peningkatan defisit sebesar 289.4 miliar poundsterling pada 2020, tercatat sebagai defisit terbesar setelah Perang Dunia Kedua. Secara akumulatif, total utang nasional Inggris per Agustus 2020 telah mencapai sekitar 2.004 miliar poundsterling, atau 100.5% lebih besar dari total ekonominya atau PDB. Indikator ini semakin memperkuat ungkapan “after the desease, the debt”.
Di tengah Covid-19 yang belum meredah dan hantaman resesi ekonomi, Inggris juga masih disibukkan dengan urusan Brexit yang belum menemukan titik temu dimana masa transisinya akan berakhir pada akhir tahun ini. Sebagaimana diketahui, Inggris resmi keluar dari blok Uni Eropa pada akhir Januari 2020 setelah mengalami dua kali penundaan semenjak dilakukan referendum pada tahun 2016. Saat ini Inggris dan Uni Eropa berada pada masa transisi untuk membicarakan sejumlah kesepakatan paska “bercerai” terutama terkait dengan perdagangan, imigrasi, penerbangan, keamanan dan kelautan.
Inggris memang sudah keluar dari Uni Eropa yang disebut dengan kesepakatan penarikan (withdrawal agreement) tetapi belum disepakati bagaimana hubungan kedua belah pihak dimasa yang akan datang. Namun yang pastinya, pemerintah Inggris melalui perdana mentrinya sekarang, Boris Johnson, tidak akan melakukan perpanjangan transisi meskipun belum ada kesepakatan antar kedua belah pihak. Dengan demikian yang akan terjadi adalah no-deal brexit, yaitu pola hubungan antara Inggris dan Uni Eropa tidak lagi berada dalam pasar tunggal, lalu lintas barang antar kedua negara akan mengalami tarif dan pengecekan di perbatasan. Hubungan perdagangan akan menggunakan aturan WTO.
Situasi no-deal brexit yang paling dihindari terutama oleh pemerintahan sebelumnya, Theresa May, karena dampak ekonominya yang lebih tinggi bagi kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya akan semakin sulit bagi Inggris di tengah Covid-19 yang belum terkontrol dan resesi ekonomi yang sudah terjadi.
(ras)