Beber Tuntas Insiden Penusukan Syekh Ali Jaber

Selasa, 15 September 2020 - 07:17 WIB
loading...
Beber Tuntas Insiden...
Belajar dari insiden Syekh Ali Jaber di Lampung, seyogyanya menjadi alarm bagi semua kalangan untuk makin hati-hati dan waspada. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
SEMUA sepakat penusukan terhadap Syekh Ali Jaber terang sekali sebagai upaya pembunuhan dan aksi keji. Jika refleks Syekh Ali Jaber tak tepat menangkis pisau pelaku saat di panggung ceramah, Minggu (13/9), kita tidak tahu, mungkin beliau mengalami luka sangat serius atau bisa jadi kehilangan nyawanya.

Bersyukur Syekh Ali Jaber selamat. Namun ini tidak selesai. Upaya pembunuhan ulama, lebih-lebih di tempat yang sangat terbuka adalah tindakan tak manusiawi sekaligus berani. Keberanian pelaku inilah yang harus dibongkar tuntas, tak sekadar sebatas identitas dan profil pelaku, namun juga motif di balik penyerangan itu.

Penuntasan kasus ini harus hati-hati. Bukan lantaran korban adalah tokoh terkenal. Namun lebih dari itu, penyerangan terhadap para tokoh agama seringkali terjadi. Dari catatan KORAN SINDO, setidaknya ada lima kasus besar penyerangan terhadap imam atau tokoh agama dalam tiga tahun terakhir. Kasus pada 2018 bahkan tercatat yang terbanyak.

Fakta ini tentu sangat miris dan memprihatinkan. Yang membuat publik tak habis pikir, seringkali aparat menyematkan faktor gangguan kejiwaan bagi pelaku. Pun, termasuk terhadap Alpin Andria, pelaku penusukan Syekh Ali Jaber yang dalam tempo cepat aparat menyatakan yang bersangkutan mengidap gangguan jiwa.

Kerja cepat adalah prestasi. Namun penuntasan cepat tanpa bukti kuat justru bisa berakibat fatal. Selain menunjukkan kebenaran semu, hakikatnya model seperti ini tak lebih menyimpan bara api saja. Artinya, persoalan fundamental tak terselesaikan, sehingga kapan pun akan pecah. Semua tinggal menunggu waktu saja. Jika kali ini menimpa Syekh Ali Jaber, bisa jadi besok akan menimpa ulama ini, kiai itu, dai ini atau tokoh agama itu.

Bagi para pelaku atau aktor intelektualnya, mereka akan merasa leluasa karena mudah sekali terlepas dari jeratan hukum. Kehampaan hukum dalam kasus-kasus seperti ini juga secara tak langsung akan makin memupuk kepercayaan calon pelaku lain. Mereka makin terinspirasi sekaligus termotivasi karena seolah mendapat amunisi yang menebalkan mental mereka.

Di tengah masih begitu runyamnya penuntasan kasus selama ini, sudah selayaknya insiden yang menimpa Syekh Ali Jaber menjadi momentum besar untuk memberi keyakinan publik. Kuncinya, penuntasan harus seterbuka mungkin dengan melibatkan berbagai ahli. Pemerintah harus berhati-hati dan memberikan kepercayaan penuh kepada tim untuk pembuktian. Dengan cara itu, maka stempel terburu-buru bahwa pelaku mengidap sakit jiwa bisa dihindari.

Di era yang makin terbuka, lebih-lebih di tengah kecanggihan teknologi informasi saat ini, sudah sewajarnya pembuktian menekankan aspek kecepatan tanpa meninggalkan kejujuran. Buru-buru demi 'stabilitas keamanan' adalah ciri khas Orde Baru.

Pun, jika aparat buru-buru mengklaim pelaku sakit jiwa, belum tentu publik sangat percaya begitu saja. Apalagi, kemarin Syekh Ali Jaber juga mengindikasikan, pelaku bukanlah sakit jiwa. Ini jika dilihat dari keberanian pelaku dan kematangan saat mengincar sasaran. Selain pasti terlatih, menurut Jaber, yang perlu dirunut adalah apakah pelaku bermain tunggal. Bisa jadi ketika pelaku terlatih, tentu ada orang yang melatihnya.

Semakin pemerintah cepat sekaligus terbuka menuntaskan kasus ini, maka akan semakin kuat menumbuhkan kepercayaan publik. Lebih dari itu, kecepatan penuntasan ini juga membuat energi masyarakat tidak terkuras pada hal-hal yang tidak perlu di tengah pandemi Covid-19. Ini beralasan, saat insiden terjadi, berbagai spekulasi bermunculan. Semakin lama kasus ini dibiarkan, sejatinya akan semakin membuat publik saling bertikai opini. Lebih-lebih jika masalah ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau ideologi tertentu, membuat kasus kian liar.

Belajar dari insiden Syekh Ali Jaber di Lampung, seyogyanya menjadi alarm bagi semua kalangan untuk makin hati-hati dan waspada. Dari sisi pengamanan, kasus ini menyisakan pelajaran berharga bahwa kendati bersifat pengajian agama, tidak lantas pengamanan kendor. Panitia kegiatan saatnya menata prosedur pengamanan baru yang lebih baik tanpa menghilangkan format acara pengajian yang umumnya bersifat nonformal.

Bagi pemerintah, jika pelaku akhirnya diketahui waras, kasus ini menunjukkan ada yang tak beres pemahaman sebagian orang terhadap memandang perbedaan. Jika penyerangan menyasar ulama, maka sangat mungkin pelaku tidak sepakat dengan isi atau model ceramahnya. Ketidaksukaan dengan diiringi dengan aksi kekerasan inilah yang harus dikikis habis. Pemerintah bersama pihak-pihak terkait saatnya menguatkan pemahaman keberagaman di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk ini. Jangan biarkan narasi gila menjadi kebiasaan. Jangan kekerasan alat untuk menjawab perbedaan. Karena apapun dalihnya, kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah yang sesungguhnya.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1110 seconds (0.1#10.140)