Kebijakan Insentif Pajak Menopang Pemulihan Ekonomi
loading...
A
A
A
John Hutagaol
Direktur Perpajakan Internasional DJP, Ketua Kompartemen Akuntan Pajak Ikatan Akuntan Indonesia
KEBIJAKAN pajak tidak semata-mata dimaksudkan untuk menghimpun penerimaan dalam rangka menopang APBN setiap tahunnya, tetapi pada saat yang bersamaan dapat digunakan pula untuk menjaga stabilitas kegiatan sosial, ekonomi, dan politik sehingga kegiatan perekonomian suatu negara dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Dengan demikian, kebijakan pajak dapat digunakan untuk tujuan budgetair, yaitu menghimpun penerimaan untuk menyangga kebutuhan APBN (pada 2020 direncanakan kontribusi penerimaan pajak pada APBN sekitar 71%) dan lainnya untuk tujuan regulerend. Dalam praktiknya walaupun dapat diterapkan secara bersama-sama, tetapi dua fungsi pajak tersebut tidak berjalan searah, melainkan berlawanan arah alias saling mengompensasi atau trade off. Dengan lain perkataan, penerapan instrumen pajak yang berfungsi sebagai budgetair akan menghasilkan penerimaan pajak (tax revenue). Tetapi, sebaliknya, bila instrumen pajak digunakan berfungsi sebagai regulerend, akan menimbulkan belanja pajak (tax expenditure).
Dua fungsi tersebut berbeda cara maupun mekanisme bekerjanya, namun memiliki kesamaan yaitu diterapkan berdasarkan prinsip keadilan (equity), kesederhanaan (simplicity), tidak diskriminasi (non discrimination), dan ekonomis, serta bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.
Umumnya arah kebijakan pajak selalu mengikuti dan menjadi bagian dari kebijakan ekonomi suatu negara dan kebijakan ekonomi tersebut sangat dinamis karena dipengaruhi oleh kondisi lanskap ekonomi yang terus-menerus mengalami transformasi. Sebagai contoh situasi ekonomi yang dihadapi dunia saat ini dan khususnya Indonesia terkait dampak disruptif dari pandemi Covid-19.
Wabah ini muncul pertama kali di akhir 2019 dan dalam waktu relatif tidak terlalu lama dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi Covid-19, dan hingga saat ini di dunia lebih dari 25 juta jiwa telah terinfeksi wabah virus ini yang dapat mematikan. Di Indonesia sudah lebih dari 200.000 jiwa yang terinfeksi, dan dinyatakan sebagai bencana nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12/2020.
Untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19, hampir di semua negara melakukan pembatasan kegiatan berinteraksi secara fisik atau dikenal dengan social distancing dengan beberapa pendekatan, yaitu ada yang sangat ketat atau lockdown atau tidak terlalu ketat seperti PSBB. Pandemi Covid-19 mengakibatkan kegiatan perekonomian melambat dan praktis terjadi dalam delapan bulan terakhir ini sehingga pertumbuhan ekonomi global pada 2020 diprakirakan akan mengalami penurun sekitar 7,6% sehingga menjadi minus 4,9%. Kontraksi pertumbuhan ekonomi global tersebut dikonfirmasi oleh pelemahan pertumbuhan keempat pilar ekonomi dunia, yaitu Amerika Serikat (-8,0%), China (1,0%), Uni Eropa (-10,2%), dan Jepang (-5,8%).
Pelemahan kondisi perekonomian empat pilar ekonomi dunia yang merupakan tujuan ekspor komoditas Indonesia itu mengakibatkan kontraksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan diproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2020 berada pada kisaran (-1,1%) hingga 0,2%. Hampir semua negara mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi domestiknya, dan yang membedakannya ada negara-negara yang pertumbuhan ekonominya sangat rentan terhadap dampak pandemi Covid-19 seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, tetapi ada pula yang memiliki daya tahan yang relatif kuat seperti China dan Indonesia. Dampak disruptif pandemi Covid-19 perlu dilakukan terapi yang tepat dan menyeluruh dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus tersebut dan sekaligus memulihkan perekonomian nasional yang terdampak oleh pandemi Covid-19.
Pemulihan Ekonomi Nasional
Dalam rangka memulihkan perekonomian nasional, diperlukan kehadiran pemerintah dalam bentuk stimulus ekonomi berupa stimulus fiskal dan moneter. Selanjutnya terkait dengan stimulus fiskal, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2/2020. Perppu Nomor 1/2020 memberikan landasan hukum bagi pemerintah untuk merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mengatasi ancaman Covid-19 di berbagai bidang, utamanya bidang kesehatan, sosial, perekonomian, serta stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72/2020 outlook defisit APBN Tahun 2020 melebar menjadi 6,34% terhadap PDB sebagai konsekuensi dari kebutuhan pendanaan untuk pemulihan ekonomi nasional sebagai akibat pandemi Covid-19.
Langkah konkret pemerintah berikutnya adalah inisiasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2020 yang kemudian diubah dengan PP Nomor 43/2020. Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari amanat Perppu Nomor 1/2020 guna penyelamatan ekonomi nasional. Dana yang telah disiapkan untuk pelaksanaan program PEN sebesar Rp695,2 triliun yang terdistribusi ke beberapa bidang, yaitu bidang kesehatan, perlindungan sosial, program sektoral kementerian/lembaga dan pemda, program bantuan UMKM, pembiayaan korporasi, serta insentif bagi dunia usaha.
Dari alokasi anggaran PEN tersebut, insentif pajak yang diberikan mencapai Rp123,01 triliun yang terdistribusi ke dalam berbagai kategori, yang terdiri atas PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, PPh final UMKM ditanggung pemerintah, pembebasan PPh Pasal 22 impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, pengembalian pendahuluan PPN, penurunan tarif PPh badan, serta cadangan dan stimulus lainnya.
Berbagai regulasi telah diterbitkan terkait dengan pemberian insentif perpajakan di antaranya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/2020 yang telah beberapa kali diganti/diubah terakhir dengan PMK Nomor 110/2020 tentang insentif pajak untuk wajib pajak terdampak wabah virus korona, PMK Nomor 28/2020 yang berisi sejumlah insentif pajak terkait dengan barang dan jasa dalam penanganan pandemi Covid-19, PP Nomor 29/2020 tentang fasilitas PPh dalam rangka penanganan Covid-19, serta PP Nomor 30/2020 mengenai penurunan tarif PPh bagi wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka.
Pemberian berbagai insentif tersebut dalam pelaksanaannya selalu dievaluasi mengikuti perkembangan dan menyesuaikan kebutuhan yang sifatnya sangat dinamis. Masukan dari para stakeholder menjadi satu di antara dasar pertimbangan dalam pemberian insentif. Sebagai contoh, PMK Nomor 23/2020 yang ditetapkan pada 21 Maret 2020 telah mengalami beberapa kali revisi, terakhir diubah melalui PMK 110/2020 yang ditetapkan pada 14 Agustus 2020. Beberapa revisi yang dilakukan terkait pemberian insentif di antaranya perluasan jumlah klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang diberikan insentif, perpanjangan jangka waktu pemberian insentif, hingga masa pajak Desember 2020, kenaikan besarnya pengurangan angsuran PPh Pasal 25 dari semula 30% menjadi 50%, penambahan jenis insentif baru berupa PPh final ditanggung pemerintah atas penghasilan jasa konstruksi tertentu serta penyederhanaan dalam hal penyampaian informasi dan pelaporan pemanfaatan insentif.
Dalam rangka memberikan fasilitas pajak bagi wajib pajak yang telah turut bergotong-royong dalam upaya pemerintah memerangi wabah Covid-19, pemerintah menerbitkan PP Nomor 29/2020 yang berisi jenis kegiatan yang mendapatkan fasilitas PPh. Fasilitas tersebut terdiri atas: (1) Tambahan pengurangan penghasilan neto bagi wajib pajak dalam negeri sebesar 30% dari biaya produksi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga dalam rangka penanganan Covid-19; (2) Sumbangan dalam rangka penanganan Covid-19 dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto; (3) Honor atau imbalan lain dari pemerintah yang diterima oleh tenaga di bidang kesehatan dalam penanganan Covid-19 dikenai PPh dengan tarif 0%; (4) Penghasilan atas penyediaan harta yang digunakan dalam penanganan Covid-19 kepada pemerintah dikenai PPh dengan tarif 0%; (5) Fasilitas berupa pemenuhan persyaratan tertentu untuk memperoleh tarif PPh badan lebih rendah bagi emiten yang melakukan pembelian kembali saham yang diperjualbelikan di bursa (stock buyback ) dalam rangka mempertahankan stabilitas pasar saham berdasarkan kebijakan pemerintah pusat atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Penutup
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengatasi atau meringankan beban pelaku usaha dan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 menunjukkan kehadiran dan kepedulian pemerintah. Untuk meminimalkan dampak disruptif pandemi Covid-19, diperlukan kerja sama dan support dari masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan penyebaran virus korona dengan menaati protokol kesehatan dan social distancing.
Dampak disruptif pandemi Covid-19 tidak saja membahayakan kesehatan dan jiwa manusia, namun juga berdampak atas perekonomian dan stabilitas sistem keuangan. Kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan terutama dalam kehidupan new normal (sambil menunggu ditemukannya vaksin) akan membantu percepatan pemulihan ekonomi secara nasional yang sudah memulai dirasakan.
Direktur Perpajakan Internasional DJP, Ketua Kompartemen Akuntan Pajak Ikatan Akuntan Indonesia
KEBIJAKAN pajak tidak semata-mata dimaksudkan untuk menghimpun penerimaan dalam rangka menopang APBN setiap tahunnya, tetapi pada saat yang bersamaan dapat digunakan pula untuk menjaga stabilitas kegiatan sosial, ekonomi, dan politik sehingga kegiatan perekonomian suatu negara dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Dengan demikian, kebijakan pajak dapat digunakan untuk tujuan budgetair, yaitu menghimpun penerimaan untuk menyangga kebutuhan APBN (pada 2020 direncanakan kontribusi penerimaan pajak pada APBN sekitar 71%) dan lainnya untuk tujuan regulerend. Dalam praktiknya walaupun dapat diterapkan secara bersama-sama, tetapi dua fungsi pajak tersebut tidak berjalan searah, melainkan berlawanan arah alias saling mengompensasi atau trade off. Dengan lain perkataan, penerapan instrumen pajak yang berfungsi sebagai budgetair akan menghasilkan penerimaan pajak (tax revenue). Tetapi, sebaliknya, bila instrumen pajak digunakan berfungsi sebagai regulerend, akan menimbulkan belanja pajak (tax expenditure).
Dua fungsi tersebut berbeda cara maupun mekanisme bekerjanya, namun memiliki kesamaan yaitu diterapkan berdasarkan prinsip keadilan (equity), kesederhanaan (simplicity), tidak diskriminasi (non discrimination), dan ekonomis, serta bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.
Umumnya arah kebijakan pajak selalu mengikuti dan menjadi bagian dari kebijakan ekonomi suatu negara dan kebijakan ekonomi tersebut sangat dinamis karena dipengaruhi oleh kondisi lanskap ekonomi yang terus-menerus mengalami transformasi. Sebagai contoh situasi ekonomi yang dihadapi dunia saat ini dan khususnya Indonesia terkait dampak disruptif dari pandemi Covid-19.
Wabah ini muncul pertama kali di akhir 2019 dan dalam waktu relatif tidak terlalu lama dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi Covid-19, dan hingga saat ini di dunia lebih dari 25 juta jiwa telah terinfeksi wabah virus ini yang dapat mematikan. Di Indonesia sudah lebih dari 200.000 jiwa yang terinfeksi, dan dinyatakan sebagai bencana nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12/2020.
Untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19, hampir di semua negara melakukan pembatasan kegiatan berinteraksi secara fisik atau dikenal dengan social distancing dengan beberapa pendekatan, yaitu ada yang sangat ketat atau lockdown atau tidak terlalu ketat seperti PSBB. Pandemi Covid-19 mengakibatkan kegiatan perekonomian melambat dan praktis terjadi dalam delapan bulan terakhir ini sehingga pertumbuhan ekonomi global pada 2020 diprakirakan akan mengalami penurun sekitar 7,6% sehingga menjadi minus 4,9%. Kontraksi pertumbuhan ekonomi global tersebut dikonfirmasi oleh pelemahan pertumbuhan keempat pilar ekonomi dunia, yaitu Amerika Serikat (-8,0%), China (1,0%), Uni Eropa (-10,2%), dan Jepang (-5,8%).
Pelemahan kondisi perekonomian empat pilar ekonomi dunia yang merupakan tujuan ekspor komoditas Indonesia itu mengakibatkan kontraksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan diproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2020 berada pada kisaran (-1,1%) hingga 0,2%. Hampir semua negara mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi domestiknya, dan yang membedakannya ada negara-negara yang pertumbuhan ekonominya sangat rentan terhadap dampak pandemi Covid-19 seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, tetapi ada pula yang memiliki daya tahan yang relatif kuat seperti China dan Indonesia. Dampak disruptif pandemi Covid-19 perlu dilakukan terapi yang tepat dan menyeluruh dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus tersebut dan sekaligus memulihkan perekonomian nasional yang terdampak oleh pandemi Covid-19.
Pemulihan Ekonomi Nasional
Dalam rangka memulihkan perekonomian nasional, diperlukan kehadiran pemerintah dalam bentuk stimulus ekonomi berupa stimulus fiskal dan moneter. Selanjutnya terkait dengan stimulus fiskal, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2/2020. Perppu Nomor 1/2020 memberikan landasan hukum bagi pemerintah untuk merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mengatasi ancaman Covid-19 di berbagai bidang, utamanya bidang kesehatan, sosial, perekonomian, serta stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72/2020 outlook defisit APBN Tahun 2020 melebar menjadi 6,34% terhadap PDB sebagai konsekuensi dari kebutuhan pendanaan untuk pemulihan ekonomi nasional sebagai akibat pandemi Covid-19.
Langkah konkret pemerintah berikutnya adalah inisiasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2020 yang kemudian diubah dengan PP Nomor 43/2020. Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari amanat Perppu Nomor 1/2020 guna penyelamatan ekonomi nasional. Dana yang telah disiapkan untuk pelaksanaan program PEN sebesar Rp695,2 triliun yang terdistribusi ke beberapa bidang, yaitu bidang kesehatan, perlindungan sosial, program sektoral kementerian/lembaga dan pemda, program bantuan UMKM, pembiayaan korporasi, serta insentif bagi dunia usaha.
Dari alokasi anggaran PEN tersebut, insentif pajak yang diberikan mencapai Rp123,01 triliun yang terdistribusi ke dalam berbagai kategori, yang terdiri atas PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, PPh final UMKM ditanggung pemerintah, pembebasan PPh Pasal 22 impor, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, pengembalian pendahuluan PPN, penurunan tarif PPh badan, serta cadangan dan stimulus lainnya.
Berbagai regulasi telah diterbitkan terkait dengan pemberian insentif perpajakan di antaranya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/2020 yang telah beberapa kali diganti/diubah terakhir dengan PMK Nomor 110/2020 tentang insentif pajak untuk wajib pajak terdampak wabah virus korona, PMK Nomor 28/2020 yang berisi sejumlah insentif pajak terkait dengan barang dan jasa dalam penanganan pandemi Covid-19, PP Nomor 29/2020 tentang fasilitas PPh dalam rangka penanganan Covid-19, serta PP Nomor 30/2020 mengenai penurunan tarif PPh bagi wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka.
Pemberian berbagai insentif tersebut dalam pelaksanaannya selalu dievaluasi mengikuti perkembangan dan menyesuaikan kebutuhan yang sifatnya sangat dinamis. Masukan dari para stakeholder menjadi satu di antara dasar pertimbangan dalam pemberian insentif. Sebagai contoh, PMK Nomor 23/2020 yang ditetapkan pada 21 Maret 2020 telah mengalami beberapa kali revisi, terakhir diubah melalui PMK 110/2020 yang ditetapkan pada 14 Agustus 2020. Beberapa revisi yang dilakukan terkait pemberian insentif di antaranya perluasan jumlah klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang diberikan insentif, perpanjangan jangka waktu pemberian insentif, hingga masa pajak Desember 2020, kenaikan besarnya pengurangan angsuran PPh Pasal 25 dari semula 30% menjadi 50%, penambahan jenis insentif baru berupa PPh final ditanggung pemerintah atas penghasilan jasa konstruksi tertentu serta penyederhanaan dalam hal penyampaian informasi dan pelaporan pemanfaatan insentif.
Dalam rangka memberikan fasilitas pajak bagi wajib pajak yang telah turut bergotong-royong dalam upaya pemerintah memerangi wabah Covid-19, pemerintah menerbitkan PP Nomor 29/2020 yang berisi jenis kegiatan yang mendapatkan fasilitas PPh. Fasilitas tersebut terdiri atas: (1) Tambahan pengurangan penghasilan neto bagi wajib pajak dalam negeri sebesar 30% dari biaya produksi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga dalam rangka penanganan Covid-19; (2) Sumbangan dalam rangka penanganan Covid-19 dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto; (3) Honor atau imbalan lain dari pemerintah yang diterima oleh tenaga di bidang kesehatan dalam penanganan Covid-19 dikenai PPh dengan tarif 0%; (4) Penghasilan atas penyediaan harta yang digunakan dalam penanganan Covid-19 kepada pemerintah dikenai PPh dengan tarif 0%; (5) Fasilitas berupa pemenuhan persyaratan tertentu untuk memperoleh tarif PPh badan lebih rendah bagi emiten yang melakukan pembelian kembali saham yang diperjualbelikan di bursa (stock buyback ) dalam rangka mempertahankan stabilitas pasar saham berdasarkan kebijakan pemerintah pusat atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Penutup
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengatasi atau meringankan beban pelaku usaha dan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 menunjukkan kehadiran dan kepedulian pemerintah. Untuk meminimalkan dampak disruptif pandemi Covid-19, diperlukan kerja sama dan support dari masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan penyebaran virus korona dengan menaati protokol kesehatan dan social distancing.
Dampak disruptif pandemi Covid-19 tidak saja membahayakan kesehatan dan jiwa manusia, namun juga berdampak atas perekonomian dan stabilitas sistem keuangan. Kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan terutama dalam kehidupan new normal (sambil menunggu ditemukannya vaksin) akan membantu percepatan pemulihan ekonomi secara nasional yang sudah memulai dirasakan.
(ras)