Bongkar Praktik Mahar Politik Pencalonan Kepala Daerah

Kamis, 10 September 2020 - 09:02 WIB
loading...
Bongkar Praktik Mahar...
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Proses pencalonan kepala daerah di pilkada belum bisa lepas dari transaksi. Untuk mendapatkan rekomendasi partai politik, seorang calon kepala daerah harus mengeluarkan uang mahar hingga miliaran rupiah. Hal itu ditengarai juga marak terjadi pada proses pencalonan kepala daerah untuk Pilkada 2020.

Praktik membayar mahar kepada parpol ibarat lagu lama yang terus berputar setiap kali pilkada digelar. Memang tidak mudah membuktikannya, tapi pada kenyataannya praktik tersebut ada dan sudah jadi rahasia umum. (Baca: Mengenalkan Ketauhidan Sejak Dini Pada Anak)

Indikasi politik mahar masih terjadi di Pilkada 2020 ini antara lain tergambar melalui pernyataan Bupati Jember Faida. Calon petahana yang menolak mendaftar lewat parpol dan memilih jalur calon perseorangan ini mendadak viral berkaitan dengan pernyataannya saat menjadi pembicara pada sebuah webinar yang diselenggarakan pada 25 Agustus lalu.

Pada video yang beredar di media sosial itu Faida mengeluhkan mengapa untuk mendapat rekomendasi parpol calon harus mengeluarkan uang bermiliar-miliar, sementara gaji bupati hanya rata-rata Rp6 juta plus ditambah insentif. Biaya pencalonan miliaran itu, menurut dia, membuat seorang kepala daerah sulit menjadi pemimpin yang tegak lurus saat terpilih.

Keluhan Faida sejalan dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat rapat dengan Komite I DPD RI pada 18 November 2019. Saat itu Tito menyebut biaya besar yang dikeluarkan calon antara lain demi mendapat kendaraan politik dari parpol. Menurut Tito, seorang calon bupati jika tidak memiliki Rp30 miliar tidak akan berani maju di pilkada. (Baca juga: Pandemi, UI Tetap Berlakukan PJJ Pada Tahun Ajaran Baru)

Transaksi politik berupa mahar ditengarai jadi komponen pembiayaan paling besar bagi seorang calon di pilkada. Satu kursi parpol di DPRD bisa dihargai 500 juta hingga Rp1 miliar.

Transaksi politik ini dikecam banyak pihak karena tidak sejalan dengan prinsip demokrasi. Ini membuat biaya politik semakin mahal. Akibatnya, banyak kepala daerah terjerat kasus pidana karena harus mengganti biaya politiknya dengan segala cara, termasuk korupsi atau menerima suap.

Selama periode Desember 2002 hingga Oktober 2019 jumlah kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sebanyak 119 orang. Dari jumlah itu 47 (39,4%) di antaranya terjaring melalui operasi tangkap tangan. Dengan masih maraknya praktik mahar di pilkada kali ini, publik tidak bisa berharap akan lahir banyak pemimpin berkualitas dan berintegritas yang bisa membawa kemajuan bagi daerah.

Evaluasi Menyeluruh

Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan, saat ini banyak keluhan soal perkembangan demokrasi di Tanah Air yang disebut makin pragmatis, liar, liberal, dan tidak terkendali. Itu antara lain ditandai dengan maraknya politik uang di pilkada.

“Kalau seperti ini kita sulit membangun demokrasi yang berkualitas dan berintegritas,” ujarnya saat dihubungi kemarin. (Baca juga: Ternyata Tidur Bisa Cegah Alzheimer)

Untuk mengakhiri praktik politik menyimpang itu, dia meminta agar dilakukan evaluasi menyeluruh, termasuk elite parpol perlu mengevaluasi diri masing-masing. “Evaluasinya, lepaskan kepentingan jangka pendek golongan, harus melihat kepentingan lebih luas, jangka panjang, agar peradaban demokrasi kita meningkat. Kita kan harus menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas,” katanya.

Jimly juga menyoroti model pencalonan di pilkada, yaitu parpol berkoalisi mengusung calon. Menurut dia, kalau hajatannya pemilihan presiden wajar jika dibentuk koalisi parpol karena nanti akan ada pembentukan kabinet setelah pemerintahan terbentuk.

Anggota koalisi parpol ini nantinya akan berbagi jabatan di kabinet. Namun, di pilkada tidak ada pembentukan kabinet sehingga parpol seharusnya tidak diperlukan. “Bahayanya nanti ketika terpilih yang dibagi oleh kepala daerah ini adalah proyek-proyek,” ujarnya. (Lihat videonya: Jokowi Minta Semua Pihak Merancang Pembinaan Atlet)

Menurut Jimly, idealnya calon kepala daerah jangan dikaitkan dengan partai. Partai tidak perlu mengusung calon, biar nanti kepala daerah saat terpilih bisa dekat dengan semua partai.

Karena itu pula saat bertugas di Mahkamah Konstitusi (MK) dia memberi ruang bagi munculnya calon independen. Tujuannya agar jangan semua calon lewat partai demi menghindari banyak konflik kepentingan seperti saat ini.

“Tapi di undang-undang, independen ini dipersulit dengan syarat yang berat. Menjadi calon independen jadi lebih mahal, bahkan independen dimusuhi parpol,” ujar mantan ketua MK ini. (Lihat videonya: Limbah Medis Rumah Sakit Mencemari Sungai Cisadane)

Tidak perlu khawatir akan banyak calon yang muncul jika pencalonan tidak melalui mekanisme partai. Karena toh pada akhirnya akan dibuat syarat yang ketat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga calon yang lolos untuk dipilih hanya yang benar-benar memenuhi kriteria.

“Saya usulkan agar pencalonan itu independen saja semua. Di situ pengurus parpol boleh ikut calon, tapi tidak perlu diusung parpol. Syaratnya saja yang diperketat,” katanya. (Bakti M Munir)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1337 seconds (0.1#10.140)