Gus Yahya: Jangan Jadikan NU Batu Loncatan Berebut Kekuasaan Politik

Rabu, 11 Maret 2020 - 17:43 WIB
Gus Yahya: Jangan Jadikan NU Batu Loncatan Berebut Kekuasaan Politik
Gus Yahya: Jangan Jadikan NU Batu Loncatan Berebut Kekuasaan Politik
A A A
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia selalu menjadi magnet berbagai kalangan, termasuk untuk kepentingan memperebutkan kekuasaan politik.

Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, hal ini menjadi kekhawatiran ketika NU hanya dijadikan sebagai batu loncatan untuk meraih kedudukan-kedudukan tertentu dalam arena politik.

"Paling saya khawatirkan sekarang ini kalau sampai ada pola calon presiden atau wakil presiden dari PBNU. Kenapa? Karena kemudian orang berkompetisi untuk dapat meraih kepemimpinan di dalam NU ini sebagai batu loncatan untuk bertarung untuk mencapai kedudukan-kedudukan politik. Ini menurut saya berbahaya," tutur pria yang biasa disapa Gus Yahya saat peluncuran buku PBNU Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (11/3/2020).

Gus Yahya mengatakan, sebelumnya sudah tiga kali pimpinan NU ikut bertarung dalam bursa Pilpres. Dua di antaranya berhasil, yakni ketiga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sebelumnya pernah menjadi Ketua Umum PBNU terpilih sebagai presiden, dan KH Ma'ruf Amin yang sebelumnya menjadi Rais Aam PBNU sekrang menduduki posisi wakil presiden.

Sementara mantan Ketua Umum PBNU lainnya KH Hasyim Muzadi juga pernah maju sebagai cawapres bergandengan dengan Megawati Soekarnoputri, namun gagal. (Baca juga:

Gus Yahya khawatir ketika NU dijadikan batu loncatan politik maka forum-forum musyawarah NU menjadi ajang kompetisi politik dari berbagai macam kekuatan, mulai dari tingkat bawah hingga pusat. "Itu kekhawatiran saya sekarang. Bapak-ibu bisa membayangkan betapa bahayanya," tuturnya.

Karena itu, menurut Gus Yahya, konstruksi tersebut harus diubah sehingga ke depan benar-benar NU secara fungsional bisa memberikan kemaslahatan. Untuk itu, posisi NU harus lebih inklusif, tidak lalu berhadap-hadapan atau bertabrakan dengan kelompok manapun. (Baca Juga: Gus Sholah, NU, dan Sindrom Peter Pan)

Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini juga berharap PBNU bisa berfungsi seperti Kabinet, PWNU seperti pemerintah provinsi, dan PCNU seperti pemerintahan kabupaten/kota yang memiliki agenda dan target capaian secara nasional melalui aktivisme dari bawah.

"Ini yang harus dilakukan ke depan. Dengan cara itu, NU akan kembali fungsional nyata sebagai organisasi, bukan hanya simbol-simbul untuk menggalang kekuatan supaya NU tidak menjadi batu loncatan politik," tuturnya.

Ketua Harian Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas mengatakan, apa yang disampaikan Gus Yahya tersebut harus dipahami sebagai bagian kritik akibat beberapa fenomena tentang orang-orang yang mengaku NU, tetapi tidak menjalankan akidah NU.

"Orang-orang yang mau masuk NU bagi yang belum NU, tapi bukan dengan tujuan ber-NU. tapi menjadikan NU sebagai bagian sarana untuk mencapai tujuan dan agenda pribadinya," tuturnya. '

Karena itu, kata Robikin, tugas seluruh fungsionaris NU adalah menginternalisasi nilai-nilai NU dengan misi sucinya, yakni membangun peradaban, perdamaian dunia, kesetaraan dalam tata pergaulan diri dan berbangsa.

"Ujungnya adalah untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera," tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.9942 seconds (0.1#10.140)