Anak ISIS eks WNI Berpeluang Dipulangkan ke Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah membuka peluang pemulangan anak-anak yatim kombatan ISIS eks warga negara Indonesia (WNI). Kendati demikian, peluang tersebut tidak akan diberikan kepada mereka yang berusia dewasa.
Peluang pemulangan anak-anak yatim tersebut akan dilakukan setelah dilakukan pendataan lengkap sekitar 689 kombatan ISIS eks WNI yang saat ini berada di Suriah dan sekitarnya. Dari situ akan diketahui anak-anak yatim berusia di bawah 10 tahun putra-putri ISIS eks WNI yang bisa dipulangkan ke Indonesia. “Kita memang masih akan berikan peluang untuk yang yatim, yatim piatu yang berada pada posisi anak-anak di bawah 10 tahun. Tapi, kita belum tahu apakah ada atau tidak ada. Saya kira pemerintah tegas untuk hal ini,” ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi)di Istana Negara, kemarin. (Baca: Mahfud MD Tegaskan Tidak Ada Proses Hukum untuk WNI eks ISIS)
Dia menjelaskan, secara umum pemerintah memutuskan tidak akan memulangkan ISIS eks WNI ke Tanah Air. Keputusan tersebut demi keamanan 267 juta jiwa penduduk yang ada di Indonesia. “Pemerintah tidak memiliki rencana untuk memulangkan orang-orang yang ada di sana, ISIS eks WNI,” katanya.
Dia mengatakan telah memerintahkan jajarannya untuk mengidentifikasi 689 WNI yang sebelumnya tergabung dengan ISIS. Hal ini dilakukan untuk mengantispasi jika WNI-WNI itu mencoba masuk ke Indonesia. “Saya perintahkan agar diidentifikasi satu per satu 689 orang yang ada di sana. Nama dan siapa berasal dari mana sehingga data itu komplet. Sehingga cegah tangkal bisa dilakukandi sini kalau data itu dimasukkan ke imigrasi,” katanya.
Ketua DPP PKB Bidang Pertahanan dan Keamanan Yaqut Cholil Qoumas menilai sikap pemerintah untuk tidak memulangkan eks WNI kombatan ISIS sudah tepat dan baik. Kendati begitu, Gus Yaqut menilai sikap pemerintah tersebut bersayap. “Apa yang dikatakan pemerintah dengan tidak akan memulangkan eks kombatan ISIS itu menurut saya bersayap. Ada satu pertanyaan, kalau pulang sendiri bagaimana atau difasilitasi yang lain itu bagai mana? Apa sikap pemerintah? Kemarin itu tidak dijelaskan,” ujarnya di sela Diskusi Reboan bertajuk “Kombatan ISIS Tidak Dipulangkan, What ís Next?” di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, kemarin.
Selain itu, Gus Yaqut juga mempertanyakan soal penggunaan data jumlah eks kombatan ISIS yang mengacu pada data CIA. “Kenapa pakai data CIA? Kayak kita ini nggak punya lembaga inteligen saja. Kita ini punya BIN, kita punya BAIS. Menko Polhukam ngomong berdasarkan data yang diberikan CIA ada sekian ratus WNI yang jadi kombatan ISIS. Itu kan menurut saya ini kayak menafikan lembaga inteligen yang kita punya,” kata anggota Komisi II DPR RI ini.
Gus Yaqut mengatakan, dalam konteks ini pemerintah hanya mencoba “memadamkanapi”, namun tidak pernah mencari sumber apinya di mana sehingga upaya penanganannya selalu terlambat karena tidak ada upaya preventif yang serius. “Misalnya, pemerintah membatasi ruang gerak sumber ajaran radikal, yakni yang kita tahu adalah Wahabi dan Salafi. Ini tak diatasi. Kita bisa temui di BUMN-BUMN, misalnya, banyak pendakwah masih mengajarkan ajaran Salafi, Wahabi, ini sumber ajaran radikal. Ini tidak dilakukan dengan baik. Semestinya kan cari sebabnya, lalu diatasi,” tuturnya.
Pemerintah juga seharusnya terbuka atas persoalan kelompok teroris ini. Dia mencontohkan, pada 2019 lalu, terjadi dua gelombang pemulangan eks kombatan ISIS sekitar 50 orang. “Mereka sekarang bagaimana? Apakah mereka sudah kembali menerima NKRI, melawan ideologi jihad yang mereka pegang, atau bagaimana? Tidak terbuka pemerintah,” katanya. (Baca juga: Langkah Pemerintah Tak Pulangkan Eks ISIS Sesuai Arahan PBNU)
Gus Yaqut berharap dalam upaya melakukan deradikalisasi agar melibatkan peran serta masyarakat. “Jangan menganggap deradikaliasasi dalam frameproject. Ini kan ancaman serius, bukan hanya project. Kalau tak melibatkan masyarakat, maka kita wajib mencurigai pemerintah pakai frame project,” katanya.
Sementara itu, Sekjen DPPPKB Hasanuddin Wahid mengatakan, penanganan soal eks kombatan ISIS ini harus komprehensif dari hulu hingga hilir. Setelah mereka tidak dipulangkan, harus jelas apa langkah selanjutnya. “Harus ada penyelesaian menyeluruh. Ini persoalan hajat hidup rakyat Indonesia, bahkan dunia. Dan tak ada negara yang tak melihat ISIS ini sebagai sebuah persoalan,” katanya.
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional Dinna Wishnu mengatakan, ISIS merupakan salah satu bukti bahwa proxy war itu nyata adanya. Dijelaskannya, proxy war merupakan perang tidak langsung yang sebenarnya diciptakan oleh negara-negara besar untuk menggali manfaat langsung dari ketegangan-ketegangan dan ketakutan kekuasaan di wilayah-wilayah tertentu. “Artinya tangan mereka tidak harus kotor langsung sehingga orang tidak bisa melacak secara persis siapa pelaku negaranya, tetapi segala konsekuensinya akan ditanggung oleh negara-negara yang kena imbas, baik yang terdekat maupun sektor strategisnya juga akan terganggu,” tuturnya.
Dia mencontohkan di Timur Tengah, perang yang terjadi hampir selalu kaitannya dengan minyak dan gas. Karena itu, menurutnya, Indonesia penting untuk memikirkan konteks proxy war karena masih terus diciptakan dan dipakai oleh negara-negara besar, bahkan lebih sering dipakai ketimbang pada masa perang dingin masih berlangsung.
“Artinya negara-negara besar ini memang ingin menciptakan satu fasad, lapisan luar yang tidak tembus pandang, tidak nyata langsung dari luar bahwa mereka melakukan hal-hal yang sebenarnya patut dikritisi dan ditolak di tingkat internasional,” katanya.
Sementara itu, Analis Konflik dan Terorisme Alto Luger mengapresiasi respons cepat pemerintah atas keinginan sebagian besar WNI untuk tidak membuat masalah dengan memulangkan eks kombatan ISIS ke Indonesia. Namun, menurutnya, masih banyak pekerjaan rumah (PR) pemerintah, misalnya soal proses identifikasi 689 orang ini apakah semua teroris atau tidak. Kedua, sudah ada deportan yang kembali ke Indonesia. Pemerintah seharusnya memiliki mekanisme baik agar bagaimana mereka tidak kembali bergabung dengan ISIS atau kelompok radikal lainnya. (Dita Angga /Abdul Rochim)
Peluang pemulangan anak-anak yatim tersebut akan dilakukan setelah dilakukan pendataan lengkap sekitar 689 kombatan ISIS eks WNI yang saat ini berada di Suriah dan sekitarnya. Dari situ akan diketahui anak-anak yatim berusia di bawah 10 tahun putra-putri ISIS eks WNI yang bisa dipulangkan ke Indonesia. “Kita memang masih akan berikan peluang untuk yang yatim, yatim piatu yang berada pada posisi anak-anak di bawah 10 tahun. Tapi, kita belum tahu apakah ada atau tidak ada. Saya kira pemerintah tegas untuk hal ini,” ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi)di Istana Negara, kemarin. (Baca: Mahfud MD Tegaskan Tidak Ada Proses Hukum untuk WNI eks ISIS)
Dia menjelaskan, secara umum pemerintah memutuskan tidak akan memulangkan ISIS eks WNI ke Tanah Air. Keputusan tersebut demi keamanan 267 juta jiwa penduduk yang ada di Indonesia. “Pemerintah tidak memiliki rencana untuk memulangkan orang-orang yang ada di sana, ISIS eks WNI,” katanya.
Dia mengatakan telah memerintahkan jajarannya untuk mengidentifikasi 689 WNI yang sebelumnya tergabung dengan ISIS. Hal ini dilakukan untuk mengantispasi jika WNI-WNI itu mencoba masuk ke Indonesia. “Saya perintahkan agar diidentifikasi satu per satu 689 orang yang ada di sana. Nama dan siapa berasal dari mana sehingga data itu komplet. Sehingga cegah tangkal bisa dilakukandi sini kalau data itu dimasukkan ke imigrasi,” katanya.
Ketua DPP PKB Bidang Pertahanan dan Keamanan Yaqut Cholil Qoumas menilai sikap pemerintah untuk tidak memulangkan eks WNI kombatan ISIS sudah tepat dan baik. Kendati begitu, Gus Yaqut menilai sikap pemerintah tersebut bersayap. “Apa yang dikatakan pemerintah dengan tidak akan memulangkan eks kombatan ISIS itu menurut saya bersayap. Ada satu pertanyaan, kalau pulang sendiri bagaimana atau difasilitasi yang lain itu bagai mana? Apa sikap pemerintah? Kemarin itu tidak dijelaskan,” ujarnya di sela Diskusi Reboan bertajuk “Kombatan ISIS Tidak Dipulangkan, What ís Next?” di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, kemarin.
Selain itu, Gus Yaqut juga mempertanyakan soal penggunaan data jumlah eks kombatan ISIS yang mengacu pada data CIA. “Kenapa pakai data CIA? Kayak kita ini nggak punya lembaga inteligen saja. Kita ini punya BIN, kita punya BAIS. Menko Polhukam ngomong berdasarkan data yang diberikan CIA ada sekian ratus WNI yang jadi kombatan ISIS. Itu kan menurut saya ini kayak menafikan lembaga inteligen yang kita punya,” kata anggota Komisi II DPR RI ini.
Gus Yaqut mengatakan, dalam konteks ini pemerintah hanya mencoba “memadamkanapi”, namun tidak pernah mencari sumber apinya di mana sehingga upaya penanganannya selalu terlambat karena tidak ada upaya preventif yang serius. “Misalnya, pemerintah membatasi ruang gerak sumber ajaran radikal, yakni yang kita tahu adalah Wahabi dan Salafi. Ini tak diatasi. Kita bisa temui di BUMN-BUMN, misalnya, banyak pendakwah masih mengajarkan ajaran Salafi, Wahabi, ini sumber ajaran radikal. Ini tidak dilakukan dengan baik. Semestinya kan cari sebabnya, lalu diatasi,” tuturnya.
Pemerintah juga seharusnya terbuka atas persoalan kelompok teroris ini. Dia mencontohkan, pada 2019 lalu, terjadi dua gelombang pemulangan eks kombatan ISIS sekitar 50 orang. “Mereka sekarang bagaimana? Apakah mereka sudah kembali menerima NKRI, melawan ideologi jihad yang mereka pegang, atau bagaimana? Tidak terbuka pemerintah,” katanya. (Baca juga: Langkah Pemerintah Tak Pulangkan Eks ISIS Sesuai Arahan PBNU)
Gus Yaqut berharap dalam upaya melakukan deradikalisasi agar melibatkan peran serta masyarakat. “Jangan menganggap deradikaliasasi dalam frameproject. Ini kan ancaman serius, bukan hanya project. Kalau tak melibatkan masyarakat, maka kita wajib mencurigai pemerintah pakai frame project,” katanya.
Sementara itu, Sekjen DPPPKB Hasanuddin Wahid mengatakan, penanganan soal eks kombatan ISIS ini harus komprehensif dari hulu hingga hilir. Setelah mereka tidak dipulangkan, harus jelas apa langkah selanjutnya. “Harus ada penyelesaian menyeluruh. Ini persoalan hajat hidup rakyat Indonesia, bahkan dunia. Dan tak ada negara yang tak melihat ISIS ini sebagai sebuah persoalan,” katanya.
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional Dinna Wishnu mengatakan, ISIS merupakan salah satu bukti bahwa proxy war itu nyata adanya. Dijelaskannya, proxy war merupakan perang tidak langsung yang sebenarnya diciptakan oleh negara-negara besar untuk menggali manfaat langsung dari ketegangan-ketegangan dan ketakutan kekuasaan di wilayah-wilayah tertentu. “Artinya tangan mereka tidak harus kotor langsung sehingga orang tidak bisa melacak secara persis siapa pelaku negaranya, tetapi segala konsekuensinya akan ditanggung oleh negara-negara yang kena imbas, baik yang terdekat maupun sektor strategisnya juga akan terganggu,” tuturnya.
Dia mencontohkan di Timur Tengah, perang yang terjadi hampir selalu kaitannya dengan minyak dan gas. Karena itu, menurutnya, Indonesia penting untuk memikirkan konteks proxy war karena masih terus diciptakan dan dipakai oleh negara-negara besar, bahkan lebih sering dipakai ketimbang pada masa perang dingin masih berlangsung.
“Artinya negara-negara besar ini memang ingin menciptakan satu fasad, lapisan luar yang tidak tembus pandang, tidak nyata langsung dari luar bahwa mereka melakukan hal-hal yang sebenarnya patut dikritisi dan ditolak di tingkat internasional,” katanya.
Sementara itu, Analis Konflik dan Terorisme Alto Luger mengapresiasi respons cepat pemerintah atas keinginan sebagian besar WNI untuk tidak membuat masalah dengan memulangkan eks kombatan ISIS ke Indonesia. Namun, menurutnya, masih banyak pekerjaan rumah (PR) pemerintah, misalnya soal proses identifikasi 689 orang ini apakah semua teroris atau tidak. Kedua, sudah ada deportan yang kembali ke Indonesia. Pemerintah seharusnya memiliki mekanisme baik agar bagaimana mereka tidak kembali bergabung dengan ISIS atau kelompok radikal lainnya. (Dita Angga /Abdul Rochim)
(ysw)