PKS Kritik Penjelasan Menag Soal Polemik RUU Ciptaker Terkait Pesantren
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi angkat bicara mengenai polemik Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) yang mengancam eksistensi pesantren serta membuka peluang kriminalisasi bagi ulama atau kiai pengasuh pondok pesantren. Melalui rilisnya pada hari Senin (31/8/2020), Fachrul Razi memastikan bahwa penyelenggaraan pesantren tetap diatur oleh Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren .
Fachrul Razi mengklaim masalah pendirian pesantren merujuk pada UU tersebut dan tidak ada aturan tentang sanksi pidana di dalamnya. Menag beralasan bahwa UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah UU 'lex specialis' sehingga berlaku kaidah 'lex specialis derogat legi generali', yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf mempertanyakan logika yang digunakan oleh Menag Fachrul Razi dalam penjelasannya tersebut. Menurut Bukhori, pencermatan Menag Fachrul Razi dalam melihat isu ini kurang komprehensif sehingga menimbulkan celah.
( ).
Pertama, pada Pasal 15 UU Nomor 18/2019 tentang Pesantren disebutkan bahwa Pesantren melaksanakan fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional. "Ini menunjukkan bahwa pesantren adalah bagian dari pendidikan nasional sebagai induk utama dalam pendidikan," ujar Bukhori dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/9/2020).
Selain itu, kata dia, penyelenggaraan pendidikan nasional sesungguhnya telah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003. Sehingga, lanjut dia, UU Pesantren sebenarnya telah cukup menjadi payung dan dasar untuk pendirian sekaligus perlindungan terhadap pesantren. Sayangnya, kata dia, perihal sanksi tidak diatur sama sekali dalam UU tersebut. "Kami tetap khawatir apabila Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan akan menimbulkan potensi kriminalisasi," kata Bukhori yang merupakan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Sementara, ketentuan pidana atau sanksi di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diatur dalam pasal 67 sampai dengan pasal 71.
Kedua, sambungnya, isu ini tengah diadvokasikan oleh rekan-rekan di Komisi X DPR RI. Anggota DPR di Komisi X berencana mengajukan ke Panja Baleg dalam waktu dekat agar perubahan terhadap UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikeluarkan dari Omnibus Law RUU Cipta Kerja termasuk regulasi terkait sanksi.
( ).
"Langkah yang kami lakukan ini sebagai peringatan kepada pemerintah agar tidak main-main dengan regulasi terkait sanksi, apalagi dalam UU Pesantren juga tidak mengatur ihwal sanksi. Sebab, apabila kami tidak menyuarakannya sejak sekarang, kami khawatir pemerintah akan abai terhadap potensi kriminalisasi masyarakat karena alasan mendirikan pondok pesantren. Ini akan sangat memilukan," imbuhnya.
Bukhori menganggap, kendati di dalam UU Pesantren tidak mengatur terkait sanksi, apabila ada pihak yang mempersoalkan pendirian pesantren, sangat mungkin pihak ini merujuk pada UU Sisdiknas. Sedangkan apabila UU Sisdiknas ini berhasil diubah melalui RUU Cipta Kerja, konsekuensinya adalah ulama atau kiai yang mendirikan ponpes tanpa izin bisa dikriminalisasi.
( ).
Sebab, lanjut dia, dalam UU Pesantren tidak ada ketentuan yang mengatur sanksi terkait pesantren yang tidak memiliki izin sehingga ketentuan mengenai sanksi akhirnya merujuk pada UU Sisdiknas. Bukhori mengatakan, Menag Fachrul Razi jangan lupa bahwa terdapat asas hukum lain yang berbunyi 'Lex Posterior Derogat Legi Priori' yang berarti bahwa hukum yang terbaru (Lex Posterior) mengesampingkan hukum yang lama (Lex Prior).
"Artinya, apabila Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan tanpa adanya perbaikan terhadap Pasal 71 UU Sisdiknas versi RUU Cipta Kerja, khususnya perihal sanksi, maka posisi lembaga pendidikan, khususnya pesantren yang tidak memiliki izin berpotensi dikriminalisasi melalui pasal tersebut. Oleh karena itu, terkait pendirian pesantren saya mengusulkan agar bisa dikecualikan dari sanksi pidana atau penjara," pungkasnya.
Fachrul Razi mengklaim masalah pendirian pesantren merujuk pada UU tersebut dan tidak ada aturan tentang sanksi pidana di dalamnya. Menag beralasan bahwa UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah UU 'lex specialis' sehingga berlaku kaidah 'lex specialis derogat legi generali', yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf mempertanyakan logika yang digunakan oleh Menag Fachrul Razi dalam penjelasannya tersebut. Menurut Bukhori, pencermatan Menag Fachrul Razi dalam melihat isu ini kurang komprehensif sehingga menimbulkan celah.
( ).
Pertama, pada Pasal 15 UU Nomor 18/2019 tentang Pesantren disebutkan bahwa Pesantren melaksanakan fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional. "Ini menunjukkan bahwa pesantren adalah bagian dari pendidikan nasional sebagai induk utama dalam pendidikan," ujar Bukhori dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/9/2020).
Selain itu, kata dia, penyelenggaraan pendidikan nasional sesungguhnya telah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003. Sehingga, lanjut dia, UU Pesantren sebenarnya telah cukup menjadi payung dan dasar untuk pendirian sekaligus perlindungan terhadap pesantren. Sayangnya, kata dia, perihal sanksi tidak diatur sama sekali dalam UU tersebut. "Kami tetap khawatir apabila Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan akan menimbulkan potensi kriminalisasi," kata Bukhori yang merupakan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Sementara, ketentuan pidana atau sanksi di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diatur dalam pasal 67 sampai dengan pasal 71.
Kedua, sambungnya, isu ini tengah diadvokasikan oleh rekan-rekan di Komisi X DPR RI. Anggota DPR di Komisi X berencana mengajukan ke Panja Baleg dalam waktu dekat agar perubahan terhadap UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikeluarkan dari Omnibus Law RUU Cipta Kerja termasuk regulasi terkait sanksi.
( ).
"Langkah yang kami lakukan ini sebagai peringatan kepada pemerintah agar tidak main-main dengan regulasi terkait sanksi, apalagi dalam UU Pesantren juga tidak mengatur ihwal sanksi. Sebab, apabila kami tidak menyuarakannya sejak sekarang, kami khawatir pemerintah akan abai terhadap potensi kriminalisasi masyarakat karena alasan mendirikan pondok pesantren. Ini akan sangat memilukan," imbuhnya.
Bukhori menganggap, kendati di dalam UU Pesantren tidak mengatur terkait sanksi, apabila ada pihak yang mempersoalkan pendirian pesantren, sangat mungkin pihak ini merujuk pada UU Sisdiknas. Sedangkan apabila UU Sisdiknas ini berhasil diubah melalui RUU Cipta Kerja, konsekuensinya adalah ulama atau kiai yang mendirikan ponpes tanpa izin bisa dikriminalisasi.
( ).
Sebab, lanjut dia, dalam UU Pesantren tidak ada ketentuan yang mengatur sanksi terkait pesantren yang tidak memiliki izin sehingga ketentuan mengenai sanksi akhirnya merujuk pada UU Sisdiknas. Bukhori mengatakan, Menag Fachrul Razi jangan lupa bahwa terdapat asas hukum lain yang berbunyi 'Lex Posterior Derogat Legi Priori' yang berarti bahwa hukum yang terbaru (Lex Posterior) mengesampingkan hukum yang lama (Lex Prior).
"Artinya, apabila Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan tanpa adanya perbaikan terhadap Pasal 71 UU Sisdiknas versi RUU Cipta Kerja, khususnya perihal sanksi, maka posisi lembaga pendidikan, khususnya pesantren yang tidak memiliki izin berpotensi dikriminalisasi melalui pasal tersebut. Oleh karena itu, terkait pendirian pesantren saya mengusulkan agar bisa dikecualikan dari sanksi pidana atau penjara," pungkasnya.
(zik)