Menanti Gebrakan 100 Hari Pertama Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran
loading...
A
A
A
Dia mengamini bila keyakinan Prabowo ingin mengubah potret Indonesia di mata rakyat dan dunia tidak semudah membalik telapak tangan. Menurutnya, memberantas elite-elite rakus dan kelompok pengusaha hitam membutuhkan keberanian, ketegasan, dan kecerdikan mengendalikan serta mengelola masalah yang melibatkan kekuasaan di semua lini.
Pieter berpandangan pembentukan kabinet gemuk itu terkesan setengah hati. Dia melanjutkan, posisi-posisi strategis yang seharusnya tidak boleh menjadi alat kompromi politik justru diisi oleh figur-figur yang diragukan kredibilitas dan integritasnya.
Padahal, menurut dia, jabatan-jabatan strategis semestinya dipegang oleh orang-orang yang berintegritas dan setia kepada bangsa, bukan kepada pengusaha hitam yang selama ini selalu terlibat mendanai politik praktis untuk menghantam kredibilitas pemimpin negara.
Dia membandingkan kabinet gemuk Prabowo dengan kabinet Kanada di bawah PM Justin Trudeau pada 2015 yang sering dipuji sebagai salah satu kabinet terbaik di dunia karena diisi oleh figur-figur kompeten. Setiap kementerian dipimpin oleh tokoh yang ahli di bidangnya.
Salah satu contohnya, Menteri Kesehatan yang dijabat oleh seorang dokter dengan pengalaman belasan tahun di Afrika. Lalu, Menteri Transportasi adalah seorang astronaut.
"Bandingkan dengan Indonesia, di mana jabatan menteri masih sering menjadi alat politik balas budi. Jika kabinet Prabowo-Gibran ingin sukses, mereka harus belajar dari pengalaman tersebut, dengan menempatkan orang-orang yang benar-benar kompeten dan tidak hanya memenuhi tuntutan politik," ungkap Pieter.
Dia berpendapat, pembentukan kabinet gemuk ini membuat ambisi Presiden Prabowo di tengah situasi dan kondisi geopolitik global kian tidak menentu. Padahal, hal itu dianggap menjadi salah satu tantangan besar bagi pemerintahan baru.
"Ketika ketegangan antarnegara meningkat, perekonomian global pun terguncang, berdampak pada sektor-sektor vital di Indonesia, mulai lembaga keuangan, tekstil hingga manufaktur, dan masih banyak lagi kegiatan industri nasional merasakan dampak deflasi. Dalam situasi seperti ini, kabinet yang efektif harus memiliki arah kebijakan yang jelas dan cepat tanggap terhadap krisis," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, kabinet yang besar berisiko terjebak dalam tarik ulur kepentingan. Dia mengatakan dengan lebih banyak kementerian, keputusan yang harusnya bisa diambil cepat malah bisa terhambat. "Belum lagi permasalahan klasik seperti korupsi dan kinerja yang tidak jujur kerap menggerogoti sistem birokrasi pemerintahan," ucapnya.
Pieter berpandangan pembentukan kabinet gemuk itu terkesan setengah hati. Dia melanjutkan, posisi-posisi strategis yang seharusnya tidak boleh menjadi alat kompromi politik justru diisi oleh figur-figur yang diragukan kredibilitas dan integritasnya.
Padahal, menurut dia, jabatan-jabatan strategis semestinya dipegang oleh orang-orang yang berintegritas dan setia kepada bangsa, bukan kepada pengusaha hitam yang selama ini selalu terlibat mendanai politik praktis untuk menghantam kredibilitas pemimpin negara.
Dia membandingkan kabinet gemuk Prabowo dengan kabinet Kanada di bawah PM Justin Trudeau pada 2015 yang sering dipuji sebagai salah satu kabinet terbaik di dunia karena diisi oleh figur-figur kompeten. Setiap kementerian dipimpin oleh tokoh yang ahli di bidangnya.
Salah satu contohnya, Menteri Kesehatan yang dijabat oleh seorang dokter dengan pengalaman belasan tahun di Afrika. Lalu, Menteri Transportasi adalah seorang astronaut.
"Bandingkan dengan Indonesia, di mana jabatan menteri masih sering menjadi alat politik balas budi. Jika kabinet Prabowo-Gibran ingin sukses, mereka harus belajar dari pengalaman tersebut, dengan menempatkan orang-orang yang benar-benar kompeten dan tidak hanya memenuhi tuntutan politik," ungkap Pieter.
Dia berpendapat, pembentukan kabinet gemuk ini membuat ambisi Presiden Prabowo di tengah situasi dan kondisi geopolitik global kian tidak menentu. Padahal, hal itu dianggap menjadi salah satu tantangan besar bagi pemerintahan baru.
"Ketika ketegangan antarnegara meningkat, perekonomian global pun terguncang, berdampak pada sektor-sektor vital di Indonesia, mulai lembaga keuangan, tekstil hingga manufaktur, dan masih banyak lagi kegiatan industri nasional merasakan dampak deflasi. Dalam situasi seperti ini, kabinet yang efektif harus memiliki arah kebijakan yang jelas dan cepat tanggap terhadap krisis," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, kabinet yang besar berisiko terjebak dalam tarik ulur kepentingan. Dia mengatakan dengan lebih banyak kementerian, keputusan yang harusnya bisa diambil cepat malah bisa terhambat. "Belum lagi permasalahan klasik seperti korupsi dan kinerja yang tidak jujur kerap menggerogoti sistem birokrasi pemerintahan," ucapnya.