Pemberantasan Korupsi Dinilai Jadi Tantangan Berat Kabinet Prabowo-Gibran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemberantasan korupsi dinilai menjadi tantangan paling berat bagi kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nantinya. Hal itu menurut Pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli.
Dia berpendapat, ketimpangan sosial yang semakin lebar akan terjadi jika birokrasi di Indonesia terlalu berbelit-belit dan kebijakannya hanya menguntungkan segelintir elite politik dan pengusaha besar. Dia menuturkan, uang negara yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan malah banyak tersedot ke kantong-kantong pribadi.
“Akibatnya, rakyat kecil semakin terpuruk dalam kemiskinan,” kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Kamis (17/10/2024).
Menurut dia, korupsi yang telah mengakar di berbagai lapisan pemerintahan menjadi salah satu tantangan terbesar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Prabowo-Gibran diyakininya bakal berhadapan dengan tuntutan besar untuk membersihkan birokrasi yang kotor dan mengakhiri praktik korupsi yang merugikan rakyat.
Dia juga menilai Prabowo-Gibran dihadapkan pada tugas berat untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan. Dalam konteks ini, kabinet yang bakal dibentuk harus berisi individu-individu yang tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki integritas tinggi.
"Masyarakat mendambakan para pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu mengambil tindakan nyata dalam memberantas korupsi dan memperbaiki birokrasi yang rusak," tuturnya.
Pieter juga mengingatkan kembali bahwa masyarakat sedang mengawasi susunan kabinet Prabowo-Gibran, khususnya menanti realisi janji Prabowo yang ingin mengisi kursi menterinya dengan sosok-sosok profesional. Dia pun menyoroti langkah Prabowo yang memanggil para calon menteri dan kepala lembaga ke kediamannya di Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Upaya Prabowo membentuk kabinet zaken menjadi salah satu yang paling disorot Pieter. "Prabowo telah berjanji akan membentuk kabinet zaken, kabinet yang diisi oleh individu-individu profesional dan ahli di bidangnya. Mengingat tantangan dalam negeri dan regional yang semakin kompleks," tuturnya.
Dia melanjutkan, kehadiran tokoh-tokoh berkompeten di kabinet menjadi kebutuhan yang paling mendesak, sekalipun realitas politik Indonesia sering kali membuat lebih rumit. Pieter menyinggung banyaknya tokoh politik dari partai pendukung maupun oposisi yang hadir dalam pertemuan di rumah Prabowo Kertanegara tersebut.
Menurut dia, hal itu jelas menimbulkan spekulasi publik apakah Prabowo akan berkompromi dengan mengakomodasi kepentingan politik dalam susunan kabinetnya. "Di tengah kondisi seperti ini, apakah janji zaken kabinet akan tetap terjaga, ataukah kompromi politik akan menjadi penentu utama?" imbuhnya.
Dia juga memandang kompromi politik, terutama dalam pembentukan kabinet adalah praktik yang wajar dalam demokrasi. Sebab, mengelola negara dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan beragam tantangan politik memerlukan stabilitas yang seringkali dicapai melalui perjanjian politik.
Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa rakyat berharap kompromi itu dilakukan demi kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan segelintir elite. Sayangnya, kata dia, sejarah panjang Indonesia yang diwarnai oleh praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme masih membekas hingga kini.
“Sementara, biaya hidup yang tinggi, pendidikan mahal, dan lapangan pekerjaan yang sulit ditemukan merupakan realitas yang menghantui banyak rakyat kecil. Janji-janji perubahan seringkali terkikis oleh kepentingan pribadi dan politik sempit," ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa mimpi Indonesia maju seringkali hancur di tangan oknum elite yang serakah. Bahkan, ujar dia, lembaga-lembaga hukum yang seharusnya berperan sebagai penjaga moral bangsa terkadang turut serta dalam praktik-praktik kotor ini.
Dalam situasi seperti ini, dia mengingatkan, harapan rakyat terhadap pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran semakin membesar. Pieter menuturkan rakyat sudah lama berharap bahwa pemimpin baru bakal mampu membentuk kabinet yang tidak hanya terdiri dari politikus atau loyalis partai, tetapi juga diisi oleh orang-orang dengan kompetensi dan kapabilitas yang jelas.
Dia mengatakan, munculnya kabinet zaken tidak lepas dari ketidakpuasan terhadap komposisi kabinet di masa-masa sebelumnya. Salah satunya, yang kerap dinilai sebagai bagi-bagi kekuasaan antarpartai politik tanpa mempertimbangkan kebutuhan bangsa akan profesionalisme.
Bahkan netizen Indonesia menyebutnya sebagai jabatan 'give away'. "Prabowo Subianto, sebagai figur yang dikenal tegas, memiliki tugas berat untuk memilih jajaran menterinya yang mampu menghadapi situasi global yang penuh ketidakpastian,” ucapnya.
Dia menambahkan, kenaikan harga pangan, krisis energi, serta ancaman resesi global menuntut pemerintah baru untuk mengambil kebijakan yang tidak hanya populis, tetapi juga efektif dan solutif. “Inilah saatnya Prabowo dan Gibran menunjukkan bahwa mereka serius dalam membentuk zaken kabinet yang berfokus pada hasil, bukan sekadar popularitas," kata dia.
Dia juga mengatakan bahwa rakyat yang selama bertahun-tahun kecewa dengan janji-janji kosong politik, menaruh harapan besar pada pemerintahan Prabowo-Gibran. Masyarakat berharap kabinet baru nantinya akan diisi oleh para profesional yang kompeten dalam menangani krisis sektor strategis seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, energi, dan penegakan hukum.
"Apalagi dengan Gibran yang dikenal sebagai sosok muda dengan perspektif segar, banyak yang optimis bahwa duet ini bisa menghadirkan perubahan yang nyata," kata dia.
Kendati demikian, Pieter berpendapat jalan untuk mewujudkan harapan tersebut tidaklah mudah. Seperti yang sudah menjadi tradisi dalam politik Indonesia, kompromi politik kerap kali menjadi faktor penentu dalam pembentukan kabinet.
Dia menilai, para pemimpin partai politik yang mendukung koalisi tentu akan meminta jatah kekuasaan. Hal inilah yang kerap kali menimbulkan dilema. Dia berpandangan, sejarah telah membuktikan bahwa kabinet yang diisi oleh kalangan profesional kerap kali berhasil membawa perubahan signifikan.
Salah satu contoh adalah masa pemerintahan BJ Habibie, yang berhasil menghadirkan kabinet yang banyak diisi oleh teknokrat dan profesional, meskipun dalam situasi yang penuh tantangan. "Model inilah yang diharapkan oleh rakyat dari Prabowo dan Gibran, yang sama-sama memiliki latar belakang yang tidak asing dengan dunia militer dan birokrasi," ujar Pieter Zulkifli.
Pieter pun menekankan kabinet yang kompeten tidak hanya harus mampu mengatasi masalah-masalah domestik, tetapi juga harus siap menghadapi tantangan di kancah internasional. Terlebih, dunia sedang berada di tengah pergolakan besar, dengan rivalitas antara negara adidaya yang bisa berdampak langsung pada kestabilan politik dan ekonomi Indonesia.
"Di sinilah peran menteri luar negeri yang kuat, misalnya, menjadi sangat krusial untuk memastikan bahwa Indonesia tetap berada di jalur diplomasi yang aman dan strategis," katanya.
Pieter Zulkifli juga berpendapat sektor ekonomi memerlukan sosok yang berani mengambil kebijakan inovatif dan tidak takut untuk melakukan reformasi struktural yang sudah lama tertunda. Dengan keadaan ekonomi global yang tidak stabil, Indonesia butuh menteri ekonomi yang mampu berpikir visioner.
"Tetapi tetap realistis dalam menghadapi tantangan domestik seperti pengangguran, inflasi, deflasi, dampak besar jika terjadi resesi ekonomi nasional, hingga ketimpangan sosial yang dari dulu tidak pernah tersentuh kebijakan pemerintah," kata dia.
Dia berharap pemerintahan baru ini tidak hanya efektif dalam melaksanakan program kerja, tetapi juga inklusif dalam mendengarkan suara-suara dari berbagai elemen masyarakat. Maka itu, pembentukan kabinet yang beragam, baik dari segi latar belakang profesional, etnis, maupun gender, menjadi penting untuk memastikan representasi yang adil.
"Prabowo dan Gibran juga harus mampu merangkul generasi muda dalam pemerintahan mereka. Dengan Gibran sebagai simbol pemimpin muda, ekspektasi publik sangat tinggi bahwa pemerintahan ini akan lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan inovasi yang dibawa oleh anak-anak muda," kata Pieter.
Dia menegaskan pembentukan kabinet bukan hanya tentang memberikan kursi kepada generasi muda, tetapi juga tentang bagaimana memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil relevan dengan kebutuhan masa depan Indonesia. Selain itu, Pieter Zulkifli mengatakan di tengah kondisi dunia yang kian kompleks, rakyat berharap kabinet Prabowo-Gibran tidak hanya mampu merespons krisis dengan cepat, tetapi juga mempersiapkan Indonesia untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
Rakyat ingin melihat kabinet yang bekerja atas dasar kepentingan nasional, bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan di antara partai politik. Kabinet Prabowo-Gibran harus berani melakukan perubahan besar dalam sistem yang sudah terlanjur rusak, membangun kembali tata kelola pemerintahan yang adil, bersih, dan berpihak pada rakyat.
“Jika tidak, Indonesia akan terus terperangkap dalam siklus kekuasaan yang berputar tanpa akhir, meninggalkan rakyat dalam kemiskinan dan kebodohan. Seperti dikatakan Konfusius: 'Hukum yang baik adalah hukum yang membuat rakyat patuh tanpa harus diawasi terus-menerus'. Pemimpin yang bijaksana akan menyesuaikan diri dengan penderitaan rakyat, bukan sebaliknya," pungkasnya.
Dia berpendapat, ketimpangan sosial yang semakin lebar akan terjadi jika birokrasi di Indonesia terlalu berbelit-belit dan kebijakannya hanya menguntungkan segelintir elite politik dan pengusaha besar. Dia menuturkan, uang negara yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan malah banyak tersedot ke kantong-kantong pribadi.
“Akibatnya, rakyat kecil semakin terpuruk dalam kemiskinan,” kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Kamis (17/10/2024).
Menurut dia, korupsi yang telah mengakar di berbagai lapisan pemerintahan menjadi salah satu tantangan terbesar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Prabowo-Gibran diyakininya bakal berhadapan dengan tuntutan besar untuk membersihkan birokrasi yang kotor dan mengakhiri praktik korupsi yang merugikan rakyat.
Dia juga menilai Prabowo-Gibran dihadapkan pada tugas berat untuk memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan. Dalam konteks ini, kabinet yang bakal dibentuk harus berisi individu-individu yang tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki integritas tinggi.
"Masyarakat mendambakan para pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu mengambil tindakan nyata dalam memberantas korupsi dan memperbaiki birokrasi yang rusak," tuturnya.
Pieter juga mengingatkan kembali bahwa masyarakat sedang mengawasi susunan kabinet Prabowo-Gibran, khususnya menanti realisi janji Prabowo yang ingin mengisi kursi menterinya dengan sosok-sosok profesional. Dia pun menyoroti langkah Prabowo yang memanggil para calon menteri dan kepala lembaga ke kediamannya di Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Upaya Prabowo membentuk kabinet zaken menjadi salah satu yang paling disorot Pieter. "Prabowo telah berjanji akan membentuk kabinet zaken, kabinet yang diisi oleh individu-individu profesional dan ahli di bidangnya. Mengingat tantangan dalam negeri dan regional yang semakin kompleks," tuturnya.
Dia melanjutkan, kehadiran tokoh-tokoh berkompeten di kabinet menjadi kebutuhan yang paling mendesak, sekalipun realitas politik Indonesia sering kali membuat lebih rumit. Pieter menyinggung banyaknya tokoh politik dari partai pendukung maupun oposisi yang hadir dalam pertemuan di rumah Prabowo Kertanegara tersebut.
Menurut dia, hal itu jelas menimbulkan spekulasi publik apakah Prabowo akan berkompromi dengan mengakomodasi kepentingan politik dalam susunan kabinetnya. "Di tengah kondisi seperti ini, apakah janji zaken kabinet akan tetap terjaga, ataukah kompromi politik akan menjadi penentu utama?" imbuhnya.
Dia juga memandang kompromi politik, terutama dalam pembentukan kabinet adalah praktik yang wajar dalam demokrasi. Sebab, mengelola negara dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan beragam tantangan politik memerlukan stabilitas yang seringkali dicapai melalui perjanjian politik.
Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa rakyat berharap kompromi itu dilakukan demi kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan segelintir elite. Sayangnya, kata dia, sejarah panjang Indonesia yang diwarnai oleh praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme masih membekas hingga kini.
“Sementara, biaya hidup yang tinggi, pendidikan mahal, dan lapangan pekerjaan yang sulit ditemukan merupakan realitas yang menghantui banyak rakyat kecil. Janji-janji perubahan seringkali terkikis oleh kepentingan pribadi dan politik sempit," ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa mimpi Indonesia maju seringkali hancur di tangan oknum elite yang serakah. Bahkan, ujar dia, lembaga-lembaga hukum yang seharusnya berperan sebagai penjaga moral bangsa terkadang turut serta dalam praktik-praktik kotor ini.
Dalam situasi seperti ini, dia mengingatkan, harapan rakyat terhadap pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran semakin membesar. Pieter menuturkan rakyat sudah lama berharap bahwa pemimpin baru bakal mampu membentuk kabinet yang tidak hanya terdiri dari politikus atau loyalis partai, tetapi juga diisi oleh orang-orang dengan kompetensi dan kapabilitas yang jelas.
Dia mengatakan, munculnya kabinet zaken tidak lepas dari ketidakpuasan terhadap komposisi kabinet di masa-masa sebelumnya. Salah satunya, yang kerap dinilai sebagai bagi-bagi kekuasaan antarpartai politik tanpa mempertimbangkan kebutuhan bangsa akan profesionalisme.
Bahkan netizen Indonesia menyebutnya sebagai jabatan 'give away'. "Prabowo Subianto, sebagai figur yang dikenal tegas, memiliki tugas berat untuk memilih jajaran menterinya yang mampu menghadapi situasi global yang penuh ketidakpastian,” ucapnya.
Dia menambahkan, kenaikan harga pangan, krisis energi, serta ancaman resesi global menuntut pemerintah baru untuk mengambil kebijakan yang tidak hanya populis, tetapi juga efektif dan solutif. “Inilah saatnya Prabowo dan Gibran menunjukkan bahwa mereka serius dalam membentuk zaken kabinet yang berfokus pada hasil, bukan sekadar popularitas," kata dia.
Dia juga mengatakan bahwa rakyat yang selama bertahun-tahun kecewa dengan janji-janji kosong politik, menaruh harapan besar pada pemerintahan Prabowo-Gibran. Masyarakat berharap kabinet baru nantinya akan diisi oleh para profesional yang kompeten dalam menangani krisis sektor strategis seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, energi, dan penegakan hukum.
"Apalagi dengan Gibran yang dikenal sebagai sosok muda dengan perspektif segar, banyak yang optimis bahwa duet ini bisa menghadirkan perubahan yang nyata," kata dia.
Kendati demikian, Pieter berpendapat jalan untuk mewujudkan harapan tersebut tidaklah mudah. Seperti yang sudah menjadi tradisi dalam politik Indonesia, kompromi politik kerap kali menjadi faktor penentu dalam pembentukan kabinet.
Dia menilai, para pemimpin partai politik yang mendukung koalisi tentu akan meminta jatah kekuasaan. Hal inilah yang kerap kali menimbulkan dilema. Dia berpandangan, sejarah telah membuktikan bahwa kabinet yang diisi oleh kalangan profesional kerap kali berhasil membawa perubahan signifikan.
Salah satu contoh adalah masa pemerintahan BJ Habibie, yang berhasil menghadirkan kabinet yang banyak diisi oleh teknokrat dan profesional, meskipun dalam situasi yang penuh tantangan. "Model inilah yang diharapkan oleh rakyat dari Prabowo dan Gibran, yang sama-sama memiliki latar belakang yang tidak asing dengan dunia militer dan birokrasi," ujar Pieter Zulkifli.
Pieter pun menekankan kabinet yang kompeten tidak hanya harus mampu mengatasi masalah-masalah domestik, tetapi juga harus siap menghadapi tantangan di kancah internasional. Terlebih, dunia sedang berada di tengah pergolakan besar, dengan rivalitas antara negara adidaya yang bisa berdampak langsung pada kestabilan politik dan ekonomi Indonesia.
"Di sinilah peran menteri luar negeri yang kuat, misalnya, menjadi sangat krusial untuk memastikan bahwa Indonesia tetap berada di jalur diplomasi yang aman dan strategis," katanya.
Pieter Zulkifli juga berpendapat sektor ekonomi memerlukan sosok yang berani mengambil kebijakan inovatif dan tidak takut untuk melakukan reformasi struktural yang sudah lama tertunda. Dengan keadaan ekonomi global yang tidak stabil, Indonesia butuh menteri ekonomi yang mampu berpikir visioner.
"Tetapi tetap realistis dalam menghadapi tantangan domestik seperti pengangguran, inflasi, deflasi, dampak besar jika terjadi resesi ekonomi nasional, hingga ketimpangan sosial yang dari dulu tidak pernah tersentuh kebijakan pemerintah," kata dia.
Dia berharap pemerintahan baru ini tidak hanya efektif dalam melaksanakan program kerja, tetapi juga inklusif dalam mendengarkan suara-suara dari berbagai elemen masyarakat. Maka itu, pembentukan kabinet yang beragam, baik dari segi latar belakang profesional, etnis, maupun gender, menjadi penting untuk memastikan representasi yang adil.
"Prabowo dan Gibran juga harus mampu merangkul generasi muda dalam pemerintahan mereka. Dengan Gibran sebagai simbol pemimpin muda, ekspektasi publik sangat tinggi bahwa pemerintahan ini akan lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan inovasi yang dibawa oleh anak-anak muda," kata Pieter.
Dia menegaskan pembentukan kabinet bukan hanya tentang memberikan kursi kepada generasi muda, tetapi juga tentang bagaimana memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil relevan dengan kebutuhan masa depan Indonesia. Selain itu, Pieter Zulkifli mengatakan di tengah kondisi dunia yang kian kompleks, rakyat berharap kabinet Prabowo-Gibran tidak hanya mampu merespons krisis dengan cepat, tetapi juga mempersiapkan Indonesia untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
Rakyat ingin melihat kabinet yang bekerja atas dasar kepentingan nasional, bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan di antara partai politik. Kabinet Prabowo-Gibran harus berani melakukan perubahan besar dalam sistem yang sudah terlanjur rusak, membangun kembali tata kelola pemerintahan yang adil, bersih, dan berpihak pada rakyat.
“Jika tidak, Indonesia akan terus terperangkap dalam siklus kekuasaan yang berputar tanpa akhir, meninggalkan rakyat dalam kemiskinan dan kebodohan. Seperti dikatakan Konfusius: 'Hukum yang baik adalah hukum yang membuat rakyat patuh tanpa harus diawasi terus-menerus'. Pemimpin yang bijaksana akan menyesuaikan diri dengan penderitaan rakyat, bukan sebaliknya," pungkasnya.
(rca)