Bertemu Dirjen Bimas Buddha Kemenag, Hikmahbudhi Dukung Pemasangan Chattra Borobudur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (PP Hikmahbudhi) melakukan audiensi dengan Kementerian Agama (Kemenag) , Sabtu (25/8/2024). Dipimpin Ketua PP Hikmahbudhi Candra Aditiya Nugraha diterima Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Buddha Kemenag Supriyadi.
"Pada pertemuan tersebut membahas perihal pemasangan Chattra di Candi Borobuddur. Chattra di Candi Borobudur sebagai payung di stupa Candi Borobudur atau sebagai pelindung, yang memiliki akan syarat makna mendalam dan spiritualitas bagi Umat Buddha," ujar Candra dalam keterangannya, Minggu (25/8/2024).
Lebih lanjut, kata Candra mengungkapkan memberikan dorongan dan dukungan terkait tentang pemasangan Chattra di Candi Borobudur. Memahami artian Chattra, Chattra memiliki arti payung atau pelindung dalam sutta/sutra dalam agama Buddha.
Salah satunya yang terdapat dalam Mucalindasutta dari Udana II,1 yang menjelaskan bahwa pada ketika Buddha baru saja mencapai Pencerahan Sempurna dan belum bergeming dari tempat duduknya di bawah pohon Bodhi. Raja Naga Mucalinda pernah datang dan melingkari tubuh Sang Buddha sebanyak tujuh kali menggunakan ekornya, lalu menegakkan badannya sembari mengembangkan kepalanya di atas Buddha dan memayungi Buddha dari cuaca panas maupun dingin, dari serangga, dari teriknya matahari, dan dari binatang-binatang buas lainnya.
"Kisah ini bisa dilihat sebagai salah satu cerita paling awal dalam kanon Buddha tentang peran payung sebagai sebuah pelindung. Lalitavistara Sutra adalah sebuah sutra Mahayana yang populer, bahkan diabadikan dalam 120 relief di Candi Borobudur. Sutra ini diajarkan oleh Buddha di Sravasti, Jetavana, Anathapindada di hadapan 12 ribu biksu, 32 ribu Bodhisatwa, dan para dewa," tuturnya.
Sutra ini mengisahkan kehidupan Buddha, mulai dari sebelum beliau masuk ke dalam rahim Ratu Mahamaya hingga mencapai Pencerahan Sempurna dan memutar Roda Dharma. Dalam sutra ini, kata "payung" (parasol) sering digunakan sebagai simbol. Misalnya, sebelum turun ke dunia, Bodhisatwa berdiam di istana surgawi yang dihiasi payung-payung indah.
"Saat kelahiran Pangeran Siddharta, payung-payung surgawi juga menghiasi istana, dan dewa-dewi memegang payung menyambutnya. Payung juga muncul dalam berbagai peristiwa penting dalam hidup Buddha, termasuk saat ia meninggalkan istana dan saat mengajarkan Dharma. Di akhir sutra, Buddha bahkan menggunakan analogi payung untuk menggambarkan kualitas seorang Buddha kepada Bodhisatwa Maitreya," ungkap Candra.
Selain itu, penggunaan kata payung dapat ditemukan dalam Gandavyuha Sutta. Kitab ini mengisahkan seorang kelana Sudhana yang berkelana demi belajar kepada lebih dari 50 orang guru untuk mencapai pencapaian 'Pencerahan Sempurna'. Dalam kisah tersebut, Sudhana digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu memiliki payung yang melindunginya.
Sementara itu, Sekjen PP Hikmahbudhi Dwi Purnomo mengungkapkan gambaran payung tersebut terukir dalam relief di Candi Borobudur. "Hal senada juga terdapat pada kisah-kisah Jataka, seperti Avadana dan Karmawibhangga Sutta. Kisah-kisah Jataka dan Avadana pun terukir dalam relief di Candi Borobudur," papar Dwi.
"Pada pertemuan tersebut membahas perihal pemasangan Chattra di Candi Borobuddur. Chattra di Candi Borobudur sebagai payung di stupa Candi Borobudur atau sebagai pelindung, yang memiliki akan syarat makna mendalam dan spiritualitas bagi Umat Buddha," ujar Candra dalam keterangannya, Minggu (25/8/2024).
Lebih lanjut, kata Candra mengungkapkan memberikan dorongan dan dukungan terkait tentang pemasangan Chattra di Candi Borobudur. Memahami artian Chattra, Chattra memiliki arti payung atau pelindung dalam sutta/sutra dalam agama Buddha.
Salah satunya yang terdapat dalam Mucalindasutta dari Udana II,1 yang menjelaskan bahwa pada ketika Buddha baru saja mencapai Pencerahan Sempurna dan belum bergeming dari tempat duduknya di bawah pohon Bodhi. Raja Naga Mucalinda pernah datang dan melingkari tubuh Sang Buddha sebanyak tujuh kali menggunakan ekornya, lalu menegakkan badannya sembari mengembangkan kepalanya di atas Buddha dan memayungi Buddha dari cuaca panas maupun dingin, dari serangga, dari teriknya matahari, dan dari binatang-binatang buas lainnya.
"Kisah ini bisa dilihat sebagai salah satu cerita paling awal dalam kanon Buddha tentang peran payung sebagai sebuah pelindung. Lalitavistara Sutra adalah sebuah sutra Mahayana yang populer, bahkan diabadikan dalam 120 relief di Candi Borobudur. Sutra ini diajarkan oleh Buddha di Sravasti, Jetavana, Anathapindada di hadapan 12 ribu biksu, 32 ribu Bodhisatwa, dan para dewa," tuturnya.
Sutra ini mengisahkan kehidupan Buddha, mulai dari sebelum beliau masuk ke dalam rahim Ratu Mahamaya hingga mencapai Pencerahan Sempurna dan memutar Roda Dharma. Dalam sutra ini, kata "payung" (parasol) sering digunakan sebagai simbol. Misalnya, sebelum turun ke dunia, Bodhisatwa berdiam di istana surgawi yang dihiasi payung-payung indah.
"Saat kelahiran Pangeran Siddharta, payung-payung surgawi juga menghiasi istana, dan dewa-dewi memegang payung menyambutnya. Payung juga muncul dalam berbagai peristiwa penting dalam hidup Buddha, termasuk saat ia meninggalkan istana dan saat mengajarkan Dharma. Di akhir sutra, Buddha bahkan menggunakan analogi payung untuk menggambarkan kualitas seorang Buddha kepada Bodhisatwa Maitreya," ungkap Candra.
Selain itu, penggunaan kata payung dapat ditemukan dalam Gandavyuha Sutta. Kitab ini mengisahkan seorang kelana Sudhana yang berkelana demi belajar kepada lebih dari 50 orang guru untuk mencapai pencapaian 'Pencerahan Sempurna'. Dalam kisah tersebut, Sudhana digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu memiliki payung yang melindunginya.
Sementara itu, Sekjen PP Hikmahbudhi Dwi Purnomo mengungkapkan gambaran payung tersebut terukir dalam relief di Candi Borobudur. "Hal senada juga terdapat pada kisah-kisah Jataka, seperti Avadana dan Karmawibhangga Sutta. Kisah-kisah Jataka dan Avadana pun terukir dalam relief di Candi Borobudur," papar Dwi.