Teknologi Informasi Pengaruhi Pemilih Gen Z dan Milenial pada Pilkada 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Teknologi informasi seperti media sosial dewasa ini menjadi alat yang sangat kuat dalam proses demokrasi. Perannya sangat signifikan dalam membentuk opini publik, menyebarkan informasi, dan memobilisasi pemilih.
Kepala Laboratorium Prodi Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI) Andaru Satnyoto menuturkan media sosial dewasa ini menjadi sebuah platform yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal itu sebagaimana disampaikan Andaru dalam podcast bertema "Quo Vadis Teknologi Informasi menuju Pilkada 2024" yang diselenggarakan Prodi Ilmu Politik UKI di Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024.
Dalam konteks demokrasi, media sosial menjadi platform yang sangat berpengaruh terhadap pandangan hidup Gen Z dan milenial yang secara elektoral menjadi ceruk pemilih dalam proses demokrasi di Tanah Air.
Namun, belakangan ini muncul berbagai kasus pencurian data masyarakat yang pada akhirnya mengikis kepercayaan pengguna teknologi menjelang kontestasi Pilkada 2024. Bagaimana tidak, maraknya kejahatan siber memicu mosi tidak percaya atas kemampuan pemerintah melindungi data pribadi.
"Bagaimana kita mau menyelenggarakan Pilkada dengan kepercayaan masyarakat jika isu pencurian data dan isu perlindungan data pribadi masyarakat tidak bisa diselesaikan?" tegas Andaru.
Koordinator Wilayah III PP GMKI YY Carlos Wawo juga memandang peran media sosial di kalangan anak muda sebagai platform untuk mengekspresikan diri sekaligus menjadi sumber informasi.
"Dalam hal ini, anak muda menggunakan medsos untuk mendapat info terkini terkait situasi lingkungannya hingga situasi bangsa dan negara," ujar Carlos.
Dia mengaku khawatir dengan maraknya kasus pencurian dan penyalahgunaan data masyarakat yang terjadi belakangan ini.
Kasus dugaan pencatutan data warga Jakarta selama masa verifikasi data di KPU Jakarta misalnya yang diduga digunakan untuk kepentingan politik sejumlah pihak. Kasus ini membuat masyarakat semakin pesimistis atas keamanan data mereka.
"Menurut saya KPU Jakarta masih mengalami kesulitan untuk menjaga data pribadi masyarakat," ucap Carlos.
Selain pencurian dan penyalahgunaan data, aksi-aksi diskriminasi di media sosial juga menjadi catatan menjelang Pilkada 2024. Hal itu sebagaimana disampaikan Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Hafizh Nabiyyin.
"Di media sosial ada beberapa kelompok yang mengalami diskriminasi contohnya perempuan dan minoritas gender. Ini menjadi catatan, karena itu SAFEnet berupaya mendorong agar media sosial dapat menjadi ruang berekspresi yang aman bagi semua pihak," kata Hafizh.
Menurut dia, pemerintah dan perusahaan media sosial juga harus melindungi kebebasan berekspresi dari masyarakat di dunia maya terutama menuju kontestasi Pilkada 2024.
"Perusahaan media sosial harus mampu meng-take down hoaks berbasis identitas dan hate speech yang berpotensi banyak beredar pada di Pilkada 2024. Di sisi lain, mereka juga harus aktif melindungi kebebasan berekspresi masyarakat," ujarnya.
Dalam konteks teknologi informasi, podcast tersebut turut menyinggung perihal RUU tentang Polri atau RUU Polri. Hafizh maupun Andaru menolak RUU Polri karena dinilai membatasi ruang berekspresi, merampas privasi, dan merenggut hak atas akses informasi masyarakat.
Kepala Laboratorium Prodi Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI) Andaru Satnyoto menuturkan media sosial dewasa ini menjadi sebuah platform yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal itu sebagaimana disampaikan Andaru dalam podcast bertema "Quo Vadis Teknologi Informasi menuju Pilkada 2024" yang diselenggarakan Prodi Ilmu Politik UKI di Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024.
Dalam konteks demokrasi, media sosial menjadi platform yang sangat berpengaruh terhadap pandangan hidup Gen Z dan milenial yang secara elektoral menjadi ceruk pemilih dalam proses demokrasi di Tanah Air.
Namun, belakangan ini muncul berbagai kasus pencurian data masyarakat yang pada akhirnya mengikis kepercayaan pengguna teknologi menjelang kontestasi Pilkada 2024. Bagaimana tidak, maraknya kejahatan siber memicu mosi tidak percaya atas kemampuan pemerintah melindungi data pribadi.
"Bagaimana kita mau menyelenggarakan Pilkada dengan kepercayaan masyarakat jika isu pencurian data dan isu perlindungan data pribadi masyarakat tidak bisa diselesaikan?" tegas Andaru.
Koordinator Wilayah III PP GMKI YY Carlos Wawo juga memandang peran media sosial di kalangan anak muda sebagai platform untuk mengekspresikan diri sekaligus menjadi sumber informasi.
"Dalam hal ini, anak muda menggunakan medsos untuk mendapat info terkini terkait situasi lingkungannya hingga situasi bangsa dan negara," ujar Carlos.
Dia mengaku khawatir dengan maraknya kasus pencurian dan penyalahgunaan data masyarakat yang terjadi belakangan ini.
Kasus dugaan pencatutan data warga Jakarta selama masa verifikasi data di KPU Jakarta misalnya yang diduga digunakan untuk kepentingan politik sejumlah pihak. Kasus ini membuat masyarakat semakin pesimistis atas keamanan data mereka.
"Menurut saya KPU Jakarta masih mengalami kesulitan untuk menjaga data pribadi masyarakat," ucap Carlos.
Selain pencurian dan penyalahgunaan data, aksi-aksi diskriminasi di media sosial juga menjadi catatan menjelang Pilkada 2024. Hal itu sebagaimana disampaikan Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Hafizh Nabiyyin.
"Di media sosial ada beberapa kelompok yang mengalami diskriminasi contohnya perempuan dan minoritas gender. Ini menjadi catatan, karena itu SAFEnet berupaya mendorong agar media sosial dapat menjadi ruang berekspresi yang aman bagi semua pihak," kata Hafizh.
Menurut dia, pemerintah dan perusahaan media sosial juga harus melindungi kebebasan berekspresi dari masyarakat di dunia maya terutama menuju kontestasi Pilkada 2024.
"Perusahaan media sosial harus mampu meng-take down hoaks berbasis identitas dan hate speech yang berpotensi banyak beredar pada di Pilkada 2024. Di sisi lain, mereka juga harus aktif melindungi kebebasan berekspresi masyarakat," ujarnya.
Dalam konteks teknologi informasi, podcast tersebut turut menyinggung perihal RUU tentang Polri atau RUU Polri. Hafizh maupun Andaru menolak RUU Polri karena dinilai membatasi ruang berekspresi, merampas privasi, dan merenggut hak atas akses informasi masyarakat.
(jon)