Merdeka dari Fintech Lending Ilegal

Senin, 24 Agustus 2020 - 06:59 WIB
loading...
Merdeka dari Fintech Lending Ilegal
Christiansen Frisilya Br Perangin-angin
A A A
Christiansen Frisilya Br Perangin-angin
Analis Junior Direktorat Hubungan Masyarakat Otoritas Jasa Keuangan

TEKNOLOGI telah mengubah peradaban dunia. Mengubah semua aspek kehidupan termasuk di dalam industri jasa keuangan. Masyarakat yang dulu harus datang ke kantor bank, kini sudah bisa dengan mudah menyimpan dan menabung uang melalui internet banking ataupun mobile banking di telepon genggam atau komputernya. Tidak hanya itu, belakangan ini masyarakat bahkan dengan gampang bisa meminjam uang lewat perangkat telekomunikasi melalui aplikasi financial technology peer to peer lending atau sering disingkat fintech lending yang banyak disebut juga pinjaman online.

Aplikasi fintech lending ini dapat diunduh dengan sangat mudah oleh masyarakat melalui playstore dan appstore. Kemudian dengan persyaratan yang sederhana, cukup dengan mengisi data sesuai KTP dan nomor rekening maka pinjaman akan segera dicairkan. Industri fintech lending yang borderless ini kemudian menyebar dan menjamur ke pelosok daerah melalui jaringan seluler di telepon genggam masyarakat, yang jumlahnya sekarang sudah dua kali jumlah penduduk Indonesia.

Bagi perkembangan industri jasa keuangan, tentu saja, kehadiran fintech lending merupakan angin segar yang bisa meningkatkan inklusi atau pemanfaatan produk keuangan dan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui fintech lending sektor usaha mikro dan kecil semakin memiliki alternatif dalam mendapatkan pinjaman untuk mengembangkan bisnisnya tanpa harus melewati banyak persyaratan seperti yang diminta perbankan dan perusahaan pembiayaan.

Otoritas Jasa Keuangan cukup tanggap dengan perkembangan teknologi di industri jasa keuangan ini yang dengan cepat di akhir 2016 mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, sehingga semua platform yang melakukan usaha pinjam meminjam uang harus memiliki izin dan terdaftar di OJK. Hingga 5 Agustus 2020 tercatat jumlah fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK sebanyak 158 perusahaan dan sampai 30 Juni 2020 jumlah akumulasi penyaluran pinjaman per 30 Juni 2020 sebesar Rp113,46 triliun atau mengalami peningkatan 153,23% yoy. Nilai penyaluran pinjaman yang cukup besar bagi sebuah sektor industri keuangan yang baru berjalan sekitar tiga tahun.

OJK bersama Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) kemudian juga sudah secara masif dan aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai saluran komunikasi untuk mengarahkan masyarakat bijak menggunakan fintech lending ini terutama kepada para peminjam dana, agar memahami risiko dan tata cara meminjam di fintech lending agar terlindungi kepentingannya. Masyarakat yang meminjam dana di fintech lending diarahkan untuk memanfaatkannya guna keperluan yang produktif dan bertanggungjawab untuk mengembalikan pinjamannya sesuai perjanjian.

Fintech Lending Ilegal
Potensi besar fintech lending sebagai alternatif pembiayaan usaha mikro dan kecil ini dalam perkembangannya dibayangi ancaman yang meresahkan akibat maraknya fintech lending yang ilegal, yang tidak terdaftar dan berizin dari OJK sehingga tidak diawasi oleh OJK, namun jumlahnya sangat banyak beredar menawarkan pinjaman melalui SMS atau iklan di website internet.

Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018 sampai Juni 2020 sudah berhasil menindak fintech lending ilegal sebanyak 2591 entitas. Namun, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing menjelaskan bahwa di luar yang sudah ditutup oleh Satgas, masih banyak jumlah fintech lending ilegal yang beredar di masyarakat, karena setelah ditutup, para pelaku langsung membuat entitas baru pinjaman online ilegal ini.

Media massa beberapa waktu lalu banyak memberitakan masyarakat yang menjadi korban fintech lending ilegal. Mereka dikenakan bunga yang sangat tinggi dari pinjaman, dan saat mereka tidak mampu membayar berbagai teror penagihan mereka terima. Debt collector fintech ilegal tidak segan melakukan penagihan dengan kasar disertai ancaman, penyebaran informasi ke berbagai kontak di telepon, bahkan sampai penyebaran foto yang melecehkan.

Ancaman-ancaman itu bisa terjadi karena fintech lending ilegal berhasil meminta peminjam untuk memberikan akses kontak telepon, foto dan data lainnya. Hal yang sebenarnya dilarang oleh OJK untuk dilakukan oleh fintech lending yang terdaftar dan berizin, karena mereka hanya boleh meminta akses kamera, microphone, dan lokasi, guna mencegah penyalahgunaan akses peminjam tersebut.

Yang mengkhawatirkan, korban fintech lending ilegal bukan saja menyasar masyarakat di kota besar. Banyak masyarakat desa yang karena kurangnya informasi akhirnya terjebak dalam lingkaran fintech lending ilegal yang sangat merugikan. Salah satu korban fintech lending ilegal adalah saudari Lola, yang tinggal di daerah Kabanjahe, Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan darat dari Medan. Sebuah kota kecil di kaki Gunung Sinabung.

Lola karena merasa membutuhkan uang, dia tanpa diketahui oleh keluarga melakukan pinjaman ke sebuah fintech lending ilegal yang menawarkan pinjaman melalui SMS ke handphone-nya. Tanpa memperhitungkan tingginya bunga, akhirnya Lola gagal membayar pinjaman sesuai waktu perjanjian. Di tengah kebingungan karena tekanan teror penagihan dari debt collector, Lola akhirnya mencari pinjaman dari fintech lending ilegal lainnya guna membayar tagihan fintech lending ilegal yang pertama.

Kejadian itu kemudian berulang karena Lola harus melakukan gali lubang tutup lubang untuk membayar tagihan fintech lending ilegal sehingga akhirnya dia harus meminjam di 23 fintech lending ilegal dengan total tagihan mencapai Rp43 juta. Padahal pinjamannya total hanya Rp18 juta, sedang sisanya adalah bunga yang berbunga.

Saat bergelut dengan penagihan 23 fintech lending ilegal itu, Lola mendapatkan banyak intimidasi dari debt collector dengan berbagai kata makian dan ancaman kekerasan. Tidak hanya itu, keluarga dan rekan korban yang ada di kontak handphone pun dihubungi oleh debt collector dan mempermalukan korban dengan sangat kejam. Korban juga diancam debt collector akan didatangi langsung dan disakiti secara fisik.

Korban fintech lending ilegal seperti Lola pasti banyak terjadi di masyarakat. Literasi keuangan yang rendah menjadi salah satu penyebab masyarakat mudah menjadi sasaran fintech lending ilegal ini. Media massa menjadi salah satu corong komunikasi yang paling memungkinkan untuk menyebarkan informasi ini. Namun sosialiasi itu tentu belum cukup untuk mengedukasi ke ratusan juta penduduk Indonesia sampai ke pelosok pedesaan nan terpencil.

Sehingga, kerja sama OJK dan AFPI dengan berbagai pihak seperti Kemenkominfo dan Pemerintah Daerah dalam rangka mensosialisasikan pemanfaatan fintech lending ini juga sangat penting untuk dilakukan, agar korban di masyarakat tidak lagi bertambah dan keberadaan industri fintech lending benar-benar bermanfaat untuk mendukung pembiayaan usaha mikro dan kecil.

Dari sisi hukum, tidak adanya Undang-Undang fintech lending membuat pihak berwajib tidak bisa menindak para pelaku fintech lending ilegal di masyarakat. Pihak Kepolisian hanya bisa menunggu adanya aduan dari masyarakat yang menjadi korban penagihan dengan kekerasan ataupun pelecehen yang dilakukan para debt collector. Perang melawan fintech lending ilegal harus segera dikobarkan bersama semua pihak terkait untuk mencegah korban dan kerugian masyarakat yang semakin besar. Perjuangan melawan serangan fintech lending ilegal sangat diperlukan untuk memerdekakan industri fintech peer to peer lending dalam meningkatkan pembiayaan ke sektor usaha mikro dan kecil. Dirgahayu Indonesia ke-75.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0913 seconds (0.1#10.140)