Pengamat Ungkap 2 Kemungkinan Tim Transisi Prabowo-Gibran Cuma Diisi Kader Gerindra
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Politik Dedi Kurnia Syah mengungkapkan dua kemungkinan Tim Transisi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka cuma diisi kader Partai Gerindra tanpa partai politik (parpol) lain dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Salah satunya, dugaan terjadinya perpecahan di internal koalisi parpol pendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
“Hanya berisi kader Gerindra bisa menandai dua perkara. Pertama, Prabowo mulai tunjukkan sisi otoritariannya, di mana ia tidak lagi perlukan mitra koalisi yang memenangkan dirinya di pilpres. Kedua, terjadi perpecahan dalam hal penyusunan kabinet,” kata Dedi yang juga sebagai Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini kepada SINDOnews, Senin (3/6/2024).
Kendati demikian, Dedi mengakui tim semacam itu diperlukan, namun normalnya tidak dibentuk oleh kandidat terpilih. “Melainkan dibentuk oleh pemerintah yang akan berganti, jika bentukan pemenang pilpres lebih tepat disebut panitia seleksi anggota kabinet,” katanya.
Dia berpendapat, tim transisi tersebut tidak akan banyak miliki fungsi, kecuali hanya sekadar formalitas. Sebab, membaca situasi yang ada, kabinet Prabowo-Gibran diwacanakan bertambah besar porsinya.
Dia menilai tim sinkronisasi akan jauh dibutuhkan jika berdampak pada perbaikan tata kelola jabatan elite dan punya orientasi yang mengadopsi visi misi. “Jika tim itu hanya dibentuk oleh tim pemenang, atau hanya oleh satu partai, maka tidak semestinya pemerintah, baik presiden maupun menteri bersedia untuk dimobilisasi dalam agenda transisi, itu justru menihilkan wibawa pemerintah,” imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, menjadi memprihatinkan jika justru Jokowi meminta menteri untuk membantu Tim Transisi Prabowo-Gibran yang cuma diisi kader Gerindra tersebut. “Cenderung ini keinginan Jokowi untuk menyokong pemerintahan berikutnya dengan sewenang,” pungkasnya.
“Hanya berisi kader Gerindra bisa menandai dua perkara. Pertama, Prabowo mulai tunjukkan sisi otoritariannya, di mana ia tidak lagi perlukan mitra koalisi yang memenangkan dirinya di pilpres. Kedua, terjadi perpecahan dalam hal penyusunan kabinet,” kata Dedi yang juga sebagai Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini kepada SINDOnews, Senin (3/6/2024).
Kendati demikian, Dedi mengakui tim semacam itu diperlukan, namun normalnya tidak dibentuk oleh kandidat terpilih. “Melainkan dibentuk oleh pemerintah yang akan berganti, jika bentukan pemenang pilpres lebih tepat disebut panitia seleksi anggota kabinet,” katanya.
Dia berpendapat, tim transisi tersebut tidak akan banyak miliki fungsi, kecuali hanya sekadar formalitas. Sebab, membaca situasi yang ada, kabinet Prabowo-Gibran diwacanakan bertambah besar porsinya.
Dia menilai tim sinkronisasi akan jauh dibutuhkan jika berdampak pada perbaikan tata kelola jabatan elite dan punya orientasi yang mengadopsi visi misi. “Jika tim itu hanya dibentuk oleh tim pemenang, atau hanya oleh satu partai, maka tidak semestinya pemerintah, baik presiden maupun menteri bersedia untuk dimobilisasi dalam agenda transisi, itu justru menihilkan wibawa pemerintah,” imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, menjadi memprihatinkan jika justru Jokowi meminta menteri untuk membantu Tim Transisi Prabowo-Gibran yang cuma diisi kader Gerindra tersebut. “Cenderung ini keinginan Jokowi untuk menyokong pemerintahan berikutnya dengan sewenang,” pungkasnya.
(rca)