KPK Didorong Periksa Auditor BPK yang Disebut di Persidangan SYL

Sabtu, 01 Juni 2024 - 23:11 WIB
loading...
KPK Didorong Periksa...
KPK didorong memeriksa auditor dan anggota BPK yang disebut dalam persidangan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Praktik dugaan suap yang melibatkan oknum auditor dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Kementerian Pertanian dengan terdakwa Syahrul Yasin Limpo (SYL) dinilai termasuk pelanggaran pidana. Dalam persidangan perkara SYL, disebutkan auditor BPK meminta uang sejumlah Rp12 miliar untuk menerbitkan status WTP Kementan. Namun yang baru dibayarkan baru sebesar Rp5 miliar.

"Praktik suap yang dilakukan oknum auditor dan anggota di lingkungan BPK RI itu nyata, di mana telah melakukan kejahatan yang melekat dengan kedudukan atau jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya," kata pengamat hukum pidana, Azmi Syahputra kepada wartawan di Jakarta, Jumat (31/5/2024).

"Fungsi auditor BPK yang melekat dan strategis kok digunakan untuk perilaku bagai 'bandit merajalela' dan karenanya perilaku culas begini harus diberantas habis," tambahnya.

Menurut Azmi, kasus tersebut sungguh miris dan tindakan memalukan yang dilakukan oknum pegawai BPK. "Suap maupun pemerasan terkait laporan audit, itu terstruktur mulai dari Tim Pemeriksa, Pengendali Teknis, Penanggung Jawab dan Anggota," jelasnya.

Kata Azmi, siapa pun yang melakukan pemerasan atau menerima suap atas jabatannya dan menerima penyuapan termasuk bagi pejabat yang membiarkan, masuk dalam kualifikasi bersama-sama dalam permufakatan jahat. "Mereka itu ikut bertanggung jawab secara hukum karenanya harus segera diperiksa semua pihak-pihak dimaksud," jelasnya.

Disampaikan Azmi, sangat jelas dari peristiwa dan keterangan saksi di persidangan ada permintaan pegawai BPK karenanya masuk dalam kategori suap aktif (actieve omkooping). Di mana, kata dia, uang suap tersebut telah diterima.

"Uang yang berjumlah miliaran dari manipulasi proyek telah diterima berpindah tangan sehingga perbuatan ini sudah selesai dilakukan. Jadi jelas nyata para pelaku auditor BPK ini melakukan dengan sengaja, punya kehendak dan mengetahui untuk disuap secara sadar yang bertentangan dengan jabatannya," terang Azmi.

Ia menambahkan bahwa penerima suap dengan karakteristik secara aktif yang meminta maka semestinya dikenakan ancaman hukuman pidana maksimal berupa penjara seumur hidup.

"Dan bagi siapa pun yang menerima terkhusus bagi anggota tim BPK yang terlibat dalam kasus ini harus dipecat. Diberhentikan dengan tidak hormat. Sebab oknum BPK ini melakukan perbuatan suap dan atau patut diduga menerima uang agar tidak melakukan sesuatu dalam fungsi jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya," ujarnya.

Azmi juga mendorong KPK untuk memperluas perkara tidak sebatas suap tetapi juga menyelidiki perbuatan lainnya berupa tindak pidana pencucian uang.

"Termasuk adanya permufakatan jahat guna meminta pertanggungjawaban pidana pelaku sekaligus menjadi alasan penerapan pemberatan hukuman maksimal bagi pelaku," kata dosen hukum pidana Universitas Trisakti ini.

Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Elizabeth Kusrini menambahkan, faktor utama yang menyebabkan BPK terlibat dalam kasus korupsi karena lembaga tersebut tidak memiliki badan pengawas yang efektif. Kondisi ini memungkinkan anggota BPK untuk bergerak secara leluasa dan memanfaatkan celah dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 untuk berbuat sewenang-wenang.

"Selain KPK terdapat beberapa lembaga lain yang memiliki wewenang untuk mengusut dugaan suap dan tindak pidana korupsi, seperti Kejaksaan, Polri, Inspektorat, dan Ombudsman.

"Ombudsman meskipun tidak melakukan penyidikan, dapat berperan dalam mengawasi pelayanan publik dan dapat merekomendasikan investigasi atas dugaan maladministrasi di lembaga pemerintah itu,"kata Elizabeth.

Selain itu, sambung Elizabeth, masyarakat sipil juga memainkan peran penting dalam mengawasi dan melaporkan dugaan korupsi yang dapat memicu penyelidikan oleh lembaga-lembaga tersebut.

"Transparansi dan partisipasi publik sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang adil di Indonesia," ujarnya.

Mengenai keputusan seorang anggota BPK ditarik dari jabatannya, kata Elizabeth, biasanya didasarkan pada aturan internal lembaga tersebut dan juga aturan partai politik yang bersangkutan. Bila anggota BPK tersebut kader partai.

"Dalam praktiknya, partai politik dapat mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk aspek hukum, etika, dan citra publik, sebelum membuat keputusan. Jika ada keputusan etik yang menemukan pelanggaran berat, maka Dewan Etik BPK dapat memberikan rekomendasi sanksi, termasuk pemberhentian," kata Elizabeth.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0816 seconds (0.1#10.140)