Mahfud MD Prihatin Lepasnya Moral dan Etika dalam Berhukum di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD menyoroti, dewasa ini moral dan etika sudah lepas dari kegiatan berhukum di Indonesia. Bahkan, perkara di pengadilan bisa dibeli dan pasal-pasal dalam aturan pun bisa dipesan.
"Sekarang terutama di bidang hukum, moral, dan etika itu sudah lepas dari kegiatan-kegiatan berhukum kita. Orang berhukum sekarang endak bermoral, saudara bisa beli perkara di pengadilan sekarang, bisa. Kalau endak tahu saya beri tahu caranya," kata Mahfud MD dalam Seminar Nasional: Agama dan Negara dalam Diskursus Keindonesiaan Kontemporer di sebagaimana disiarkan oleh channel YouTube Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (30/4/2025).
"Orang membuat undang-undang bisa dibeli pasalnya, dipesan. Tolong buatkan pasal ini agar kami bisa melakukan ini, kalau endak bisa juga uji ke MK biar MK yang membatalkan nanti," tuturnya lagi.
Menurutnya, situasi berhukum di Indonesia seperti itu lantaran cara berhukum di Indonesia pun telah terlepas dari sukma hukum. Adapun sukma hukum dimaksud itu berupa tuntunan agama, moral, dan etik yang harus dicerminkan dalam keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.
Dia menerangkan, saat hukum dilepas dari sukmanya itu, hukum menjadi merusak kehidupan masyarakat. Dewasa ini, sukma hukum itu sudah terlepas, berbagai macam hal pun terjadi belakangan ini, yang membuat hukum itu hancur berantakan.
"Sehingga orang ada yang mengatakan begini, sudahlah bubarkan tuh fakultas hukum, apa saja merusakan negara, saking marahnya orang, padahal endak juga. Kalau masih di kampus saudara-saudara kan endak berfikir merusak, tapi nanti, saya endak loh, endak loh, di dalem waduh tawarannya," terangnya.
Maka itu, beber Mahfud MD, tak heran jika orang mempertanyakan Indonesia merupakan negara beragama, tapi kenapa masih banyak orang melanggar moral, melepaskan moral, etik, dan nilai-nilai keagamaan dari sukma hukum. Pasalnya, orang saat ini hanya takut pada sanksi yang ditimbulkan oleh hukum atau sanksi yang dipaksakan oleh negara belaka.
"Dalam masyarakat itu kan aturan ada empat, agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum nah ini semua dipakai di masyarakat tapi hukum itu diangkat menjadi yang berlaku resmi dan siapa yang melanggar hukum sanksinya ditegakan oleh polisi, hakim, jaksa, tapi melanggar agama, melanggar moral, melanggar etik ndak ada yang masalahkan sanksi," paparnya.
Mahfud membeberkan, hukum yang dijelaskan oleh negara itu namanya sanksi heteronom, sedangkan agama, moral, dan etika itu namanya sanksi otonom. Sanksi otonom itu sanksi yang datang dari kesadaran hati dan bisikan nurani.
"Misalnya orang melanggar hukum ndak ketahuan, melanggar agama juga ndak ketahuan, tapi disitu ada sanksi, saudara ndak ketahuan korupsi oleh negara atau belum ada aturannya, tapi melanggar, nah disitu akan muncul sanksi yang satunya, yaitu otonom, derita, takut hidupnya," ungkapnya.
Dia menjabarkan, sanksi otomom itu seperti manakala orang korupsi tapi tak ketahuan, hidupnya bakal dipenuhi ketakutan, takut saat pensiun korupsinya bakal terbongkar oleh anak buahnya. Atau saat seseorang berkuasa, dia bertindak sewenang-wenang sehingga dia menyewa pengawal agar tak dihajar orang kala bepergian.
Contoh lainnya, jelas Mahfud, ada seorang petugas pemberantas narkoba, tapi dia suka menjual narkoba, di lain waktu anaknya justru terlibat narkotika. Artinya, orang meyakini jika dia terkena sebuah karma atas perbuatannya itu.
"(Sanksi otonom dalam agama, moral, dan etika itu) Dipercaya oleh budaya Indonesia, dosa itu kalau di dalam agama, hidup serba takut, malu, terisolasi. Nah orang tidak takut pada (sanksi otonom) ini lagi sekarang, pokoknya ndak ketahuan sudah, aturannya gimana sih, oh aturannya begini, aturannya enggak cocok dengan kita, ubah saja. Moral etika dilanggar di situ," terangnya.
Dia menambahkan, sejatinya sanksi otonom itu sudah dimiliki oleh Indonesia, yang mana terdapat pada TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 dan TAP MPR Nomor 8 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Siapa saja pemimpin negara ini yang kebijakannya menjadi sorotan karena jelek, menimbulkan kontroversi, maka dia harus mau mundur meskipun belum diadili.
"Nah sekarang ini mau diadili ndak mau, yang mengadili takut juga, yang korupsi menteri, hakimnya takut dia. Maka penguatan nilai-nilai moral etik dengan segala akibatnya, manfaat dan mudharatnya bagi bangsa dan negara ini harus ditanamkan sebagai nilai penting di setiap lembaga penididikan tinggi, bukan hanya di fakultas hukum, bernegara itu bukan hanya berhukum, bernegara itu berekonomi juga, berantropoligi juga, berpolitik juga," katanya.
"Semua harus paham nilai-nilai yang seperti ini yang sekarang sudah terlepas dari norma-norma ketatapemerintahan kita," tutup Mahfud MD.
Lihat Juga: Bocoran Mahfud MD soal Penanganan Judi Online di Komdigi: Akan Sampai ke Otak dan Jantung Pelaku
"Sekarang terutama di bidang hukum, moral, dan etika itu sudah lepas dari kegiatan-kegiatan berhukum kita. Orang berhukum sekarang endak bermoral, saudara bisa beli perkara di pengadilan sekarang, bisa. Kalau endak tahu saya beri tahu caranya," kata Mahfud MD dalam Seminar Nasional: Agama dan Negara dalam Diskursus Keindonesiaan Kontemporer di sebagaimana disiarkan oleh channel YouTube Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (30/4/2025).
"Orang membuat undang-undang bisa dibeli pasalnya, dipesan. Tolong buatkan pasal ini agar kami bisa melakukan ini, kalau endak bisa juga uji ke MK biar MK yang membatalkan nanti," tuturnya lagi.
Menurutnya, situasi berhukum di Indonesia seperti itu lantaran cara berhukum di Indonesia pun telah terlepas dari sukma hukum. Adapun sukma hukum dimaksud itu berupa tuntunan agama, moral, dan etik yang harus dicerminkan dalam keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.
Dia menerangkan, saat hukum dilepas dari sukmanya itu, hukum menjadi merusak kehidupan masyarakat. Dewasa ini, sukma hukum itu sudah terlepas, berbagai macam hal pun terjadi belakangan ini, yang membuat hukum itu hancur berantakan.
"Sehingga orang ada yang mengatakan begini, sudahlah bubarkan tuh fakultas hukum, apa saja merusakan negara, saking marahnya orang, padahal endak juga. Kalau masih di kampus saudara-saudara kan endak berfikir merusak, tapi nanti, saya endak loh, endak loh, di dalem waduh tawarannya," terangnya.
Maka itu, beber Mahfud MD, tak heran jika orang mempertanyakan Indonesia merupakan negara beragama, tapi kenapa masih banyak orang melanggar moral, melepaskan moral, etik, dan nilai-nilai keagamaan dari sukma hukum. Pasalnya, orang saat ini hanya takut pada sanksi yang ditimbulkan oleh hukum atau sanksi yang dipaksakan oleh negara belaka.
"Dalam masyarakat itu kan aturan ada empat, agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum nah ini semua dipakai di masyarakat tapi hukum itu diangkat menjadi yang berlaku resmi dan siapa yang melanggar hukum sanksinya ditegakan oleh polisi, hakim, jaksa, tapi melanggar agama, melanggar moral, melanggar etik ndak ada yang masalahkan sanksi," paparnya.
Mahfud membeberkan, hukum yang dijelaskan oleh negara itu namanya sanksi heteronom, sedangkan agama, moral, dan etika itu namanya sanksi otonom. Sanksi otonom itu sanksi yang datang dari kesadaran hati dan bisikan nurani.
"Misalnya orang melanggar hukum ndak ketahuan, melanggar agama juga ndak ketahuan, tapi disitu ada sanksi, saudara ndak ketahuan korupsi oleh negara atau belum ada aturannya, tapi melanggar, nah disitu akan muncul sanksi yang satunya, yaitu otonom, derita, takut hidupnya," ungkapnya.
Dia menjabarkan, sanksi otomom itu seperti manakala orang korupsi tapi tak ketahuan, hidupnya bakal dipenuhi ketakutan, takut saat pensiun korupsinya bakal terbongkar oleh anak buahnya. Atau saat seseorang berkuasa, dia bertindak sewenang-wenang sehingga dia menyewa pengawal agar tak dihajar orang kala bepergian.
Contoh lainnya, jelas Mahfud, ada seorang petugas pemberantas narkoba, tapi dia suka menjual narkoba, di lain waktu anaknya justru terlibat narkotika. Artinya, orang meyakini jika dia terkena sebuah karma atas perbuatannya itu.
"(Sanksi otonom dalam agama, moral, dan etika itu) Dipercaya oleh budaya Indonesia, dosa itu kalau di dalam agama, hidup serba takut, malu, terisolasi. Nah orang tidak takut pada (sanksi otonom) ini lagi sekarang, pokoknya ndak ketahuan sudah, aturannya gimana sih, oh aturannya begini, aturannya enggak cocok dengan kita, ubah saja. Moral etika dilanggar di situ," terangnya.
Dia menambahkan, sejatinya sanksi otonom itu sudah dimiliki oleh Indonesia, yang mana terdapat pada TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 dan TAP MPR Nomor 8 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Siapa saja pemimpin negara ini yang kebijakannya menjadi sorotan karena jelek, menimbulkan kontroversi, maka dia harus mau mundur meskipun belum diadili.
"Nah sekarang ini mau diadili ndak mau, yang mengadili takut juga, yang korupsi menteri, hakimnya takut dia. Maka penguatan nilai-nilai moral etik dengan segala akibatnya, manfaat dan mudharatnya bagi bangsa dan negara ini harus ditanamkan sebagai nilai penting di setiap lembaga penididikan tinggi, bukan hanya di fakultas hukum, bernegara itu bukan hanya berhukum, bernegara itu berekonomi juga, berantropoligi juga, berpolitik juga," katanya.
"Semua harus paham nilai-nilai yang seperti ini yang sekarang sudah terlepas dari norma-norma ketatapemerintahan kita," tutup Mahfud MD.
Lihat Juga: Bocoran Mahfud MD soal Penanganan Judi Online di Komdigi: Akan Sampai ke Otak dan Jantung Pelaku
(maf)