Spiritual, Moral, dan Ekonomi

Senin, 01 April 2024 - 07:00 WIB
loading...
Spiritual, Moral, dan Ekonomi
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI


EKONOMI kerap diasosiasikan dengan aspek-aspek seperti produksi, distribusi, konsumsi, hingga keuntungan material menjadi fokus utama. Padahal sejatinya, ekonomi tak hanya terbatas pada angka-angka dan grafik-grafik, melainkan juga mencakup dimensi spiritual dan moral yang juga memiliki dampak signifikan dalam dinamika ekonomi.

Pentingnya mempertimbangkan spiritualitas dan moralitas dalam konteks ekonomi menjadi semakin jelas seiring dengan kompleksitas tantangan sosial dan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat global. Spiritualitas, yang mencakup aspek pencarian makna, tujuan hidup, dan hubungan dengan yang lebih tinggi, dapat memberikan landasan yang kuat bagi individu dan organisasi dalam membuat keputusan ekonomi.

Tatkala nilai-nilai spiritual diintegrasikan dalam proses pengambilan keputusan ekonomi, maka dapat mendorong individu untuk mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dan dampaknya terhadap kesejahteraan sosial dan lingkungan.

Adam Smith, seorang filsuf dan ekonom terkemuka pada abad ke-18, dikenal luas atas sumbangannya dalam pengembangan teori ekonomi modern melalui karyanya "The Wealth of Nations.”

Berawal dari karya fenomenalnya tersebut, Adam Smith berhasil memperkenalkan sebuah teori ekonomi yang memusatkan perhatian pada peran pasar dan persaingan dalam mengatur produksi dan alokasi sumber daya secara efisien. Teori ini kemudian menjadi dasar pemikiran ekonomi modern dan pengembangannya sampai saat ini.

Ironisnya, di tengah fenomenalnya teori Adam Smith yang menyoroti prinsip-prinsip kapitalisme pasar bebas, sering kali terlupakan bahwa Smith yang juga merupakan seorang filsuf menekankan pentingnya moralitas dalam perilaku ekonomi manusia. Pemikiran Smith tersebut dengan jelas tertuang dalam karyanya yang kurang terkenal, "The Theory of Moral Sentiments."

Pada buku tersebut" Smith menjelaskan bahwa manusia secara alami memiliki dorongan untuk memperjuangkan kebaikan dan mengembangkan empati terhadap sesama. Bagi Smith, moralitas adalah bagian integral dari perilaku ekonomi yang sehat dan berkelanjutan. Smith mengajukan bahwa keberadaan moralitas memainkan peran penting dalam pembentukan hubungan sosial dan ekonomi.

Smith percaya bahwa individu yang menyertakan moral dalam berperilaku akan memiliki reputasi yang baik di masyarakat sehingga dapat mendorong keberhasilan dalam aktivitas ekonominya. Smith menekankan bahwa keberhasilan jangka panjang dalam ekonomi tidak hanya didasarkan pada keuntungan finansial semata, tetapi juga pada kesejahteraan sosial dan reputasi yang baik.

Sejatinya, konsep yang dibawa Smith mengarah pada "ekonomi moral," yang menekankan perlunya memadukan prinsip-prinsip ekonomi dengan nilai-nilai moral. Menurut Smith, pasar yang berfungsi dengan baik tidak hanya membutuhkan persaingan bebas, tetapi juga perhatian terhadap keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.

Smith tidak pernah melupakan bahwa kegiatan ekonomi harus terikat oleh prinsip-prinsip moralitas yang kuat meski dalam "The Wealth of Nations," Smith menggarisbawahi pentingnya kebebasan individu dan persaingan pasar dalam mencapai kemakmuran ekonomi. Artinya, penting untuk diingat bahwa gagasan Smith tentang ekonomi dan moralitas saling terkait walaupun karya-karya Smith terbagi menjadi dua buku yang terpisah.

Bagi Smith, ekonomi yang berkelanjutan dan makmur hanya dapat dicapai melalui keseimbangan yang baik antara kepentingan diri sendiri dan kepedulian terhadap kebaikan bersama.

Dimensi Moralitas dalam Ekonomi Indonesia

Dimensi moralitas menjadi sangat penting dalam membentuk sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Moralitas membawa konsep-konsep seperti keadilan, empati, dan tanggung jawab sosial ke dalam lingkup ekonomi. Pada saat mengambil keputusan ekonomi, baik individu maupun organisasi, pertimbangan moral dapat menjadi pengendali diri bahwa keuntungan yang diperoleh tidak didapatkan dengan mengorbankan kepentingan orang lain atau merugikan masyarakat secara keseluruhan.

Misalnya, etika bisnis yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip moralitas akan menghindari praktik-praktik eksploitasi, penipuan, atau pengabaian terhadap dampak lingkungan. Sebaliknya, keputusan bisnis yang didasarkan pada pertimbangan moral dapat mempromosikan kesejahteraan karyawan, menjaga lingkungan hidup, dan memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat secara keseluruhan.

Perilaku korupsi menjadi salah satu cermin dari minimnya moralitas dalam suatu masyarakat, dan dampaknya yang merugikan tidak hanya terasa secara sosial dan politik, tetapi juga dalam ranah ekonomi nasional. Korupsi merusak prinsip-prinsip keadilan, merugikan pembangunan, menghambat investasi, dan menciptakan ketidakstabilan politik. Perilaku korupsi seringkali timbul dari pelanggaran nilai-nilai moral yang mendasari sebuah masyarakat.

Korupsi terjadi ketika individu atau kelompok menyalahgunakan kepercayaan dan kekuasaan mereka demi keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan konsekuensi moral atau dampaknya pada masyarakat luas. Tindakan korupsi seperti penyuapan, memperkaya orang lain, dan nepotisme tidak hanya melanggar prinsip-prinsip moralitas, tetapi juga merugikan ekonomi negara secara keseluruhan.

Saat ini, korupsi tak mengenal batasan geografis, politik, atau ekonomi. Bahkan, korupsi dapat ditemukan dalam berbagai sektor, mulai dari tingkat pemerintah pusat hingga tingkat lokal, dan dari sektor publik hingga sektor swasta. Indonesia, sebuah negara yang kaya akan budaya dan sumber daya alamnya, tidak luput dari tantangan korupsi yang menggerogoti fondasi moral dan ekonomi.

Survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset dan organisasi internasional, termasuk Transparency International, Indonesia secara konsisten menduduki peringkat yang tinggi dalam daftar negara-negara dengan tingkat korupsi yang signifikan. Berdasarkan laporan Transparency International (TI) menunjukkan bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 poin pada 2023.

Angka tersebut stagnan dari perolehan 2022, namun peringkatnya terus mengalami penurunan. Indonesia sempat menduduki peringkat 110 pada 2022, lantas turun ke posisi 115 pada 2023, di mana posisi tersebut sejajar dengan Ekuador, Malawi, Filipina, Sri Lanka, dan Turki.

Belum lama ini, kasus korupsi dengan nilai jumbo kembali mencoreng Indonesia. Setelah deretan kasus korupsi jumbo seperti PT Asabri dan Jiwasraya, publik kembali dikagetkan dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah. Berdasarkan penghitungan Kejaksaan Agung (Kejagung), kerugian negara dalam kasus korupsi penambangan timah di lokasi IUP PT Timah Tbk tersebut menjadi rekor terbesar dalam penanganan perkara korupsi di Indonesia.

Kejagung mencatat luas kerusakan lahan dari kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah tersebut mencapai dua kali lipat wilayah DKI Jakarta. Alhasil, potensi kerugian lingkungan yang diakibatkan oleh kasus dugaan korupsi tersebut ditaksir mencapai Rp271 triliun.

Sungguh ironi, namun fakta adanya. Guna mengatasi problematika korupsi dan dampaknya pada ekonomi, penting untuk memperkuat nilai-nilai spiritualitas, moralitas, dan integritas dalam masyarakat. Pendidikan spiritual dan moral yang kuat seiring dengan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi, dan penguatan lembaga-lembaga anti-korupsi adalah langkah-langkah kunci yang harus diambil untuk menekan praktik korupsi di semua tingkatan.

Spiritual dan Moral adalah Fondasi Perbaikan Ekonomi

Dalam menjalankan roda ekonomi, seringkali kita terlalu fokus pada strategi, kebijakan, dan angka-angka, sehingga melupakan elemen kunci yang dapat memberikan fondasi yang kuat bagi pertumbuhan yang berkelanjutan yakni spiritual dan moral. Di Indonesia, di mana nilai-nilai agama dan budaya memiliki pengaruh yang kuat, memperkuat dimensi spiritual dan moral dapat menjadi kunci untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara.

Spitiritual memiliki potensi besar untuk membentuk dan mendorong kemajuan ekonomi yang berkelanjutan dan berarti. Kekuatan spiritual membawa nilai-nilai etis yang mendasari aktivitas ekonomi. Integritas, tanggung jawab, kejujuran, dan keadilan adalah beberapa nilai moral yang sering kali berakar pada kekuatan spiritual. Alhasil, bisnis dan organisasi yang dikelola dengan prinsip-prinsip tersebut cenderung lebih berdaya dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Institute for Corporate Productivity menemukan hasil bahwa perusahaan yang memprioritaskan kebahagiaan dan kesejahteraan karyawan memiliki kinerja keuangan yang lebih baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa investasi dalam kekuatan spiritual dan kesejahteraan karyawan dapat membawa dampak positif yang signifikan pada kinerja ekonomi perusahaan.

Sementara itu, moralitas berperan sebagai panduan dalam membuat keputusan dan bertindak dalam kegiatan ekonomi. Nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan empati menjadi landasan bagi praktik ekonomi yang etis dan berkelanjutan. Bisnis yang dikelola dengan prinsip-prinsip moral cenderung lebih dihormati oleh masyarakat, meningkatkan kepercayaan dan kestabilan dalam ekosistem ekonomi.

Di bulan suci Ramadan ini, saatnya untuk perbaikan spiritual dan moral kita semua untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif bagi Indonesia. Hanya dengan membangun fondasi yang kokoh tersebutlah, proses transformasi ekonomi Indonesia akan berjalan seperti yang diharapkan, bekal besar menghadapi tantangan ekonomi masa depan yang makin berat dan kompleks. Semoga.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1506 seconds (0.1#10.140)