Analisis Politik Pascamanuver Surya Paloh Bertemu Jokowi

Selasa, 20 Februari 2024 - 07:59 WIB
loading...
Analisis Politik Pascamanuver...
Pertemuan antara Presiden Jokowi dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pada Minggu (18/2/2024) malam memunculkan spekulasi NasDem akan bergabung ke pemerintahan setelah Pilpres 2024. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Pertemuan antara Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memunculkan banyak spekulasi di masyarakat. Apalagi pertemuan itu tidak sepengetahuan petinggi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), anggota Koalisi Perubahan yang mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di Pilpres 2024.

Direktur Eksekutif Institute for Democracy dan Strategic Affairs (Indostrategic), Ahmad Khoirul Umam menilai wajar jika muncul pertanyaan tentang komitmen spirit perubahan kepada Surya Paloh dari internal PKB dan PKS. Mereka gusar karena khawatir merasa akan dikhianati. Untuk diketahui, hasil quick count Pilpres 2024 yang dilakukan sejumlah lembaga survei menunjukkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dengan 57-59% suara. Sementara pasangan Anies-Muhaimin di angka 24-25%, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD meraih 15-16%.

"Manuver Paloh ini seolah membenarkan penyataan capres nomor urut 1 Anies Baswedan dalam debat capres pertama, yang pernah menyatakan banyak pemimpin politik yang tidak tahan menjadi oposisi, karena membuat mereka tidak bisa berbisnis," kata Ahmad Khoirul Umam dalam keterangannya dikutip, Selasa (20/2/2024).



Ia melihat manuver Surya Paloh memanfaatkan momentum setelah Prabowo Subianto yang menyatakan siap merangkul semua pihak di Kubu 01 dan 03 untuk memperkuat pemerintahannya. Terlebih, realitas Pilpres 2024 tidak menghadirkan coat-tail effect sama sekali, di mana Partai Gerindra harus berpuas diri di peringkat ketiga dengan elektabilitas 13%. Konsekuensinya, Prabowo akan memiliki tingkat ketergantungan politik (political dependency) yang sangat tinggi untuk menjaga stabilitas politik dan pemerintahannya di fase transisi awal kekuasaan yang seringkali penuh turbulensi.

"Untuk mengamankan itu, Prabowo setidaknya harus bisa mengumpulkan sekitar 70% kekuatan politik di parlemen," kata Dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina ini.

Kesempatan tersebut seolah menjadi peluang emas bagi partai-partai menengah untuk putar balik dari koalisi lama, dengan membelot pada kubu pemenang. Sebab, partai-partai kelas tengah cenderung tidak siap berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Mereka juga tampaknya tidak siap untuk menanggung risiko dan konsekuensi ekonomi-politik dan stabilitas internal partainya, ketika mereka harus berpuasa dari kekuasaan.

Khoirul Umam mengatakan, keputusan untuk bergabung dengan kekuasaan merupakan ujian riil terhadap konsistensi atau keistiqomahan partai-partai politik terhadap gerakan perubahan dan narasi kritis yang mereka usung selama kampanye jelang Pemilu 2024. Sebab, baik kubu 01 maupun kubu 03 sangat intens menyerang kubu 02 dan pemerintahan Jokowi sebagai kekuasaan yang merendahkan etika dan konstitusi, tidak memegang moralitas berdemokrasi, hingga dituding mirip dengan karakter kekuasaan yang otokratik.



Artinya, jika akhirnya mereka memilih bergabung dengan kekuasaan, maka mereka sejatinya tengah menjilat ludah sendiri, dan menipu rakyat yang memilih partainya setelah terbuai oleh janji-janji perubahan dan narasi kritis kontra-pemerintah yang mereka munculkan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1753 seconds (0.1#10.140)