Akademisi Dorong Masyarakat Berdemokrasi secara Sehat dan Beretika

Jum'at, 19 Januari 2024 - 23:15 WIB
loading...
Akademisi Dorong Masyarakat Berdemokrasi secara Sehat dan Beretika
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rully Nasrullah. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Indonesia merupakan negara demokrasi yang memberikan kebebasan kepada siapa pun menyatakan pendapatnya. Sayangnya di era media sosial, kebebasan berpendapat itu kerap kali mengabaikan etika berdemokrasi.

Pandangan ini disampaikan akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rully Nasrullah menanggapi kebebasan berpendapat di media sosial. Menurutnya, dalam sistem demokrasi, siapa pun bebas menyatakan pendapatnya melalui apa pun, termasuk media sosial. Namun ia prihatin menjatuhkan figur tertentu justru menjadi budaya, dibandingkan menonjolkan kelebihan tokoh yang didukung.

"Persoalannya adalah kebanyakan di media sosial itu malah lebih ke apa yang tidak mereka dukung gitu. Maka mau tidak mau, ketika membicarakan apa yang tidak mereka dukung itu, yang terjadi bukan proses dialog, tetapi perdebatan yang kontraproduktif. Semestinya ketika kita telah dewasa dalam menyatakan dukungan dan punya literasi yang cukup, maka yang dilakukan adalah melempar pertanyaan, bukan malah menjatuhkan figur tertentu," kata Rully dalam keterangannya dikutip, Jumat (19/1/2024).

Misalnya ketika ada peserta Pemilu yang memiliki program menyehatkan masyarakat, maka bisa ditanyakan rincian program dan perencanaannya. Melalui format pertanyaan, masyarakat bisa mengetahui lebih jauh apa yang ingin disampaikan pihak lain dan dapat menciptakan dialog yang efektif.

Menurut Rully, persoalan yang umum terjadi adalah masyarakat lebih tertarik pada black campaign pada tokoh yang dianggap berseberangan. Hal ini bisa dilihat langsung di media sosial, banyak yang melakukan framing pihak lawan dengan citra negatif, bahkan sampai melakukan character assassination atau pembunuhan karakter.

Bukan hal yang mengherankan jika lebih banyak yang tertarik pada berita atau pencitraan negatif ketimbang positif. Media-media yang terlibat seringkali juga larut dalam permainan saling menjatuhkan masing-masing kontestan politik. Ironinya, kampanye negatif seringkali dianggap sebagai cara yang mudah dan efektif untuk menggaet perhatian masyarakat luas, terlepas dari tingkat ekonomi dan latar belakang mereka.

"Karena begini, bikin orang bahagia itu kadang-kadang susah, tapi kalau bikin benci orang terhadap pihak tertentu, itu jauh lebih gampang. Saya juga tidak menyalahkan para konsultan politik dengan segala macam strategi yang mereka tawarkan pada pihak yang merekrutnya. Mungkin saja masih ada segelintir dari konsultan ini yang berpikir untuk memasukkan character assassination sebagai program kampanye yang mereka rancang," katanya.

Perlu disadari bahwa masyarakat Indonesia masih dan akan terus belajar berdemokrasi yang baik. Sebagai negara yang memiliki cita-cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, sebenarnya Indonesia patut bersyukur karena bisa proses pemilihan umum, baik eksekutif atau legislatif, yang semakin membaik tiap periodenya.

Rully Nasrullah yang juga penulis buku 'Manajemen Komunikasi Digital' ini menyampaikan, kampanye negatif memang masih menjadi hal yang menakutkan, apalagi algoritma mesin pencari di internet akan cenderung menampilkan hal negatif karena justru bisa menarik banyak pengunjung. Fandom atau basis pendukung yang fanatik dan irasional akan senang sekali jika menemukan bahan baru untuk menjatuhkan lawannya.

"Di sinilah rasa tanggung jawab dari seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang aktif bermedia sosial, harus dikedepankan. Tanpa terkecuali, semua pihak harus mengonfirmasi kebenaran setiap berita yang datang kepadanya," katanya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1236 seconds (0.1#10.140)