Sayuti Melik, Sang Nasionalis Pengetik Naskah Proklamasi
loading...
A
A
A
Pengetik naskah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik merupakan pria kelahiran Sleman, Yogyakarta, 22 November 1908. Anak dari Abdul Mu'in alias Partoprawito dan Sumilah inipun telah ditanamkan jiwa nasionalisme sejak kecil.
Misal, ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau. Sedangkan saat belajar di sekolah guru di Solo, 1920, dia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Suami dari Soerastri Karma Trimurti itupun sering ditahan berkali-kali oleh Belanda karena tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan dia ditahan berkali-kali oleh Belanda. Usai penahanan hingga pembuangan ke Jakarta, dirinya bersama istri mendirikan Koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu dengan tiras 2.000 eksemplar. (Baca juga: Semua Orang Wajib Berdiri Tegak 3 Menit Peringati Detik-Detik Proklamasi)
Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga langganan. Sayuti Melik juga masuk dalam enam orang yang baru ditambahkan tanpa sepengetahuan Jepang pada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh Ir. Soekarno. (Baca juga: Naskah Asli Proklamasi Tertulis 17 - 8 - 05, Ini Artinya)
Sayuti Melik juga termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Sukarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945. Dimana penculikan bertujuan agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Dalam penyusunan naskah Proklamasi, Sayuti memberi gagasan, yakni agar teks Proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".
Setelah Indonesia Merdeka, dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, dia ditangkap oleh Pemerintah RI karena dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam "Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, dia dinyatakan tidak bersalah.
Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Soekarno. Namun, ketika Bung Karno berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai".
Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Dia menjadi anggota DPR/MPR, mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.
Sayuti Melik meninggal pada 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan di TMP Kalibata Sayuti Melik pun menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto. Raka Dwi Novianto
Misal, ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau. Sedangkan saat belajar di sekolah guru di Solo, 1920, dia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Suami dari Soerastri Karma Trimurti itupun sering ditahan berkali-kali oleh Belanda karena tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan dia ditahan berkali-kali oleh Belanda. Usai penahanan hingga pembuangan ke Jakarta, dirinya bersama istri mendirikan Koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu dengan tiras 2.000 eksemplar. (Baca juga: Semua Orang Wajib Berdiri Tegak 3 Menit Peringati Detik-Detik Proklamasi)
Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga langganan. Sayuti Melik juga masuk dalam enam orang yang baru ditambahkan tanpa sepengetahuan Jepang pada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh Ir. Soekarno. (Baca juga: Naskah Asli Proklamasi Tertulis 17 - 8 - 05, Ini Artinya)
Sayuti Melik juga termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Sukarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945. Dimana penculikan bertujuan agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Dalam penyusunan naskah Proklamasi, Sayuti memberi gagasan, yakni agar teks Proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".
Setelah Indonesia Merdeka, dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, dia ditangkap oleh Pemerintah RI karena dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam "Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, dia dinyatakan tidak bersalah.
Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Soekarno. Namun, ketika Bung Karno berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai".
Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Dia menjadi anggota DPR/MPR, mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.
Sayuti Melik meninggal pada 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan di TMP Kalibata Sayuti Melik pun menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto. Raka Dwi Novianto
(cip)