Sekolah di Zona Kuning Harus Menenangkan
loading...
A
A
A
KEBIJAKAN terbaru pemerintah membolehkan pembelajaran tatap muka di zona-zona kuning Covid-19 sedikit melegakan. Terobosan ini setidaknya menjadi jalan tengah di tengah runyamnya praktik sekolah online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama ini.
Lewat pelonggaran ini, sekolah-sekolah yang meyakini siap menggelar pembelajaran tatap muka akan makin mantap karena akhirnya mendapat payung hukum. Di sisi lain, ancaman banyak siswa putus sekolah dan lost generation sebagaimana yang dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim akan bisa dicegah.
Toh demikian, kritik atas kebijakan pemerintah ini pun hingga kemarin belum berhenti. Gegabah, berisiko, menjerumuskan anak, guru adalah di antara sederet ungkapan-ungkapan sebagai bentuk penolakan atas keputusan bersama empat menteri tersebut.
Penolakan itu wajar dan sah-sah saja dalam perspektif demokrasi. Namun, terlepas dari itu, kebijakan tentang pendidikan ini tentu telah dipikirkan matang. Apalagi, keputusan juga telah mempertimbangkan masukan dari empat kementerian, yakni Kemendikbud, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri. Para pembuat kebijakan (policy maker) sudah pasti mengukur dampak baik dan buruk dari dibolehkannya siswa bertatap muka. Tak hanya itu, sejumlah protokol kesehatan khusus atau prosedur teknis pun telah disiapkan agar kebijakan ini tak menjadi bumerang atau memicu masalah baru.
Tentu sebagai bagian terobosan (ijtihad), kebijakan ini pun tak menjamin kesempurnaan. Namun, dalam bingkai kondisi tak normal, cara berpikir yang harus diutamakan adalah bagaimana kebijakan mampu memberikan lebih banyak kemanfaatan ketimbang keburukan (madarat). Semua pihak tentu tidak mengelak bahwa sekolah online yang setidaknya berlaku dalam empat bulan terakhir terasa mahal. Banyak orang tua akhirnya kedodoran untuk membeli uang paket internet, membelikan smartphone, laptop, dan sebagainya. Di tiap rumah mayoritas orang tua juga makin terbebani karena model pendidikan saat online justru tak membuat mereka leluasa beraktivitas. Beban psikologis anak juga kian bertambah karena model online cenderung berbentuk tugas dan sebagainya.
Sudah pasti sekolah di zona kuning tidak akan bisa sempurna. Namun, hal itu jangan sampai membuat cara berpikir kita lantas kaku dengan ngotot memberlakukan sekolah harus berbasis online, namun sejatinya memiliki dampak yang lebih buruk. Ketika kesempurnaan itu tak mungkin terwujud, bukan lantas ingin menghilangkan seluruhnya, termasuk akses atau kesempatan anak belajar. Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu, demikian seperti kaidah fikih memberikan pedoman dalam istinbath suatu hukum.
Situasi di lapangan faktanya tidak bisa disamaratakan. Tak sekadar pada daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T), sekolah online bahkan menjadi persoalan di zona hijau sekalipun. Zona kuning atau merah pun tidak lantas harga mati menjadi daerah larangan sekolah tatap muka. Benarkah penentuan zona itu berbasis fakta terkini? Bisa jadi pembagian zona hanya membagi per data di wilayah provinsi, kabupaten/kota, bukan per RT atau RW. Sebab, bagi sekolah yang lingkup terbatas dan kecil, tentu tidak tepat jika didasarkan pada penentuan zona berbasis kabupaten/kota.
Yang terpenting justru bagaimana kebijakan ini dipahami sebagai bentuk alternatif model pembelajaran di tengah kondisi darurat saat ini. Lebih dari itu, pengelola sekolah juga dituntut untuk sangat hati-hati sebelum membuka kelas. Penerapan protokol kesehatan dengan maksimal, simulasi yang matang, dan dialog dengan orang tua siswa serta stakeholder lain adalah sebuah keharusan. Dengan cara demikian, sekolah tatap muka diyakini akan menghadirkan rasa ketenangan dan kenyamanan banyak pihak, bukan syak wasangka atau kecurigaan berlebihan.
Kolaborasi di tengah pandemi saat ini menjadi kunci. Pun demikian, aparat pemerintah di level bawah juga dituntut proaktif berkomunikasi dengan pengelola sekolah atau wali murid. Sebab, kerapkali macetnya kebijakan (policy dissonance) justru bukan pada persoalan pada isi, tapi tersendatnya pemahaman dan komunikasi.
Lewat pelonggaran ini, sekolah-sekolah yang meyakini siap menggelar pembelajaran tatap muka akan makin mantap karena akhirnya mendapat payung hukum. Di sisi lain, ancaman banyak siswa putus sekolah dan lost generation sebagaimana yang dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim akan bisa dicegah.
Toh demikian, kritik atas kebijakan pemerintah ini pun hingga kemarin belum berhenti. Gegabah, berisiko, menjerumuskan anak, guru adalah di antara sederet ungkapan-ungkapan sebagai bentuk penolakan atas keputusan bersama empat menteri tersebut.
Penolakan itu wajar dan sah-sah saja dalam perspektif demokrasi. Namun, terlepas dari itu, kebijakan tentang pendidikan ini tentu telah dipikirkan matang. Apalagi, keputusan juga telah mempertimbangkan masukan dari empat kementerian, yakni Kemendikbud, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri. Para pembuat kebijakan (policy maker) sudah pasti mengukur dampak baik dan buruk dari dibolehkannya siswa bertatap muka. Tak hanya itu, sejumlah protokol kesehatan khusus atau prosedur teknis pun telah disiapkan agar kebijakan ini tak menjadi bumerang atau memicu masalah baru.
Tentu sebagai bagian terobosan (ijtihad), kebijakan ini pun tak menjamin kesempurnaan. Namun, dalam bingkai kondisi tak normal, cara berpikir yang harus diutamakan adalah bagaimana kebijakan mampu memberikan lebih banyak kemanfaatan ketimbang keburukan (madarat). Semua pihak tentu tidak mengelak bahwa sekolah online yang setidaknya berlaku dalam empat bulan terakhir terasa mahal. Banyak orang tua akhirnya kedodoran untuk membeli uang paket internet, membelikan smartphone, laptop, dan sebagainya. Di tiap rumah mayoritas orang tua juga makin terbebani karena model pendidikan saat online justru tak membuat mereka leluasa beraktivitas. Beban psikologis anak juga kian bertambah karena model online cenderung berbentuk tugas dan sebagainya.
Sudah pasti sekolah di zona kuning tidak akan bisa sempurna. Namun, hal itu jangan sampai membuat cara berpikir kita lantas kaku dengan ngotot memberlakukan sekolah harus berbasis online, namun sejatinya memiliki dampak yang lebih buruk. Ketika kesempurnaan itu tak mungkin terwujud, bukan lantas ingin menghilangkan seluruhnya, termasuk akses atau kesempatan anak belajar. Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu, demikian seperti kaidah fikih memberikan pedoman dalam istinbath suatu hukum.
Situasi di lapangan faktanya tidak bisa disamaratakan. Tak sekadar pada daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T), sekolah online bahkan menjadi persoalan di zona hijau sekalipun. Zona kuning atau merah pun tidak lantas harga mati menjadi daerah larangan sekolah tatap muka. Benarkah penentuan zona itu berbasis fakta terkini? Bisa jadi pembagian zona hanya membagi per data di wilayah provinsi, kabupaten/kota, bukan per RT atau RW. Sebab, bagi sekolah yang lingkup terbatas dan kecil, tentu tidak tepat jika didasarkan pada penentuan zona berbasis kabupaten/kota.
Yang terpenting justru bagaimana kebijakan ini dipahami sebagai bentuk alternatif model pembelajaran di tengah kondisi darurat saat ini. Lebih dari itu, pengelola sekolah juga dituntut untuk sangat hati-hati sebelum membuka kelas. Penerapan protokol kesehatan dengan maksimal, simulasi yang matang, dan dialog dengan orang tua siswa serta stakeholder lain adalah sebuah keharusan. Dengan cara demikian, sekolah tatap muka diyakini akan menghadirkan rasa ketenangan dan kenyamanan banyak pihak, bukan syak wasangka atau kecurigaan berlebihan.
Kolaborasi di tengah pandemi saat ini menjadi kunci. Pun demikian, aparat pemerintah di level bawah juga dituntut proaktif berkomunikasi dengan pengelola sekolah atau wali murid. Sebab, kerapkali macetnya kebijakan (policy dissonance) justru bukan pada persoalan pada isi, tapi tersendatnya pemahaman dan komunikasi.
(ras)