Komisi I DPR Nilai Butuh Anggaran Besar Perkuat Pertahanan Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Indonesia sebagai negara maritim harus memperkuat aspek pertahanan. Namun, hal tersebut masih sulit diwujudkan bila alokasi anggaran di bidang pertahanan belum ideal.
Anggota Komisi I DPR Teuku Riefky Harsya mengatakan, hingga 2004, anggaran pertahanan Indonesia relatif sederhana. Kemudian, di 2005, disusunlah sebuah rencana strategis (renstra) TNI yang terbagi dalam 4 tahap selama 20 tahun.
Tujuan penyusunan renstra untuk membentuk postur ideal TNI sebagai bagian dari pembentukan TNI yang profesional dan modern yang diarahkan agar dapat menjawab berbagai kemungkinan tantangan, permasalahan aktual, dan pembangunan kapabilitas jangka panjang yang sesuai dengan kondisi geografis dan dinamika masyarakat.
Peningkatan profesionalisme prajurit TNI itu harus diimbangi dengan meningkatkan kesejahteraan melalui kecukupan penghasilan prajurit, penyediaan dan fasilitas rumah tinggal, jaminan kesehatan, peningkatan pendidikan dan penyiapan skema asuransi masa tugas.
“Tentunya, untuk mencapai postur ideal tersebut dibutuhkan anggaran yang memadai. Karena itu pula, anggaran pertahanan sejak 2005 mulai meningkat. Signifikansi lonjakan anggaran dapat dilihat mulai tahun 2010 (renstra tahap II) di mana pada masa itu, program Minimum Essential Forces (MEF) mulai diterapkan,”ujarnya dalam siaran persnya kepada SINDOnews, Rabu (27/12/2017).
Menurut Riefky, kebijakan pembangunan MEF terdiri dari 3 tahap selama 15 tahun atau mulai 2010 hingga 2024. Kebutuhan anggaran MEF seluruhnya adalah sebesar Rp471,28 triliun di mana kebutuhan anggaran masing-masing tahap adalah sebesar Rp157,1 triliun.
Selama 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), praktis anggaran pertahanan Indonesia mengalami peningkatan signifikan hingga 400%. Kebutuhan Renstra TNI pada tahap II yang bertepatan dengan akhir periode kepemimpinan SBY terpenuhi hingga 97,38% dari kebutuhan yang ada, yakni Rp255,7 triliun dari Rp262,57 triliun.
Beralih ke kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertepatan dengan dimulainya renstra TNI tahap III atau 2015-2019. Kebutuhan anggarannya sebesar Rp907,20 triliun. Apabila ditambahkan dengan kekurangan anggaran renstra tahap I dan II, secara keseluruhan kebutuhan anggara renstra tahap III, Rp1.379,23 triliun.
Pihaknya mengaku gembira ketika Presiden Jokowi mewacanakan peningkatan anggaran pertahanan hingga 1,5% dari GDP. Hal tersebut menandakan adanya kelanjutan dari program tersebut kendati masih belum sepenuhnya terealisasi. Namun dapat dipahami karena pembangunan nasional bukan hanya sektor pertahanan atau TNI saja melainkan banyak hal. Kendati janji adalah janji dan pemerintah harus bekerja ekstra keras bagaimana caranya dapat mewujudkan anggaran pertahanan sebesar 1,5% dari GDP.
“Penagihan terhadap pemenuhan anggaran pertahanan bukan semata pemenuhan janji tapi memang sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Sebagai negara dengan luas daratan hampir 2 juta km2 dan luas laut hampir 8 juta km2, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau-pulaunya yang mencapai lebih dari 17.000 pulau,” katanya.
Besarnya bangsa Indonesia memerlukan kontrol dan perhatian yang besar karena alih-alih menjadi khazanah yang menguntungkan, khawatir malah dimanfaatkan oknum atau sekelompok orang untuk merongrong Indonesia.
Menurut Riefky, sebuah negara idealnya memiliki anggaran pertahanan sebesar 2 hingga 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya. Tidak ada negara yang kekuatan pertahanannya mampu menjaga kepentingan nasional bila anggaran pertahanannya di bawah 1,5% dari PDB.
“Peta kekuatan militer negara-negara di kawasan Asia Tenggara menunjukkan bahwa rasio anggaran pertahanan masing-masing negara terhadap PDB pada umumnya berada di atas 1 hingga 2% dengan alutsista yang sangat modern. Singapura, Bruinei dan bahkan Myanmar memiliki anggaran di atas 3% dari PDB-nya,” tuturnya.
Rasio pertahanan Indonesia terhadap PDB di bawah 1% dengan kondisi alutsista yang sebagian sudah tua atau kedaluwarsa dan banyak di antaranya sudah tidak laik pakai. Dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista/alut lainnya, jika tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan bagi TNI untuk menjalankan tugasnya yaitu menegakkan kedaulatan negara, keselamatan bangsa dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Bila melihat statistik pengeluaran anggaran pertahanan negara-negara di Asia Tenggara, pengeluaran Indonesia nomor dua, USD8,2 miliar di bawah Singapura USD10 miliar. Namun, apabila dilihat berdasarkan rasio perbandingan persentase terhadap PDB, anggaran pertahanan Indonesia di negara-negara di kawasan Asia Tenggara hanya lebih tinggi dari Laos.
“Penagihan terhadap pemenuhan anggaran pertahanan bukan semata pemenuhan janji tapi memang sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Sebagai negara dengan luas daratan hampir 2 juta Km2 dan luas laut hampir 8 juta Km2, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau-pulaunya yang mencapai lebih dari 17.000 pulau,” katanya.
Besarnya bangsa Indonesia memerlukan kontrol dan perhatian yang besar karena alih-alih menjadi khazanah yang menguntungkan, khawatir malah dimanfaatkan oknum atau sekelompok orang untuk merongrong Indonesia.
(Baca Juga: Kesolidan TNI-Polri dan Mengudara 30 Menit dengan Pesawat Sukhoi)
Menurut Riefky, sebuah negara idealnya memiliki anggaran pertahanan sebesar 2 hingga 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya. Tidak ada negara yang kekuatan pertahanannya mampu menjaga kepentingan nasional bila anggaran pertahanannya di bawah 1,5% dari PDB.
“Peta kekuatan militer negara-negara di kawasan Asia Tenggara menunjukkan bahwa rasio anggaran pertahanan masing-masing negara terhadap PDB pada umumnya berada di atas 1 hingga 2% dengan alutsista yang sangat modern. Singapura, Bruinei dan bahkan Myanmar memiliki anggaran di atas 3% dari PDB-nya,” tuturnya.
Rasio pertahanan Indonesia terhadap PDB di bawah 1% dengan kondisi alutsista yang sebagian sudah tua atau kedaluwarsa dan banyak di antaranya sudah tidak laik pakai. Dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista/alut lainnya, jika tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan bagi TNI untuk menjalankan tugasnya yaitu menegakkan kedaulatan negara, keselamatan bangsa dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Bila melihat statistik pengeluaran anggaran pertahanan negara-negara di Asia Tenggara, pengeluaran Indonesia nomor dua, USD8,2 miliar di bawah Singapura USD10 miliar. Namun, apabila dilihat berdasarkan rasio perbandingan persentase terhadap PDB, anggaran pertahanan Indonesia di negara-negara di kawasan Asia Tenggara hanya lebih tinggi dari Laos.
Riefky menjelaskan, Singapura mengalokasikan anggaran pertahanan sekira 22% dari pengeluaran total pemerintah tahunan atau sekira 3,3 % dari PDB. Pendekatan jangka panjang negara untuk anggaran pertahanan diarahkan mempertahankan level kemampuan tinggi Angkatan Bersenjata Singapura (SAF) dan mengejar SAF sebagai generasi lanjut angkatan bersenjata yang modern.
Persentase anggaran pertahanan dari PDB Singapura capai 3.3%, lebih tinggi dari rata-rata global yang ada di kisaran 2% PDB, namun angka tersebut masih jauh di bawah batas maskimal anggaran pertahanan Singapura yang punya batas hingga 6% PDB.
Persoalannya, “Paman Sam” adalah sebuah negara yang memang secara fisik besar sehingga harus dilindungi oleh militer yang besar juga. Sementara Singapura luasnya hanya 710 km2, tidak lebih luas dari Jakarta yang mencapai 740 km2. Jika Singapura mengeluarkan dana yang besar untuk melindungi negaranya yang kecil, maka sangat masuk nalar apabila Indonesia mengeluarkan dana yang jauh lebih besar untuk militer atau pertahanannya.
“Sementara anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,9% dari PDB. Atau diibanding rasio APBN, anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,82%. Berdasarkan persentase terhadap PDB, maka idealnya anggaran pertahanan Indonesia minimum berkisar antara Rp150 – 200 triliun (1,5 – 2% dari PDB),” ujarnya.
Perhitungan tersebut, kata Riefky, sesuai dengan pembangunan MEF. Apabila Indonesia menginginkan agar postur pertahanan lebih berwibawa di mata internasional, maka dapat mencapai Rp400 hingga maksimal Rp600 triliun (4-6% dari PDB). Anggaran tersebut sangat wajar apabila melihat luasnya geografi Indonesia.
Hal tersebut selaras dengan agenda besar pemerintahan Jokowi JK adalah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim internasional dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kekuatan maritim. Negara berkekuatan maritim memang tidak identik dengan kekuatan pertahanan maritim. Tetapi untuk mencapai kondisi ideal, maka pemerintahan Jokowi JK harus tetap melanjutkan agenda pembangunan pertahanan sebagai upaya menjaga kedaulatan Indonesia yang sebagian besar berdimensi laut.
“Saat ini, laut Indonesia masih banyak memiliki lubang-lubang yang sangat mudah ditembus baik oleh militer asing maupun kegiatan kriminal. Luas perbatasan laut dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia mencapai 5 juta kilo persegi. Di situ perlu ditempatkan kapal-kapal militer untuk menjaga keamanan dan kedaulatan laut sebagai upaya pengamanan aset strategis dan sumber daya yang ada di laut,” katanya.
Menurut Riefky, untuk menjaga keamanan dan kedaulatan tersebut, biayanya sangat mahal. Contohnya, empat Kapal Freegat yang baru dibeli dari Belanda harganya mencapai USD800 juta atau sekira Rp9,3 triliun, belum termasuk aksesorisnya. Bila ditambah aksesoris harganya mencapai USD900 juta atau setara Rp10,5 triliun. Sementara untuk memastikan keamanan laut, dibutuhkan lebih banyak kapal sejenis itu.
“Masalah-masalah yang dihadapi dalam pertahanan nasional adalah pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), mengatasi peningkatan kekuatan militer dari negara lain, fasilitas yang belum memadai seperti kapal selam dan pesawat Sukhoi. Indonesia akan diperhitungkan oleh negara lain jika kekuatan dan pertahanan maritimnya bagus. Namun, melihat dari perkembangan alat-alat tempur dan fasilitas yang dimiliki masih jauh dari negara lain,” katanya.
Untuk mendukung visi maritim dalam rangka mewujudkan negara maritim, maka salah satu yang harus diprioritaskan adalah membangun armada pertahanan maritim dana yang akan dibutuhkan untuk memperkuat pertahanan di bidang maritim sangat banyak. Berdasarkan studi yang ada, sambung Riefky, khusus untuk pembangunan armada maritim yang kuat diperlukan anggaran sebesar USD10 miliar atau sekira Rp118 triliun. Sementara itu, kebutuhan anggaran untuk pertahanan nasional secara umum adalah sekira Rp800 triliun untuk 20 tahun ke depan.
Anggota Komisi I DPR Teuku Riefky Harsya mengatakan, hingga 2004, anggaran pertahanan Indonesia relatif sederhana. Kemudian, di 2005, disusunlah sebuah rencana strategis (renstra) TNI yang terbagi dalam 4 tahap selama 20 tahun.
Tujuan penyusunan renstra untuk membentuk postur ideal TNI sebagai bagian dari pembentukan TNI yang profesional dan modern yang diarahkan agar dapat menjawab berbagai kemungkinan tantangan, permasalahan aktual, dan pembangunan kapabilitas jangka panjang yang sesuai dengan kondisi geografis dan dinamika masyarakat.
Peningkatan profesionalisme prajurit TNI itu harus diimbangi dengan meningkatkan kesejahteraan melalui kecukupan penghasilan prajurit, penyediaan dan fasilitas rumah tinggal, jaminan kesehatan, peningkatan pendidikan dan penyiapan skema asuransi masa tugas.
“Tentunya, untuk mencapai postur ideal tersebut dibutuhkan anggaran yang memadai. Karena itu pula, anggaran pertahanan sejak 2005 mulai meningkat. Signifikansi lonjakan anggaran dapat dilihat mulai tahun 2010 (renstra tahap II) di mana pada masa itu, program Minimum Essential Forces (MEF) mulai diterapkan,”ujarnya dalam siaran persnya kepada SINDOnews, Rabu (27/12/2017).
Menurut Riefky, kebijakan pembangunan MEF terdiri dari 3 tahap selama 15 tahun atau mulai 2010 hingga 2024. Kebutuhan anggaran MEF seluruhnya adalah sebesar Rp471,28 triliun di mana kebutuhan anggaran masing-masing tahap adalah sebesar Rp157,1 triliun.
Selama 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), praktis anggaran pertahanan Indonesia mengalami peningkatan signifikan hingga 400%. Kebutuhan Renstra TNI pada tahap II yang bertepatan dengan akhir periode kepemimpinan SBY terpenuhi hingga 97,38% dari kebutuhan yang ada, yakni Rp255,7 triliun dari Rp262,57 triliun.
Beralih ke kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertepatan dengan dimulainya renstra TNI tahap III atau 2015-2019. Kebutuhan anggarannya sebesar Rp907,20 triliun. Apabila ditambahkan dengan kekurangan anggaran renstra tahap I dan II, secara keseluruhan kebutuhan anggara renstra tahap III, Rp1.379,23 triliun.
Pihaknya mengaku gembira ketika Presiden Jokowi mewacanakan peningkatan anggaran pertahanan hingga 1,5% dari GDP. Hal tersebut menandakan adanya kelanjutan dari program tersebut kendati masih belum sepenuhnya terealisasi. Namun dapat dipahami karena pembangunan nasional bukan hanya sektor pertahanan atau TNI saja melainkan banyak hal. Kendati janji adalah janji dan pemerintah harus bekerja ekstra keras bagaimana caranya dapat mewujudkan anggaran pertahanan sebesar 1,5% dari GDP.
“Penagihan terhadap pemenuhan anggaran pertahanan bukan semata pemenuhan janji tapi memang sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Sebagai negara dengan luas daratan hampir 2 juta km2 dan luas laut hampir 8 juta km2, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau-pulaunya yang mencapai lebih dari 17.000 pulau,” katanya.
Besarnya bangsa Indonesia memerlukan kontrol dan perhatian yang besar karena alih-alih menjadi khazanah yang menguntungkan, khawatir malah dimanfaatkan oknum atau sekelompok orang untuk merongrong Indonesia.
Menurut Riefky, sebuah negara idealnya memiliki anggaran pertahanan sebesar 2 hingga 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya. Tidak ada negara yang kekuatan pertahanannya mampu menjaga kepentingan nasional bila anggaran pertahanannya di bawah 1,5% dari PDB.
“Peta kekuatan militer negara-negara di kawasan Asia Tenggara menunjukkan bahwa rasio anggaran pertahanan masing-masing negara terhadap PDB pada umumnya berada di atas 1 hingga 2% dengan alutsista yang sangat modern. Singapura, Bruinei dan bahkan Myanmar memiliki anggaran di atas 3% dari PDB-nya,” tuturnya.
Rasio pertahanan Indonesia terhadap PDB di bawah 1% dengan kondisi alutsista yang sebagian sudah tua atau kedaluwarsa dan banyak di antaranya sudah tidak laik pakai. Dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista/alut lainnya, jika tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan bagi TNI untuk menjalankan tugasnya yaitu menegakkan kedaulatan negara, keselamatan bangsa dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Bila melihat statistik pengeluaran anggaran pertahanan negara-negara di Asia Tenggara, pengeluaran Indonesia nomor dua, USD8,2 miliar di bawah Singapura USD10 miliar. Namun, apabila dilihat berdasarkan rasio perbandingan persentase terhadap PDB, anggaran pertahanan Indonesia di negara-negara di kawasan Asia Tenggara hanya lebih tinggi dari Laos.
“Penagihan terhadap pemenuhan anggaran pertahanan bukan semata pemenuhan janji tapi memang sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Sebagai negara dengan luas daratan hampir 2 juta Km2 dan luas laut hampir 8 juta Km2, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau-pulaunya yang mencapai lebih dari 17.000 pulau,” katanya.
Besarnya bangsa Indonesia memerlukan kontrol dan perhatian yang besar karena alih-alih menjadi khazanah yang menguntungkan, khawatir malah dimanfaatkan oknum atau sekelompok orang untuk merongrong Indonesia.
(Baca Juga: Kesolidan TNI-Polri dan Mengudara 30 Menit dengan Pesawat Sukhoi)
Menurut Riefky, sebuah negara idealnya memiliki anggaran pertahanan sebesar 2 hingga 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya. Tidak ada negara yang kekuatan pertahanannya mampu menjaga kepentingan nasional bila anggaran pertahanannya di bawah 1,5% dari PDB.
“Peta kekuatan militer negara-negara di kawasan Asia Tenggara menunjukkan bahwa rasio anggaran pertahanan masing-masing negara terhadap PDB pada umumnya berada di atas 1 hingga 2% dengan alutsista yang sangat modern. Singapura, Bruinei dan bahkan Myanmar memiliki anggaran di atas 3% dari PDB-nya,” tuturnya.
Rasio pertahanan Indonesia terhadap PDB di bawah 1% dengan kondisi alutsista yang sebagian sudah tua atau kedaluwarsa dan banyak di antaranya sudah tidak laik pakai. Dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista/alut lainnya, jika tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan bagi TNI untuk menjalankan tugasnya yaitu menegakkan kedaulatan negara, keselamatan bangsa dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Bila melihat statistik pengeluaran anggaran pertahanan negara-negara di Asia Tenggara, pengeluaran Indonesia nomor dua, USD8,2 miliar di bawah Singapura USD10 miliar. Namun, apabila dilihat berdasarkan rasio perbandingan persentase terhadap PDB, anggaran pertahanan Indonesia di negara-negara di kawasan Asia Tenggara hanya lebih tinggi dari Laos.
Riefky menjelaskan, Singapura mengalokasikan anggaran pertahanan sekira 22% dari pengeluaran total pemerintah tahunan atau sekira 3,3 % dari PDB. Pendekatan jangka panjang negara untuk anggaran pertahanan diarahkan mempertahankan level kemampuan tinggi Angkatan Bersenjata Singapura (SAF) dan mengejar SAF sebagai generasi lanjut angkatan bersenjata yang modern.
Persentase anggaran pertahanan dari PDB Singapura capai 3.3%, lebih tinggi dari rata-rata global yang ada di kisaran 2% PDB, namun angka tersebut masih jauh di bawah batas maskimal anggaran pertahanan Singapura yang punya batas hingga 6% PDB.
Persoalannya, “Paman Sam” adalah sebuah negara yang memang secara fisik besar sehingga harus dilindungi oleh militer yang besar juga. Sementara Singapura luasnya hanya 710 km2, tidak lebih luas dari Jakarta yang mencapai 740 km2. Jika Singapura mengeluarkan dana yang besar untuk melindungi negaranya yang kecil, maka sangat masuk nalar apabila Indonesia mengeluarkan dana yang jauh lebih besar untuk militer atau pertahanannya.
“Sementara anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,9% dari PDB. Atau diibanding rasio APBN, anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,82%. Berdasarkan persentase terhadap PDB, maka idealnya anggaran pertahanan Indonesia minimum berkisar antara Rp150 – 200 triliun (1,5 – 2% dari PDB),” ujarnya.
Perhitungan tersebut, kata Riefky, sesuai dengan pembangunan MEF. Apabila Indonesia menginginkan agar postur pertahanan lebih berwibawa di mata internasional, maka dapat mencapai Rp400 hingga maksimal Rp600 triliun (4-6% dari PDB). Anggaran tersebut sangat wajar apabila melihat luasnya geografi Indonesia.
Hal tersebut selaras dengan agenda besar pemerintahan Jokowi JK adalah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim internasional dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kekuatan maritim. Negara berkekuatan maritim memang tidak identik dengan kekuatan pertahanan maritim. Tetapi untuk mencapai kondisi ideal, maka pemerintahan Jokowi JK harus tetap melanjutkan agenda pembangunan pertahanan sebagai upaya menjaga kedaulatan Indonesia yang sebagian besar berdimensi laut.
“Saat ini, laut Indonesia masih banyak memiliki lubang-lubang yang sangat mudah ditembus baik oleh militer asing maupun kegiatan kriminal. Luas perbatasan laut dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia mencapai 5 juta kilo persegi. Di situ perlu ditempatkan kapal-kapal militer untuk menjaga keamanan dan kedaulatan laut sebagai upaya pengamanan aset strategis dan sumber daya yang ada di laut,” katanya.
Menurut Riefky, untuk menjaga keamanan dan kedaulatan tersebut, biayanya sangat mahal. Contohnya, empat Kapal Freegat yang baru dibeli dari Belanda harganya mencapai USD800 juta atau sekira Rp9,3 triliun, belum termasuk aksesorisnya. Bila ditambah aksesoris harganya mencapai USD900 juta atau setara Rp10,5 triliun. Sementara untuk memastikan keamanan laut, dibutuhkan lebih banyak kapal sejenis itu.
“Masalah-masalah yang dihadapi dalam pertahanan nasional adalah pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), mengatasi peningkatan kekuatan militer dari negara lain, fasilitas yang belum memadai seperti kapal selam dan pesawat Sukhoi. Indonesia akan diperhitungkan oleh negara lain jika kekuatan dan pertahanan maritimnya bagus. Namun, melihat dari perkembangan alat-alat tempur dan fasilitas yang dimiliki masih jauh dari negara lain,” katanya.
Untuk mendukung visi maritim dalam rangka mewujudkan negara maritim, maka salah satu yang harus diprioritaskan adalah membangun armada pertahanan maritim dana yang akan dibutuhkan untuk memperkuat pertahanan di bidang maritim sangat banyak. Berdasarkan studi yang ada, sambung Riefky, khusus untuk pembangunan armada maritim yang kuat diperlukan anggaran sebesar USD10 miliar atau sekira Rp118 triliun. Sementara itu, kebutuhan anggaran untuk pertahanan nasional secara umum adalah sekira Rp800 triliun untuk 20 tahun ke depan.
(kri)