Hakim MA Haswandi Usul Kurangi Police Justice, Ini Tugasnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hakim Mahkamah Agung (MA) , Haswandi mengusulkan perlunya Police Justice dan eksekusi hubungan lembaga penegak hukum dan peradilan. Usulan ini disampaikan lantaran dirinya melihat adanya persoalan terkait putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum itu seringkali mengalami kendala saat pelaksanaan.
Bahkan pemerintah sendiri mengakui kelemahan dalam pelaksanaan eksekusi sebagai salah satu kelemahan dalam sistem penegakan hukum perdata di Indonesia. Hal ini dikemukakannya dalam pengukuhan sebagai Guru Besar atau Profesor Universitas Islam Sultan Agung.
Haswandi mencontohkan, pada 2020, sebanyak 2.896 permohonan eksekusi yang diajukan di Peradilan Umum itu hanya 923 yang berhasil dieksekusi. Pada 2021, dari 3.372 permohonan itu hanya 1.376 yang berhasil dieksekusi. Tahun lalu, dari 3.926 permohonan, hanya 2.109 yang berhasil dieksekusi.
"Data ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan eksekusi masih belum mencapai tingkat optimal yang diharapkan. Kesadaran masyarakat terhadap pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan, terutama dalam perkara perdata masih kurang,” kata Haswandi dalam keterangannya dikutip, Senin (27/11/2023).
Terkait masalah eksekusi ini, kata dia, Mahkamah Agung dan Peradilan yang berada di bawahnya sampai saat ini tidak memiliki petugas keamanan yang khusus. Selama ini, ia menyebut praktik kebutuhan lembaga peradilan terhadap pengamanan eksekusi, pengamanan persidangan dan sebagainya sangat tergantung kepada budi baiknya institusi kepolisian.
"Oleh karena itu, diperlukan suatu unit kepolisan yang bertugas khusus untuk kepentingan lembaga peradilan yang disebut dengan police justice," ujarnya.
Haswandi mengungkapkan, kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan bisa berasal dari berbagai faktor, baik yang bersifat teknis yuridis maupun non-teknis. Menurutnya, proses eksekusi dilakukan secara paksa dan pihak yang kalah diwajibkan mematuhi putusan pengadilan.
"Jika pihak tersebut menolak melaksanakan putusan, pengadilan dapat meminta bantuan kepada pihak berwenang. Eksekusi pada umumnya terkait dengan putusan pengadilan yang bersifat penghukuman atau Condemnatoir. Putusan tersebut memuat sanksi atau penghukuman kepada pihak yang kalah di persidangan," katanya.
Menurut dia, lambatnya pelaksanaan eksekusi juga menjadi perhatian MA, yang berusaha melakukan perbaikan melalui regulasi internal terkait prosedur eksekusi sebagai solusi jangka pendek. Namun, perbaikan yang lebih holistik dan komprehensif yang melibatkan Pemerintah, DPR, dan Lembaga Yudikatif juga diperlukan.
"Antara lain pembuatan peraturan perundang-undangan yang khusus tentang eksekusi, serta pembentukan unit khusus eksekusi di Mahkamah Agung yang berfungsi sebagai Central Autority pelaksanaan eksekusi," ucapnya.
Salah satu praktisi hukum, Juniver Girsang menilai keberadaan police justice dalam pelaksanaan eksekusi dan lainnya sangat tepat. Sebab, kata dia, pelaksanaan putusan itu merupakan akhir bagi masyarakat yang mencari keadilan hukum.
"Karena permasalahan di dalam pelaksanaan putusan sebagai wujud akhir masyarakat mencari keadilan, selalu menjadi hambatan dalam pelandaan eksekusi, yang membuat masyarakat pencari keadialan merasakan tidak ada kepastian hukum,” kata Juniver.
Bahkan pemerintah sendiri mengakui kelemahan dalam pelaksanaan eksekusi sebagai salah satu kelemahan dalam sistem penegakan hukum perdata di Indonesia. Hal ini dikemukakannya dalam pengukuhan sebagai Guru Besar atau Profesor Universitas Islam Sultan Agung.
Haswandi mencontohkan, pada 2020, sebanyak 2.896 permohonan eksekusi yang diajukan di Peradilan Umum itu hanya 923 yang berhasil dieksekusi. Pada 2021, dari 3.372 permohonan itu hanya 1.376 yang berhasil dieksekusi. Tahun lalu, dari 3.926 permohonan, hanya 2.109 yang berhasil dieksekusi.
"Data ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan eksekusi masih belum mencapai tingkat optimal yang diharapkan. Kesadaran masyarakat terhadap pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan, terutama dalam perkara perdata masih kurang,” kata Haswandi dalam keterangannya dikutip, Senin (27/11/2023).
Terkait masalah eksekusi ini, kata dia, Mahkamah Agung dan Peradilan yang berada di bawahnya sampai saat ini tidak memiliki petugas keamanan yang khusus. Selama ini, ia menyebut praktik kebutuhan lembaga peradilan terhadap pengamanan eksekusi, pengamanan persidangan dan sebagainya sangat tergantung kepada budi baiknya institusi kepolisian.
"Oleh karena itu, diperlukan suatu unit kepolisan yang bertugas khusus untuk kepentingan lembaga peradilan yang disebut dengan police justice," ujarnya.
Haswandi mengungkapkan, kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan bisa berasal dari berbagai faktor, baik yang bersifat teknis yuridis maupun non-teknis. Menurutnya, proses eksekusi dilakukan secara paksa dan pihak yang kalah diwajibkan mematuhi putusan pengadilan.
"Jika pihak tersebut menolak melaksanakan putusan, pengadilan dapat meminta bantuan kepada pihak berwenang. Eksekusi pada umumnya terkait dengan putusan pengadilan yang bersifat penghukuman atau Condemnatoir. Putusan tersebut memuat sanksi atau penghukuman kepada pihak yang kalah di persidangan," katanya.
Menurut dia, lambatnya pelaksanaan eksekusi juga menjadi perhatian MA, yang berusaha melakukan perbaikan melalui regulasi internal terkait prosedur eksekusi sebagai solusi jangka pendek. Namun, perbaikan yang lebih holistik dan komprehensif yang melibatkan Pemerintah, DPR, dan Lembaga Yudikatif juga diperlukan.
"Antara lain pembuatan peraturan perundang-undangan yang khusus tentang eksekusi, serta pembentukan unit khusus eksekusi di Mahkamah Agung yang berfungsi sebagai Central Autority pelaksanaan eksekusi," ucapnya.
Salah satu praktisi hukum, Juniver Girsang menilai keberadaan police justice dalam pelaksanaan eksekusi dan lainnya sangat tepat. Sebab, kata dia, pelaksanaan putusan itu merupakan akhir bagi masyarakat yang mencari keadilan hukum.
"Karena permasalahan di dalam pelaksanaan putusan sebagai wujud akhir masyarakat mencari keadilan, selalu menjadi hambatan dalam pelandaan eksekusi, yang membuat masyarakat pencari keadialan merasakan tidak ada kepastian hukum,” kata Juniver.
(abd)