Aliansi Kebangsaan Sebut Relasi Parpol dan Massa Pemilih Semakin Berjarak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bergulirnya era Reformasi sejatinya telah membuat kedudukan partai politik (parpol) semakin kuat. Sayangnya hal itu tidak diikuti oleh menguatnya demokrasi partisipatoris yang mampu meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses politik.
Penilaian ini disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Menuju PostParliamentary Politics: Mencari Model Representasi Politik yang Inklusif” sebagai rangkaian dari “Diskusi Serial Kebangsaan”, Jumat (13/10/2023).
Diskusi menghadirkan narasumber Direktur Kebijakan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan BRIN Moch Nurhasim, Sosiolog UGM M Najib Azca, dan Peneliti BRIN Irine Hiraswari Gayatri.
"Parpol merupakan satu-satunya ruang atau kanal yang tersedia bagi rakyat Indonesia untuk menyalurkan hak politik (political right) dan kepentingan politiknya, baik dalam hal pengelolaan negara maupun dalam hal memilih kepemimpinan nasional dan daerah," kata Pontjo, Sabtu (14/10/2023).
Selain itu, parpol juga memiliki tugas untuk melaksanakan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat sebagai prasyarat kehidupan politik yang demokratis. Namun Pontjo memandang menguatnya kedudukan dan peran parpol tersebut tidak diikuti oleh menguatnya demokrasi partisipatoris yang mampu meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses politik.
"Pola relasi partai dengan massa pemilihnya justru semakin berjarak dan hanya tampak selama masa kampanye pemilihan umum," ujarnya.
Pola relasi ini menyebabkan peran partai politik semakin surut sebagai saluran artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, sebaliknya lebih menampakkan dirinya sebagai ekstension dari elite pemimpinnya dan ekstension dari kekuatan-kekuatan oligarki.
Beberapa kajian terbaru menunjukkan dalam kurun waktu 25 tahun terakhir kedudukan dan peran partai politik dan parlemen justru menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan dominasi kekuasaan ekonomipolitik.
Belum lagi persoalan di dalam tubuh partai itu sendiri, kata dia, intra party democracy masih menjadi persoalan besar yang dihadapi hampir semua partai politik. "Partai masih sangat tergantung kepada ketuanya dalam pola relasi patronase-klientelistik, dengan corak pengambilan keputusan yang didominasi oleh Sang Ketua,” kata Pontjo.
Masalah lainnya terkait pendanaan partai (party financing) yang terbatas kecuali pada partai-partai tertentu. Keterbatasan dana menyebabkan partai politik rawan diintervensi kekuatan modal ekonomi-politik dari luar. Hal ini pada gilirannya mengukuhkan pengaruh oligarki dalam tubuh partai sekaligus dalam kehidupan politik secara luas.
Pontjo berharap para narasumber sebagai ilmuwan politik maupun segenap peserta FGD untuk ikut memikirkan dan mencari solusi bagaimana memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam sistem kepartaian.
Penilaian ini disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Menuju PostParliamentary Politics: Mencari Model Representasi Politik yang Inklusif” sebagai rangkaian dari “Diskusi Serial Kebangsaan”, Jumat (13/10/2023).
Diskusi menghadirkan narasumber Direktur Kebijakan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan BRIN Moch Nurhasim, Sosiolog UGM M Najib Azca, dan Peneliti BRIN Irine Hiraswari Gayatri.
"Parpol merupakan satu-satunya ruang atau kanal yang tersedia bagi rakyat Indonesia untuk menyalurkan hak politik (political right) dan kepentingan politiknya, baik dalam hal pengelolaan negara maupun dalam hal memilih kepemimpinan nasional dan daerah," kata Pontjo, Sabtu (14/10/2023).
Selain itu, parpol juga memiliki tugas untuk melaksanakan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat sebagai prasyarat kehidupan politik yang demokratis. Namun Pontjo memandang menguatnya kedudukan dan peran parpol tersebut tidak diikuti oleh menguatnya demokrasi partisipatoris yang mampu meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses politik.
"Pola relasi partai dengan massa pemilihnya justru semakin berjarak dan hanya tampak selama masa kampanye pemilihan umum," ujarnya.
Pola relasi ini menyebabkan peran partai politik semakin surut sebagai saluran artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, sebaliknya lebih menampakkan dirinya sebagai ekstension dari elite pemimpinnya dan ekstension dari kekuatan-kekuatan oligarki.
Beberapa kajian terbaru menunjukkan dalam kurun waktu 25 tahun terakhir kedudukan dan peran partai politik dan parlemen justru menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan dominasi kekuasaan ekonomipolitik.
Belum lagi persoalan di dalam tubuh partai itu sendiri, kata dia, intra party democracy masih menjadi persoalan besar yang dihadapi hampir semua partai politik. "Partai masih sangat tergantung kepada ketuanya dalam pola relasi patronase-klientelistik, dengan corak pengambilan keputusan yang didominasi oleh Sang Ketua,” kata Pontjo.
Masalah lainnya terkait pendanaan partai (party financing) yang terbatas kecuali pada partai-partai tertentu. Keterbatasan dana menyebabkan partai politik rawan diintervensi kekuatan modal ekonomi-politik dari luar. Hal ini pada gilirannya mengukuhkan pengaruh oligarki dalam tubuh partai sekaligus dalam kehidupan politik secara luas.
Pontjo berharap para narasumber sebagai ilmuwan politik maupun segenap peserta FGD untuk ikut memikirkan dan mencari solusi bagaimana memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam sistem kepartaian.
(cip)