Idul Kurban dan Spirit Pembebasan

Kamis, 30 Juli 2020 - 15:56 WIB
loading...
A A A
Kedua perayaan hari besar tersebut sarat pesan pembebasan dan penyucian diri (tazkiyat an-nafsi). Salat Id merupakan manifestasi rasa syukur dan panggilan ketaatan kepada Allah, sedangkan berkurban merupakan panggilan cinta Ilahi, keikhlasan tanpa batas, dan pembebasan jiwa dari segala bentuk keserahakan materi dan duniawi. Melalui ibadah kurban, Ibrahim sukses mengaktualisasikan ketulusan cintanya dengan pasrah dan tanpa ragu mempersembahkan kurban terbaiknya, yaitu anak yang sangat dicintainya. Cinta Allah harus dibuktikan dengan memerdekakan pekurban dari segala bentuk godaan duniawi dan materi, termasuk anak sendiri. Karena semua yang “dimiliki dan dinikmati” manusia, termasuk diri sendiri, sejatinya adalah milik Allah.

Tauhid cinta
Perjuangan Ibrahim dalam melakukan penyembelihan anaknya dihadapkan pada bujuk rayu dan godaan setan yang luar biasa dahsyat. Setan-setan itu memprovokasi Ibrahim agar mengurungkan niatnya untuk menyembelih anak kandung sendiri, antara lain, dengan membisikkan ujaran provokasi: “Wahai Ibrahim, apakah engkau sudah gila, anak kandungmu yang engkau sayangi harus mati di tanganmu sendiri? Mengapa engkau tega membunuh darah daging dan belahan jiwamu sendiri?”

Dalam melawan provokasi setan, Ibrahim terbukti berhati ikhlas dan merdeka dari segala bujuk rayu jahat setan. Karena itu, berkurban bukan semata merupakan proses transendensi berupa peneguhan relasi spiritual dengan Tuhan, tetapi juga merupakan proses liberasi (pembebasan) dari segala godaan setan keduniaan dan sekaligus merupakan proses humanisasi dengan menyucikan hati melalui sikap peduli, simpati, bermurah hati, dan aksi berbagi “Ismail” yang paling dicintainya.

Berkurban merupakan puncak ujian iman dan kesabaran yang luar biasa. Jika karunia harta, wanita, dan tahta merupakan ujian biasa, maka “menyembelih Ismail” bagi Ibrahim merupakan ujian iman yang paling berat. Ujian ini hanya bisa dilalui dengan sukses, apabila yang diuji memiliki cinta Ilahi sejati. Kalau bukan karena cinta sejati, mustahil Ibrahim rela menjadikan anak yang dilahirkan dan dibesarkannya dengan susah payah sebagai “sembelihan”. Oleh karena yang memerintahkan oleh kekasih-Nya, Allah, maka apapun yang dicintainya pasti diberikan, termasuk anaknya sendiri.

Dengan cintanya yang ikhlas, autentik, dan heroik, Ibrahim meneladankan kepada kita pentingnya tauhid cinta sejati yang memenuhi apapun panggilan ketaatan kepada Allah. Tauhid cinta mengantarkan seseorang menemukan kebenaran dan kebaikan (hanif) dalam menjalani kehidupan penuh makna. Tauhid cinta meneguhkan bahwa sumber kebenaran, kebaikan, kedamaian, dan kebahagiaan itu adalah cinta sejati kepada-Nya. Sebagai teladan tauhid cinta, Ibrahim sukses menemukan kehadiran Tuhan dalam hati, pikiran, dan kehidupannya, sehingga cinta dunia (hubb ad-dunya), seperti: cinta harta, tahta, wanita, dan pesta, benar-benar dikalahkan oleh tauhid cinta, iman dan takwanya kepada Allah.

Ajaran berkurban yang diteladankan Ibrahim sejatinya dimaksudkan untuk mengakhiri dan menghapuskan tradisi pengorbanan dan perbudakan manusia, karena manusia itu tidak sepatutnya diperbudak, dijajah, dan dijadikan korban atas nama apapun. Nilai kemanusiaan ibadah kurban adalah kemerdekaan dan kebebasan manusia dengan segala hak-hak asasinya, terutama hak untuk hidup secara layak. Itulah mengapa Allah “menggagalkan” penyembelihan Ismail dengan mengganti sembelihan yang besar. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi takwa dari lubuk hatimulah yang dapat mencapainya.” (QS. al-Hajj [22]:37).

Dengan demikian, esensi dan spirit berkurban adalah pemerdekaan umat manusia dan bangsa. Kemerdekaan bangsa yang sudah diproklamasikan para pendiri bangsa dengan perjuangan dan pengorbanan jiwa raga yang tulus harus terus diwarisi para pemimpin dan generasi muda negeri tercinta agar cita-cita mulia para pendiri bangsa dapat diwujudkan.

Jika Ibrahim pada akhirnya sukses menggapai cinta Ilahi dan cinta kemanusiaan sejati berupa aktualisasi cita-cita mulia: memerdekakan “Ismail” yang dicintainya, sehingga menjadi generasi penerus perjuangannya, maka warga bangsa ini harus melestarikan spirit berkurban dengan memerdekakan kembali bangsa ini dari segala bentuk penjajahan: merdeka dari sistem ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, merdeka dari intervensi dan hegemoni bangsa lain, merdeka dari orientasi serba impor, dan sebagainya. Jadi, spirit pembebasan manusia tanpa perjuangan dan kerelaan berkurban tidak bermakna apa-apa. Kemerdekaan bangsa ini harus terus dirawat, dimajukan, dan direkatkan dengan tali spirit perjuangan tanpa pamrih dan kerelaan berkurban demi masa depan yang berkesejahteraan dan berkeadilan sosial.
(ras)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0983 seconds (0.1#10.140)