Lindungi Masyarakat Terdampak Corona, Pemerintah Diminta Perbaiki Data Bansos
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Pusat Riset Kebijakan Publik, The Indonesian Institute (TII) menilai ada sejumlah persoalan sosial yang muncul di masa pandemi COVID-19 dan menjadi tantangan pemerintah. Misalnya, data penerima manfaat bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat yang terdampak pandemi. Dalam realitas penyaluran bansos terdapat permasalahan terkait pembaharuan data.
Peneliti bidang Sosial TII, Nopitri Wahyuni menjelaskan fenomena dampak sosio-ekonomi COVID-19 terhadap rumah tangga menjadi realitas yang tak bisa dielakkan pada masa pandemi. Respons pemerintah untuk memberikan bantuan sosial kepada kurang lebih 43 juta keluarga dinilai dapat menekan persoalan tersebut. (Baca juga: Menag: Salat Idul Adha Boleh Dilaksanakan untuk Daerah Aman COVID-19)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat penambahan 1,63 juta menjadi 26,42 juta orang per Juli 2020. Padahal, per September 2019 lalu, jumlah penduduk miskin berada pada kisaran angka 24,79 juta.
Namun, catatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya ada 21,9% atau sekitar 113 kabupaten/kota yang melakukan pembaharuan terhadap data penerima manfaat tersebut. Riset yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) juga menunjukkan sekitar 49% masyarakat merasa bahwa bantuan sosial belum tepat sasaran.
“Pada masa krisis, salah tantangan besar yang dihadapi oleh pemerintah, baik pusat dan daerah adalah melakukan pembaharuan data untuk mengidentifikasi kelompok masyarakat yang rentan terdampak krisis sosio-ekonomi COVID-19. Tentunya, krisis membuat situasi tersebut sangat dinamis sehingga kebutuhan untuk memperbaharui data tersebut memang diperlukan,” ujar Nopitri kepada SINDOnews, Kamis (30/7/2020).
Selain itu, Nopitri menyoroti kecepatan realisasi anggaran perlindungan sosial COVID-19 pun masih perlu diperbaiki. Catatan dari Kementerian Keuangan pada awal Juli 2020 lalu, realisasi perlindungan sosial masih berada pada kisaran 34.6 persen dari total anggaran yang disiapkan, yakni Rp203.9 triliun.
Hal itu harus berbenturan dengan masalah tumpang tindih bantuan sosial di lapangan maupun penentuan penerima manfaat yang menjadi batu ganjalan dalam proses penyaluran. Sementara, di masa new normal atau adaptasi kebiasaan baru, kerentanan masyarakat terhadap krisis semakin besar sehingga masyarakat membutuhkan mekanisme perlindungan sosial yang mendukung kesempatan ekonomi.
“Di masa new normal ini, selain memperbaharui data, tantangan pemerintah adalah menyediakan perlindungan sosial yang mendukung ekonomi bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan yang masih rentan beradaptasi dengan masa krisis,” tegasnya.
Nopitri menilai kehadiran skema perlindungan sosial sangat diperlukan untuk pemulihan ekonomi bagi kelompok masyarakat yang terdampak COVID-19. Menurutnya, pemerintah harus mendorong pemerataan kesempatan ekonomi melalui insentif bagi pekerja, kesempatan mengakses kredit dan lain-lain.
(Baca juga: Menteri Agama Anjurkan Daging Kurban Dibagikan untuk Masyarakat Terdampak COVID-19)
“Momen ini menjadi refleksi penting terkait mandeknya implementasi program Kartu Prakerja yang sebelumnya didorong untuk memberikan insentif dan peningkatan keterampilan bagi kelompok pekerja informal maupun pekerja yang di-PHK atau dirumahkan. Di sisi lain, skema ini diperlukan bagi masyarakat untuk memulihkan sosio-ekonomi mereka,” tandasnya.
Peneliti bidang Sosial TII, Nopitri Wahyuni menjelaskan fenomena dampak sosio-ekonomi COVID-19 terhadap rumah tangga menjadi realitas yang tak bisa dielakkan pada masa pandemi. Respons pemerintah untuk memberikan bantuan sosial kepada kurang lebih 43 juta keluarga dinilai dapat menekan persoalan tersebut. (Baca juga: Menag: Salat Idul Adha Boleh Dilaksanakan untuk Daerah Aman COVID-19)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat penambahan 1,63 juta menjadi 26,42 juta orang per Juli 2020. Padahal, per September 2019 lalu, jumlah penduduk miskin berada pada kisaran angka 24,79 juta.
Namun, catatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya ada 21,9% atau sekitar 113 kabupaten/kota yang melakukan pembaharuan terhadap data penerima manfaat tersebut. Riset yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) juga menunjukkan sekitar 49% masyarakat merasa bahwa bantuan sosial belum tepat sasaran.
“Pada masa krisis, salah tantangan besar yang dihadapi oleh pemerintah, baik pusat dan daerah adalah melakukan pembaharuan data untuk mengidentifikasi kelompok masyarakat yang rentan terdampak krisis sosio-ekonomi COVID-19. Tentunya, krisis membuat situasi tersebut sangat dinamis sehingga kebutuhan untuk memperbaharui data tersebut memang diperlukan,” ujar Nopitri kepada SINDOnews, Kamis (30/7/2020).
Selain itu, Nopitri menyoroti kecepatan realisasi anggaran perlindungan sosial COVID-19 pun masih perlu diperbaiki. Catatan dari Kementerian Keuangan pada awal Juli 2020 lalu, realisasi perlindungan sosial masih berada pada kisaran 34.6 persen dari total anggaran yang disiapkan, yakni Rp203.9 triliun.
Hal itu harus berbenturan dengan masalah tumpang tindih bantuan sosial di lapangan maupun penentuan penerima manfaat yang menjadi batu ganjalan dalam proses penyaluran. Sementara, di masa new normal atau adaptasi kebiasaan baru, kerentanan masyarakat terhadap krisis semakin besar sehingga masyarakat membutuhkan mekanisme perlindungan sosial yang mendukung kesempatan ekonomi.
“Di masa new normal ini, selain memperbaharui data, tantangan pemerintah adalah menyediakan perlindungan sosial yang mendukung ekonomi bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan yang masih rentan beradaptasi dengan masa krisis,” tegasnya.
Nopitri menilai kehadiran skema perlindungan sosial sangat diperlukan untuk pemulihan ekonomi bagi kelompok masyarakat yang terdampak COVID-19. Menurutnya, pemerintah harus mendorong pemerataan kesempatan ekonomi melalui insentif bagi pekerja, kesempatan mengakses kredit dan lain-lain.
(Baca juga: Menteri Agama Anjurkan Daging Kurban Dibagikan untuk Masyarakat Terdampak COVID-19)
“Momen ini menjadi refleksi penting terkait mandeknya implementasi program Kartu Prakerja yang sebelumnya didorong untuk memberikan insentif dan peningkatan keterampilan bagi kelompok pekerja informal maupun pekerja yang di-PHK atau dirumahkan. Di sisi lain, skema ini diperlukan bagi masyarakat untuk memulihkan sosio-ekonomi mereka,” tandasnya.
(kri)