Heroik Mbah Abdul Kodir dari Tanah Blitar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mbah Abdul Kodir (98) merupakan seorang veteran pemberani yang masih hidup. Semangatnya tetap berkobar, meski tubuh tergolek di tempat tidur karena uzur.
Tersebutlah, sebuah tayangan tentang sosok Mbah Abdul Kodir. Ia diwawancarai di tempat tidur, sambil mengenakan baju batik Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
Sesekali, mot cokelatnya (peci perahu) juga dikenakan. Masih tampak gagah. Garis wajahnya mengguratkan perjuangan hidupnya yang keras. Tayangan YouTube itu berlabel channel Album Sejarah Indonesia diunggah pada 22 November 2022.
Syahdan, Jepang kalah perang dan Sekutu masuk kembali ke Tanah Air. Belanda membonceng tentara sekutu dan hendak menancapkan kukunya kembali di wilayah Nusantara.
Pecah pertempuran di seluruh penjuru Tanah Air. Perang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 di rumah Pegangsaan Timur.
Abdul Kodir yang ketika itu adalah seorang santri di salah satu pondok pesantren. Ia mengingat, awal perjuangan diterjunkan di front Surabaya 1945 bersama laskar laskar lainnya.
Kodir berangkat dari Ponpes Al-Falah Mojo, Kediri untuk menuju Surabaya bersama rekan-rekannya. “Malam itu kami berangkat mampir ke Batalyon Z di Pare, Kediri, langsung menuju Surabaya. Tujuannya adalah Wonokromo. Tapi ketika sampai Brangkal, Mojokerto, terjadi pertempuran. Saya ditugaskan membantu menggotong meriam,” ujarnya.
“Kadang bawa landasan, bawa kuda-kuda atau laras meriam dan ini berat sekali membawanya. Begitulah perjuangan orang saat itu,” sambung Abdul Kodir.
Sebagai catatan, ketiga komponen yaitu meriam, landasan, dan kuda-kuda beratnya bisa mencapai sekitar 53 kilogram. Kali yang lain, Abdul Kodir mengucapkan istilah "Dorgok" (disogok baru dor).
Pengakuannya, ia membeli peluru, kemudian peluru dimasukin ke pipa besi yang dijadikan sebagai laras, kemudian disogok atau ditusuk sehingga peluru meledak. “Batalyon 308 H.Machfud atau Batalyon Gelatik,” katanya saat ditanya ia ikut kelompok siapa.
Nama Machfud diabadikan karena nyali heroiknya yang mengagumkan. Pejuang asal Kediri itu, dalam salah satu pertempuran pascakemerdekaan, melompat ke atas panser, lalu membuka tutup dan melemparkan granat ke dalamnya. “Blaaaarrrr…. Hancur semua. Lalu Machfud diangkat menjadi mayor,” kenang Kodir.
Lalu, Mbah Abdul Kodir sendiri memegang senjata apa ketika berperang? “Bambu runcing! Lha bagaimana lagi, senjata karaben satu saja dipakai tiga-empat orang bergantian,” ujarnya terkekeh.
Bersama pasukan yang lain, ia melakoni pertempuran demi pertempuran di sebagian wilayah Jawa Timur. Mengaku pernah berperang di Madura dan Gresik. “Ya, pokoknya ditugaskan di mana-mana. Ya siap saja,” katanya.
“Tidak takut mati, Mbah?”
“Tidak. Soalnya negaraku ingin dijajah lagi. Kami semua semangat,” jawabnya tegas.
Saat diminta nasihat untuk generasi muda, Kodir pun berpesan, “Pesan saya, jaga negara ini agar tidak dijajah bangsa asing lagi. Aku tidak pandang bulu. Mau dia Kristen, Buddha atau Islam, semua adalah Saudara.”
Menyambut Hari Kemerdekaan ke-78 RI dan HUT ke 20 PPAD, tim PPAD menyambangi kediaman Mbah Abdul Kodir di Desa Maron, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Tim PPAD yang dipimpin Brigjen TNI Pur Edison S.E, M.M didampingi Ketua PPAD Jawa Timur, Mayjen TNI Purn DR Wibisono Poespitohadi tiba di kediaman Mbah Abdul Kodir pada 14 Agustus 2023 sore.
Ahmad Widodo, sang anak kedua menyambut hangat, ditemani Yusuf Handaka putra pertama serta si bungsu seorang perempuan, Tri Kumala Hayati. Sejumlah pengurus Pepabri dan Legiun Veteran RI Kabupaten Blitar kompak ikut bergabung.
Kodir menerima utusan PPAD di tempat tidurnya. Ketika ditanya bagaimana kondisinya, ia menjawab, “Kondisinya dari dengkul (lutut kanan) ke tepong (paha) tidak bisa diangkat. Lain-lain tidak apa-apa.”
Berkisah tentang perjuangannya, Mbah Kodir mengaku hanya bermodalkan semangat dan semangat, dengan tujuan mengusir penjajah. “Saya pejuang rakyat dari KODM AD (komando onder distrik militer, semacam Kodam saat ini). Waktu di kesatuan, saya diberi pangkat letnan satu, di Kawedanan Srengat,” katanya.
Ketika ditanya pangkat terakhir, Kodir hanya tertawa, “Nggak tahu, saya tidak pernah ngurus pangkat.”
Ketika Belanda menyerah dan mengakui kedaulatan Indonesia, perang pun berakhir. Kodir kembali ke kampung dan melakoni profeso sebagai petani. “Saya menikah umur 45. Istri saya 35 tahun,” katanya.
Ia menggarap tanah warisan kakeknya seluas 3 bahu. Ukuran bahu atau bau (dari bouw, kata bahasa Belanda, berarti "garapan") dalam agraria adalah satuan luas lahan yang dipakai di beberapa tempat di Indonesia, terutama di Jawa. Ukuran bahu agak bervariasi, namun kebanyakan adalah 0,70 hingga 0,74 hektare (7.000-7.400 meter persegi) dan ada pula yang menyamakannya dengan 0,8 ha.
Saat ditanya resep panjang usianya, Mbah Kodir kembali mengatakan, “Saya selalu gembira. Saya suka nembang Dandang Gula. Lagu Jepang juga saya hafal,” katanya. Lalu ia pun menyanyikan sebuah lagu berbahasa Jepang dengan lancar didengarkan rombongan PPAD.
Atas saran keluarga dan Kodim Blitar, segera dilakukan renovasi pada sejumlah bagian rumah yang rusak, serta pemasangan conblock di halaman depan. “PPAD dibantu BUMN MIND ID juga menyerahkan obat-obatan, kursi roda, tempat tidur, serta bantuan dua tenaga medis untuk merawat keseharian Abdul Kodir,” ujar Brigjen Purn Edison S.E, MM, Akmil 1988.
Abdul Kodir tak dapat menyembunyikan rasa haru dan terima kasihnya atas kehadiran dan bantuan PPAD bersama BUMN MIND ID. “Tidak mengira, akan datang bapak-bapak dari Jakarta dan Surabaya memberi perhatian dan bantuan. Terima kasih kepada jenderal Doni Monardo beserta pengurus PPAD, serta MIND ID yang telah membantu ayah kami,” ujar Ahmad Widodo, salah seorang putra Abdul Kodir.
Widodo bercerita, asal-usul ayahnya dari Desa Mangunan, Udanawu, kurang lebih 12 kilometer dari Desa Maron, Srengat. “Ini desa ibu,” kata Widodo seraya menambahkan bahwa Istri Abdul Kodir bernama Nursyamsiah sudah berpulang pada 2006.
“Kami anak-anaknya malah tidak pernah diceritain soal perjuangan Bapak. Jadi tahunya kami ya cuma bapak seorang veteran,” tuturnya.
Sudah hampir dua tahun, Mbah Kodir terbaring di tempat tidur, karena salah satu kakinya tidak bisa digerakkan akibat terpeleset di kamar mandi. “Pas jatuh, kami tidak ada di rumah,” kata Widodo.
Semasa sehat, Kodir rajin bertani dan memelihara ayam kampung. Ia juga dikenal senang menyapu dan bersih-bersih sekitar rumah. Begitulah, semangat Mbah Kodir tetap menyala, menyambut HUT ke-78 RI.
Tersebutlah, sebuah tayangan tentang sosok Mbah Abdul Kodir. Ia diwawancarai di tempat tidur, sambil mengenakan baju batik Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
Sesekali, mot cokelatnya (peci perahu) juga dikenakan. Masih tampak gagah. Garis wajahnya mengguratkan perjuangan hidupnya yang keras. Tayangan YouTube itu berlabel channel Album Sejarah Indonesia diunggah pada 22 November 2022.
Syahdan, Jepang kalah perang dan Sekutu masuk kembali ke Tanah Air. Belanda membonceng tentara sekutu dan hendak menancapkan kukunya kembali di wilayah Nusantara.
Pecah pertempuran di seluruh penjuru Tanah Air. Perang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 di rumah Pegangsaan Timur.
Abdul Kodir yang ketika itu adalah seorang santri di salah satu pondok pesantren. Ia mengingat, awal perjuangan diterjunkan di front Surabaya 1945 bersama laskar laskar lainnya.
Kodir berangkat dari Ponpes Al-Falah Mojo, Kediri untuk menuju Surabaya bersama rekan-rekannya. “Malam itu kami berangkat mampir ke Batalyon Z di Pare, Kediri, langsung menuju Surabaya. Tujuannya adalah Wonokromo. Tapi ketika sampai Brangkal, Mojokerto, terjadi pertempuran. Saya ditugaskan membantu menggotong meriam,” ujarnya.
“Kadang bawa landasan, bawa kuda-kuda atau laras meriam dan ini berat sekali membawanya. Begitulah perjuangan orang saat itu,” sambung Abdul Kodir.
Sebagai catatan, ketiga komponen yaitu meriam, landasan, dan kuda-kuda beratnya bisa mencapai sekitar 53 kilogram. Kali yang lain, Abdul Kodir mengucapkan istilah "Dorgok" (disogok baru dor).
Pengakuannya, ia membeli peluru, kemudian peluru dimasukin ke pipa besi yang dijadikan sebagai laras, kemudian disogok atau ditusuk sehingga peluru meledak. “Batalyon 308 H.Machfud atau Batalyon Gelatik,” katanya saat ditanya ia ikut kelompok siapa.
Nama Machfud diabadikan karena nyali heroiknya yang mengagumkan. Pejuang asal Kediri itu, dalam salah satu pertempuran pascakemerdekaan, melompat ke atas panser, lalu membuka tutup dan melemparkan granat ke dalamnya. “Blaaaarrrr…. Hancur semua. Lalu Machfud diangkat menjadi mayor,” kenang Kodir.
Lalu, Mbah Abdul Kodir sendiri memegang senjata apa ketika berperang? “Bambu runcing! Lha bagaimana lagi, senjata karaben satu saja dipakai tiga-empat orang bergantian,” ujarnya terkekeh.
Bersama pasukan yang lain, ia melakoni pertempuran demi pertempuran di sebagian wilayah Jawa Timur. Mengaku pernah berperang di Madura dan Gresik. “Ya, pokoknya ditugaskan di mana-mana. Ya siap saja,” katanya.
“Tidak takut mati, Mbah?”
“Tidak. Soalnya negaraku ingin dijajah lagi. Kami semua semangat,” jawabnya tegas.
Saat diminta nasihat untuk generasi muda, Kodir pun berpesan, “Pesan saya, jaga negara ini agar tidak dijajah bangsa asing lagi. Aku tidak pandang bulu. Mau dia Kristen, Buddha atau Islam, semua adalah Saudara.”
Lagu Jepang
Menyambut Hari Kemerdekaan ke-78 RI dan HUT ke 20 PPAD, tim PPAD menyambangi kediaman Mbah Abdul Kodir di Desa Maron, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Tim PPAD yang dipimpin Brigjen TNI Pur Edison S.E, M.M didampingi Ketua PPAD Jawa Timur, Mayjen TNI Purn DR Wibisono Poespitohadi tiba di kediaman Mbah Abdul Kodir pada 14 Agustus 2023 sore.
Ahmad Widodo, sang anak kedua menyambut hangat, ditemani Yusuf Handaka putra pertama serta si bungsu seorang perempuan, Tri Kumala Hayati. Sejumlah pengurus Pepabri dan Legiun Veteran RI Kabupaten Blitar kompak ikut bergabung.
Kodir menerima utusan PPAD di tempat tidurnya. Ketika ditanya bagaimana kondisinya, ia menjawab, “Kondisinya dari dengkul (lutut kanan) ke tepong (paha) tidak bisa diangkat. Lain-lain tidak apa-apa.”
Berkisah tentang perjuangannya, Mbah Kodir mengaku hanya bermodalkan semangat dan semangat, dengan tujuan mengusir penjajah. “Saya pejuang rakyat dari KODM AD (komando onder distrik militer, semacam Kodam saat ini). Waktu di kesatuan, saya diberi pangkat letnan satu, di Kawedanan Srengat,” katanya.
Ketika ditanya pangkat terakhir, Kodir hanya tertawa, “Nggak tahu, saya tidak pernah ngurus pangkat.”
Ketika Belanda menyerah dan mengakui kedaulatan Indonesia, perang pun berakhir. Kodir kembali ke kampung dan melakoni profeso sebagai petani. “Saya menikah umur 45. Istri saya 35 tahun,” katanya.
Ia menggarap tanah warisan kakeknya seluas 3 bahu. Ukuran bahu atau bau (dari bouw, kata bahasa Belanda, berarti "garapan") dalam agraria adalah satuan luas lahan yang dipakai di beberapa tempat di Indonesia, terutama di Jawa. Ukuran bahu agak bervariasi, namun kebanyakan adalah 0,70 hingga 0,74 hektare (7.000-7.400 meter persegi) dan ada pula yang menyamakannya dengan 0,8 ha.
Saat ditanya resep panjang usianya, Mbah Kodir kembali mengatakan, “Saya selalu gembira. Saya suka nembang Dandang Gula. Lagu Jepang juga saya hafal,” katanya. Lalu ia pun menyanyikan sebuah lagu berbahasa Jepang dengan lancar didengarkan rombongan PPAD.
PPAD Peduli
Atas saran keluarga dan Kodim Blitar, segera dilakukan renovasi pada sejumlah bagian rumah yang rusak, serta pemasangan conblock di halaman depan. “PPAD dibantu BUMN MIND ID juga menyerahkan obat-obatan, kursi roda, tempat tidur, serta bantuan dua tenaga medis untuk merawat keseharian Abdul Kodir,” ujar Brigjen Purn Edison S.E, MM, Akmil 1988.
Abdul Kodir tak dapat menyembunyikan rasa haru dan terima kasihnya atas kehadiran dan bantuan PPAD bersama BUMN MIND ID. “Tidak mengira, akan datang bapak-bapak dari Jakarta dan Surabaya memberi perhatian dan bantuan. Terima kasih kepada jenderal Doni Monardo beserta pengurus PPAD, serta MIND ID yang telah membantu ayah kami,” ujar Ahmad Widodo, salah seorang putra Abdul Kodir.
Widodo bercerita, asal-usul ayahnya dari Desa Mangunan, Udanawu, kurang lebih 12 kilometer dari Desa Maron, Srengat. “Ini desa ibu,” kata Widodo seraya menambahkan bahwa Istri Abdul Kodir bernama Nursyamsiah sudah berpulang pada 2006.
“Kami anak-anaknya malah tidak pernah diceritain soal perjuangan Bapak. Jadi tahunya kami ya cuma bapak seorang veteran,” tuturnya.
Sudah hampir dua tahun, Mbah Kodir terbaring di tempat tidur, karena salah satu kakinya tidak bisa digerakkan akibat terpeleset di kamar mandi. “Pas jatuh, kami tidak ada di rumah,” kata Widodo.
Semasa sehat, Kodir rajin bertani dan memelihara ayam kampung. Ia juga dikenal senang menyapu dan bersih-bersih sekitar rumah. Begitulah, semangat Mbah Kodir tetap menyala, menyambut HUT ke-78 RI.
(rca)