Hasto: Paradigma Pembangunan Harus Kembali ke Konsep Maritim
loading...
A
A
A
"Universitas di setiap koridor strategis harus menjadi city of intellect, harus menjadi pusat pengembangan kepemimpinan intelektual tentang kemajuan wilayahnya. Bagaimana Sulawesi yang dirancang oleh Bung Karno pada 1958 sebagai sumber pangan, maka di situ harus dikembangkan," katanya.
Dengan memindahkan Ibu Kota Negara ke Kaltim, kata Hasto, Selat Lombok, Makassar, dan Bitung, bisa membangun pelabuhan bebas yang sangat potensial bagi Pasifik. Bung Karno mencita-citakan bahwa Indonesia harus menjadi negara terhebat di Hindia, menjadi pintu gerbang di Pasific.
"Karena masa depan dunia ada di Pasific. Artinya apa? Di dalam merancang SDM kita riset dan inovasi di dalam mempersiapkan para tenaga-tenaga pembangunan kita baik itu insinyur, dokter harus melihat koridor strategis ini, sehingga ke depan kita harus melihat laut sebagai jalan masa depan kita, sebagai jalan kejayaan bangsa kita. Kita harus membangun pusat-pusat pertumbuhan pada alur laut kepulauan Indonesia," kata Hasto.
Pria kelahiran Yogyakarta itu mencontohkan Indonesia mengimpor daging sapi dengan nilai Rp40 triliun setahun. Di masa Presiden Jokowi, koridor strategis kembali dikuatkan dengan membangun banyak bendungan agar Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa menjadi lokasi penggemukan sapi.
Di sisi lain, Hasto juga mencontohkan Prof Ali Zum dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menemukan benih unggul kedelai yang mampu berproduksi 4,5 ton per hektare yang angkanya di atas produksi Amerika Serikat. Menurut Hasto, keran impor kedelai Indonesia bisa ditutup apabila benih unggul ini ditanam di 1,1 juta hektare.
"Kita impor kedelai Rp50 triliun per tahun. Kenapa kita tidak berdikari? Maka jalan kemajuan Indonesia Raya artinya dengan cara pandang geopolitik, dengan iptek, dengan self reliance yang menjadi spirit 17 Agustus 1945. Kita harus menjadi negara yang berproduksi terutama dalam hal pangan, energi, kita harus berdaulat. Itu yang harus kita lakukan dan kita menatap ke laut sehingga perencanaan SDM strategis bagi kejayaan Indonesia kita itu bisa dilakukan ketika melihat koridor-koridor strategis yang menjadikan laut sebagai jalan kemajuan kita. Kita harus mampu menghasikan ahli kalautan, peternakan, membesarkan benur untuk ekspor ke luar negeri," kata Hasto.
Di ujung paparannya, Hasto kembali mengingatkan betapa pentingnya mengilhami semangat Proklamasi. "Proklamasi mengajarkan kita untuk meletakkan nasib bangsa di tangan kita sendiri. Dikit-dikit impor dan asing, mengkhianati semangat reformasi. Kuncinya kuasai riset dan inovasi," katanya.
Sementara itu, Prof Ermaya menyampaikan Bung Karno merupakan pemimpin berkelas dunia yang lahir di Indonesia. Pemikiran Bung Karno sangat besar, seperti contoh menggagas Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang menyusun konsep bagaimana negara kita maju.
"Tahun 2045 itu sebagai bagian dari pemikiran perspektif Bung Karno. Kalau kita telaah tentang sejarah bangsa kita, Bung Karno sudah memikirkan bagaimana Indonesia memimpin dunia dengan Konferensi Asia Afrika dan seterusnya. Oleh karena itu, cara pandang yang beliau sampaikan sebenarnya harus cara pandang pada pijakan national character building kita, pada pijakan kita, itu ada di negara kita bukan negara lain. Kita boleh ambil teori-teori politik krisis dunia, tetapi kita juga harus melihat cara pandang geopolitik dunia itu dari bangsa kita sendiri pada pijakan dasar-dasar yang sangat melandasi cara berpikir kita," ucap Ermaya.
Dengan memindahkan Ibu Kota Negara ke Kaltim, kata Hasto, Selat Lombok, Makassar, dan Bitung, bisa membangun pelabuhan bebas yang sangat potensial bagi Pasifik. Bung Karno mencita-citakan bahwa Indonesia harus menjadi negara terhebat di Hindia, menjadi pintu gerbang di Pasific.
"Karena masa depan dunia ada di Pasific. Artinya apa? Di dalam merancang SDM kita riset dan inovasi di dalam mempersiapkan para tenaga-tenaga pembangunan kita baik itu insinyur, dokter harus melihat koridor strategis ini, sehingga ke depan kita harus melihat laut sebagai jalan masa depan kita, sebagai jalan kejayaan bangsa kita. Kita harus membangun pusat-pusat pertumbuhan pada alur laut kepulauan Indonesia," kata Hasto.
Pria kelahiran Yogyakarta itu mencontohkan Indonesia mengimpor daging sapi dengan nilai Rp40 triliun setahun. Di masa Presiden Jokowi, koridor strategis kembali dikuatkan dengan membangun banyak bendungan agar Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa menjadi lokasi penggemukan sapi.
Di sisi lain, Hasto juga mencontohkan Prof Ali Zum dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menemukan benih unggul kedelai yang mampu berproduksi 4,5 ton per hektare yang angkanya di atas produksi Amerika Serikat. Menurut Hasto, keran impor kedelai Indonesia bisa ditutup apabila benih unggul ini ditanam di 1,1 juta hektare.
"Kita impor kedelai Rp50 triliun per tahun. Kenapa kita tidak berdikari? Maka jalan kemajuan Indonesia Raya artinya dengan cara pandang geopolitik, dengan iptek, dengan self reliance yang menjadi spirit 17 Agustus 1945. Kita harus menjadi negara yang berproduksi terutama dalam hal pangan, energi, kita harus berdaulat. Itu yang harus kita lakukan dan kita menatap ke laut sehingga perencanaan SDM strategis bagi kejayaan Indonesia kita itu bisa dilakukan ketika melihat koridor-koridor strategis yang menjadikan laut sebagai jalan kemajuan kita. Kita harus mampu menghasikan ahli kalautan, peternakan, membesarkan benur untuk ekspor ke luar negeri," kata Hasto.
Di ujung paparannya, Hasto kembali mengingatkan betapa pentingnya mengilhami semangat Proklamasi. "Proklamasi mengajarkan kita untuk meletakkan nasib bangsa di tangan kita sendiri. Dikit-dikit impor dan asing, mengkhianati semangat reformasi. Kuncinya kuasai riset dan inovasi," katanya.
Sementara itu, Prof Ermaya menyampaikan Bung Karno merupakan pemimpin berkelas dunia yang lahir di Indonesia. Pemikiran Bung Karno sangat besar, seperti contoh menggagas Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang menyusun konsep bagaimana negara kita maju.
"Tahun 2045 itu sebagai bagian dari pemikiran perspektif Bung Karno. Kalau kita telaah tentang sejarah bangsa kita, Bung Karno sudah memikirkan bagaimana Indonesia memimpin dunia dengan Konferensi Asia Afrika dan seterusnya. Oleh karena itu, cara pandang yang beliau sampaikan sebenarnya harus cara pandang pada pijakan national character building kita, pada pijakan kita, itu ada di negara kita bukan negara lain. Kita boleh ambil teori-teori politik krisis dunia, tetapi kita juga harus melihat cara pandang geopolitik dunia itu dari bangsa kita sendiri pada pijakan dasar-dasar yang sangat melandasi cara berpikir kita," ucap Ermaya.
(abd)