Rieke Diah Pitaloka Ungkap tentang Harmonisasi Peradaban Islam
loading...
A
A
A
JAKARTA - Duta Arsip Nasional Republik Indonesia Rieke Diah Pitaloka menuturkan, bahwa peradaban Islam selalu mampu menjadi harmonisasi hubungan antarnegara di dunia. Dari catatan sejarah, peradaban Islam sangat jelas tidak anti barat ataupun Amerika Serikat, membuat Islam menjadi diplomasi internasional.
Hal itu disampaikan Rieke dalam pembukaan pertemuan pendahuluan Forum Kerja Sama Arsip Nasional Negara-Negara Berpenduduk Mayoritas Muslim dan Seminar Arsip Sejarah Peradaban Islam dan Diplomasi Internasional Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Rieke mengutip memori kolektif Menteri Keuangan Iran, Ali Amini saat pembukaan Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Rieke setuju bahwa negara Islam tulus berkolaborasi guna menciptakan kerja sama yang bermanfaat di semua benua di dunia.
“Kami bisa memberikan pembuktian bahwa bangsa Afrika-Asia jauh dari perasaan permusuhan seperti anti-Barat, anti-Amerika atau anti-Eropa. Kami berharap untuk menciptakan sebuah atmosfir yang tulus dan kolaborasi yang bermanfaat bagi semua benua dan negara, baik negara maju dan kurang maju, bangsa Barat dan bangsa Timur, negara besar dan negara kecil,; sebuah Tanah Air yang universal untuk semua umat manusia demi rasa kedamaian, kebebasan, persamaan, toleransi, dan saling menghormati,” kata Rieke mengutip pandangan Ali Amini.
Rieke mengatakan, gagasan Ali Amini tersebut seirama dengan pemikiran para pemimpin negara-negara yang saat itu menjadi peserta Konferensi Asia Afrika. Pemikiran tentang perdamaian dunia, membebaskan bangsa-bangsa dari kolonialisme dan imperialisme.
Pemikiran yang melahirkan kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif menjadi gerakan kolektif atau gerakan yang bersifat dekolonialisme. Gerakan antarbangsa yang melintasi benua.
"Hasilnya, kurang lebih dalam waktu sepuluh tahun membuahkan tak kurang dari 40 kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin," ucapnya.
Saat itu, tambah Rieke, gerakan negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim untuk perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan umat manusia terus bergulir. Salah satu arsip sejarah penting adalah terkait terbentuknya Organisasi Konferesi Islam pada tahun 1969 yang dipelopori oleh Raja Hasan II dari Maroko dan Raja Faisal dari Arab Saudi.
"Arsip membuka fakta bahwa organisasi ini bukan hanya berjuang melindungi tempat-tempat suci umat Islam. Bukan hanya berjuang untuk meningkatkan kerja sama di antara negara-negara anggota, namun juga memperjuangkan perdamaian dan keamanan internasional. Sama dengan semangat Konferensi Asia-Afrika 1955, OKI berkomitmen membantu perjuangan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat," ucap Rieke.
Menurut Rieke, dari arsip pendiri dan pemimpin bangsa, terpatri suatu perjuangan kolektif yang didasari keimanan atas ajaran Islam. Para pendahulu yang tidak mengajarkan agama dan keyakinan untuk menjebak manusia dalam politik identitas.
"Identitas yang memisahkan umat Islam dari upaya perdamaian, keadilan dan kesejahteraan dunia. Para pendahulu kita berdasarkan fakta dalam arsip sejarah justru mengajarkan pada kita bagaimana menghadapi tantangan zaman dengan khasanah kejiwaan (makhzun-an-nasf) yang bersifat material dan immaterial, yang dikembangkan untuk melahirkan pemikiran progresif-transformatif dalam upaya membangun tata dunia yang berkeadaban dan berperikemanusiaan," katanya.
"Watak Islami bagi para pemimpin di atas mencerminkan sikap dan perilaku yang jauh dari cara pandang ekstrem dalam menyikapi masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya, termasuk dalam pergaulan antarbangsa," pungkasnya.
Hadir dalam kegiatan itu, Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia, Imam Gunarto, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Serta para pimpinan arsip nasional dari Saudi Arabia, Palestina, Malaysia, Maroko, Jordania, Katar, Kuwait dan Brunei Darussalam, serta para Duta Besar negara berpenduduk muslim.
Juga para narasumber lainnya, peserta sejarawan, budayawan, akademisi, para perwakilan pemimpin lembaga negara. Dan kepala daerah, dan organisasi masyarakat, serta organisasi politik.
Hal itu disampaikan Rieke dalam pembukaan pertemuan pendahuluan Forum Kerja Sama Arsip Nasional Negara-Negara Berpenduduk Mayoritas Muslim dan Seminar Arsip Sejarah Peradaban Islam dan Diplomasi Internasional Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Rieke mengutip memori kolektif Menteri Keuangan Iran, Ali Amini saat pembukaan Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung. Rieke setuju bahwa negara Islam tulus berkolaborasi guna menciptakan kerja sama yang bermanfaat di semua benua di dunia.
“Kami bisa memberikan pembuktian bahwa bangsa Afrika-Asia jauh dari perasaan permusuhan seperti anti-Barat, anti-Amerika atau anti-Eropa. Kami berharap untuk menciptakan sebuah atmosfir yang tulus dan kolaborasi yang bermanfaat bagi semua benua dan negara, baik negara maju dan kurang maju, bangsa Barat dan bangsa Timur, negara besar dan negara kecil,; sebuah Tanah Air yang universal untuk semua umat manusia demi rasa kedamaian, kebebasan, persamaan, toleransi, dan saling menghormati,” kata Rieke mengutip pandangan Ali Amini.
Rieke mengatakan, gagasan Ali Amini tersebut seirama dengan pemikiran para pemimpin negara-negara yang saat itu menjadi peserta Konferensi Asia Afrika. Pemikiran tentang perdamaian dunia, membebaskan bangsa-bangsa dari kolonialisme dan imperialisme.
Pemikiran yang melahirkan kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif menjadi gerakan kolektif atau gerakan yang bersifat dekolonialisme. Gerakan antarbangsa yang melintasi benua.
"Hasilnya, kurang lebih dalam waktu sepuluh tahun membuahkan tak kurang dari 40 kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin," ucapnya.
Saat itu, tambah Rieke, gerakan negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim untuk perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan umat manusia terus bergulir. Salah satu arsip sejarah penting adalah terkait terbentuknya Organisasi Konferesi Islam pada tahun 1969 yang dipelopori oleh Raja Hasan II dari Maroko dan Raja Faisal dari Arab Saudi.
"Arsip membuka fakta bahwa organisasi ini bukan hanya berjuang melindungi tempat-tempat suci umat Islam. Bukan hanya berjuang untuk meningkatkan kerja sama di antara negara-negara anggota, namun juga memperjuangkan perdamaian dan keamanan internasional. Sama dengan semangat Konferensi Asia-Afrika 1955, OKI berkomitmen membantu perjuangan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat," ucap Rieke.
Menurut Rieke, dari arsip pendiri dan pemimpin bangsa, terpatri suatu perjuangan kolektif yang didasari keimanan atas ajaran Islam. Para pendahulu yang tidak mengajarkan agama dan keyakinan untuk menjebak manusia dalam politik identitas.
"Identitas yang memisahkan umat Islam dari upaya perdamaian, keadilan dan kesejahteraan dunia. Para pendahulu kita berdasarkan fakta dalam arsip sejarah justru mengajarkan pada kita bagaimana menghadapi tantangan zaman dengan khasanah kejiwaan (makhzun-an-nasf) yang bersifat material dan immaterial, yang dikembangkan untuk melahirkan pemikiran progresif-transformatif dalam upaya membangun tata dunia yang berkeadaban dan berperikemanusiaan," katanya.
"Watak Islami bagi para pemimpin di atas mencerminkan sikap dan perilaku yang jauh dari cara pandang ekstrem dalam menyikapi masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya, termasuk dalam pergaulan antarbangsa," pungkasnya.
Hadir dalam kegiatan itu, Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia, Imam Gunarto, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Serta para pimpinan arsip nasional dari Saudi Arabia, Palestina, Malaysia, Maroko, Jordania, Katar, Kuwait dan Brunei Darussalam, serta para Duta Besar negara berpenduduk muslim.
Juga para narasumber lainnya, peserta sejarawan, budayawan, akademisi, para perwakilan pemimpin lembaga negara. Dan kepala daerah, dan organisasi masyarakat, serta organisasi politik.
(maf)