Sejumlah Warisan Kolonialisme yang Masih Melekat Versi Sejarawan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejarawan Bonnie Triyana melihat masih terdapat perilaku kolonialitas yang melekat di tengah kehidupan masyarakat. Dia mengungkapkan sejumlah hal dalam kehidupan sehari-hari yang masih terwarisi dampak kolonialisme di berbagai bidang.
Dia mengatakan, meski kolonialisme sudah berakhir seiring hengkangnya kekuasaan Belanda di Indonesia, tapi perilaku tersebut masih membelenggu dalam kehidupan sehari-hari.
"Kolonialitas sebagai sebuah konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme masih bisa kita kenali hingga hari ini, mengacu pada cara-cara warisan kolonial yang berdampak pada sistem budaya dan sosial serta pengetahuan dan produksinya," ujarnya dalam pidato kebudayaan di hadapan ratusan warga yang hadir di Pendopo Museum Multatuli, Jumat (16/6/2023) malam.
Misalnya di sektor pendidikan. Bonnie mengatakan, pemerintah kolonial menyediakan pendidikan tidak untuk semua golongan, melainkan hanya kepada kaum bangsawan yang semenjak kedatangan kolonialisme ke Indonesia, menjadi rekan sejawat dalam memerintah negeri ini.
“Hanya golongan elite yang mampu mengakses pendidikan bermutu tinggi tersebut hari ini, sebagaimana golongan bangsawan di masa lalu," kata pria asal Lebak itu.
Kemudian, dia membeberkan bidang lain yang masih terwarisi kolonialisme adalah berlangsungnya feodalisme sebagai hal paling erat di sistem politik Indonesia. Dikatakannya, sejak terbentuknya VOC pada 1602 mulai berlaku sebutan bupati yang diartikan sebagai sebutan para anggota kelompok elite yang berdinas.
"Mereka dipilih atas hubungan darah, keturunan, dan banyaknya pemberian upeti. Bahkan cara kerja pemilihan ini dibuat oleh petinggi pribumi, sedangkan Gubernur VOC tidak tahu," tuturnya.
Dia menuturkan, ternyata feodalisme memang berangkat dari pribumi sendiri yang memiliki keistimewaan atas kekayaan yang dimiliki. "Mereka dipilih atas dasar kepemilikannya, bukan seberapa bagus kinerjanya," ujarnya.
Sedangkan Adipati memiliki tugas untuk memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti. Bahkan mereka juga mengumpulkan upeti dari masyarakatnya. Selain itu, kata dia, jabatan-jabatan terendah seperti kepala distrik diwajibkan untuk memberikan hadiah kepada atasannya agar jabatannya bisa bertahan.
"Pemberian hak istimewa kepada mereka tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukannya. Hal ini memiliki pola yang sama pada saat ini, dengan nuansa feodalisme gaya baru yang hari ini praktiknya bisa kita lihat berkelindan dalam praktik demokrasi elektoral," ujarnya.
Selanjutnya, dia menyoroti sektor kesehatan yang sejak zaman Belanda banyak warga belum terpenuhi kebutuhan dasar gizinya. Dia menambahkan, hal itu mengakibatkan kekurangan gizi dan bertendensi pada stunting yang menjadikan tumbuh kembang anak terhambat.
Begitu juga dengan diskriminasi rasial yang secara formal sejak 1812 merancang aturan melalui lewat kesepakatan Belanda dan kesultanan untuk melindungi orang Tionghoa dan melahirkan banyak masalah. Dia mengungkapkan, Belanda juga menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah, tetapi tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah lewat mitos pemalas.
Bonnie juga menyoroti trauma terhadap paham kiri dan kanan. Menurut Bonnie, kekerasan sering dilazimkan sebagai resolusi saat merespons segala hal yang terjadi di status quo.
Dirinya tegas menolak mitos buruh pemalas. “Jadi mitosnya, kalau gaji buruh dinaikkan, maka akan semakin malas bekerja," imbuhnya.
Dia pun memberikan kritik terhadap praktik stratifikasi sosial dan menyebabkan diskriminasi terhadap kelas bawah. Dia melanjutkan, jabatan-jabatan tertinggi terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal.
“Ketika mereka sudah berada di strata atas, maka dengan mudahnya membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan kelas bawah. Seperti pungutan liar dalam sekolah, setoran atau pemberian hadiah kepada atasan, dan gratifikasi,” ungkapnya.
Patriarki dalam politik juga dikecam oleh Bonnie. Dia melihat kolonialisme merangkul feodalisme yang melestarikan sistem patriarkis yang cara kerjanya masih berlaku hingga hari ini.
Apartheid dalam pembangunan kota merupakan hal terakhir yang disoroti oleh Bonnie. Menurut dia, bukan rahasia lagi jika pengembang perumahan kelas menengah atas mampu menghadirkan berbagai fasilitas umum dan sosial bagi warganya.
"Jauh lebih baik dari warga yang tinggal di perkampungan tanpa kehadiran berbagai fasilitas sebagaimana yang dinikmati oleh mereka yang hidup di dalam kompleks perumahan elite," pungkasnya.
Dia mengatakan, meski kolonialisme sudah berakhir seiring hengkangnya kekuasaan Belanda di Indonesia, tapi perilaku tersebut masih membelenggu dalam kehidupan sehari-hari.
"Kolonialitas sebagai sebuah konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme masih bisa kita kenali hingga hari ini, mengacu pada cara-cara warisan kolonial yang berdampak pada sistem budaya dan sosial serta pengetahuan dan produksinya," ujarnya dalam pidato kebudayaan di hadapan ratusan warga yang hadir di Pendopo Museum Multatuli, Jumat (16/6/2023) malam.
Misalnya di sektor pendidikan. Bonnie mengatakan, pemerintah kolonial menyediakan pendidikan tidak untuk semua golongan, melainkan hanya kepada kaum bangsawan yang semenjak kedatangan kolonialisme ke Indonesia, menjadi rekan sejawat dalam memerintah negeri ini.
“Hanya golongan elite yang mampu mengakses pendidikan bermutu tinggi tersebut hari ini, sebagaimana golongan bangsawan di masa lalu," kata pria asal Lebak itu.
Kemudian, dia membeberkan bidang lain yang masih terwarisi kolonialisme adalah berlangsungnya feodalisme sebagai hal paling erat di sistem politik Indonesia. Dikatakannya, sejak terbentuknya VOC pada 1602 mulai berlaku sebutan bupati yang diartikan sebagai sebutan para anggota kelompok elite yang berdinas.
Baca Juga
"Mereka dipilih atas hubungan darah, keturunan, dan banyaknya pemberian upeti. Bahkan cara kerja pemilihan ini dibuat oleh petinggi pribumi, sedangkan Gubernur VOC tidak tahu," tuturnya.
Dia menuturkan, ternyata feodalisme memang berangkat dari pribumi sendiri yang memiliki keistimewaan atas kekayaan yang dimiliki. "Mereka dipilih atas dasar kepemilikannya, bukan seberapa bagus kinerjanya," ujarnya.
Sedangkan Adipati memiliki tugas untuk memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti. Bahkan mereka juga mengumpulkan upeti dari masyarakatnya. Selain itu, kata dia, jabatan-jabatan terendah seperti kepala distrik diwajibkan untuk memberikan hadiah kepada atasannya agar jabatannya bisa bertahan.
"Pemberian hak istimewa kepada mereka tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukannya. Hal ini memiliki pola yang sama pada saat ini, dengan nuansa feodalisme gaya baru yang hari ini praktiknya bisa kita lihat berkelindan dalam praktik demokrasi elektoral," ujarnya.
Selanjutnya, dia menyoroti sektor kesehatan yang sejak zaman Belanda banyak warga belum terpenuhi kebutuhan dasar gizinya. Dia menambahkan, hal itu mengakibatkan kekurangan gizi dan bertendensi pada stunting yang menjadikan tumbuh kembang anak terhambat.
Begitu juga dengan diskriminasi rasial yang secara formal sejak 1812 merancang aturan melalui lewat kesepakatan Belanda dan kesultanan untuk melindungi orang Tionghoa dan melahirkan banyak masalah. Dia mengungkapkan, Belanda juga menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah, tetapi tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah lewat mitos pemalas.
Bonnie juga menyoroti trauma terhadap paham kiri dan kanan. Menurut Bonnie, kekerasan sering dilazimkan sebagai resolusi saat merespons segala hal yang terjadi di status quo.
Dirinya tegas menolak mitos buruh pemalas. “Jadi mitosnya, kalau gaji buruh dinaikkan, maka akan semakin malas bekerja," imbuhnya.
Dia pun memberikan kritik terhadap praktik stratifikasi sosial dan menyebabkan diskriminasi terhadap kelas bawah. Dia melanjutkan, jabatan-jabatan tertinggi terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal.
“Ketika mereka sudah berada di strata atas, maka dengan mudahnya membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan kelas bawah. Seperti pungutan liar dalam sekolah, setoran atau pemberian hadiah kepada atasan, dan gratifikasi,” ungkapnya.
Patriarki dalam politik juga dikecam oleh Bonnie. Dia melihat kolonialisme merangkul feodalisme yang melestarikan sistem patriarkis yang cara kerjanya masih berlaku hingga hari ini.
Apartheid dalam pembangunan kota merupakan hal terakhir yang disoroti oleh Bonnie. Menurut dia, bukan rahasia lagi jika pengembang perumahan kelas menengah atas mampu menghadirkan berbagai fasilitas umum dan sosial bagi warganya.
"Jauh lebih baik dari warga yang tinggal di perkampungan tanpa kehadiran berbagai fasilitas sebagaimana yang dinikmati oleh mereka yang hidup di dalam kompleks perumahan elite," pungkasnya.
(rca)