Akademisi Sebut Perbedaan Hari Raya Idulfitri Adalah Rahmat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1444 Hijriah segera tiba. Umat Islam seluruh dunia, termasuk di Indonesia bersukacita menjemput datangnya hari kemenangan tersebut.
Lebaran Idulfitri merupakan momentum yang dimanfaatkan untuk saling bermaaf-maafan serta berintrospeksi, membersihkan diri dari segala salah dan dosa.
Namun seperti sering terjadi sebelumnya, kemungkinan akan ada perbedaan Idulfitri 2023 antara Muhammadiyah, pemerintah, dan Nahdlatul Ulama (NU).
Muhammadiyah telah menetapkan Idulfitri jatuh pada Jumat (21/4/2023), sedangkan pemerintah dan NU masih menunggu Sidang Isbat hasil rukyatul hilal, sore nanti.
Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidkom) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rubiyanah Jalil mengatakan, masyarakat harus memaknai perbedaan sebagai keberkahan.
Seperti disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW, al ikhtilaafu ummati rahmah yang berarti perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Perbedaan harus dimaknai sebagai keindahan yang harus dipupuk dan tidak dijadikan sebagai alat politisasi suatu kelompk.
"Jika perbedaan-perbedaan itu justru dijadikan sebagai bahan untuk memunculkan perpecahan karena ingin memenangkan satu kelompok sendiri, maka perbedaan itu justru akan menjadi musibah bagi bangsa Indonesia," kata Rubi yang juga merupakan dosen Program Studi Magister Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah, di Jakarta, Kamis (20/4/2023).
Rubi berharap, dengan momentum Ramadan dan Idulfitri ini, umat kembali kepada fitrah manusia yang sesungguhnya yakni mencintai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kedamaian.
Dengan dilandasi semangat spiritual dan kebangsaan, sejatinya momentum ini mampu memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang dapat meredam perpecahan bangsa.
Ia menjelaskan, bulan Ramadan dikenal memiliki banyak kemuliaan, mulai dari bulan suci, bulan penuh rahmat, hingga bulan syahru jihad atau bulan jihad.
Dikatakan syahru jihad, karena secara historis pelaksanaan Ramadan pada masa Nabi Muhammad SAW bertepatan dengan peristiwa perang dan kemenangan yang diraih umat Islam.
Namun semangat ini kerap disalahartikan oleh beberapa kelompok dengan konteks yang tidak sesuai. Jihad kerap diartikan dengan makna perang (qital), sehingga berpendapat bulan Ramadan adalah waktu yang tepat untuk membuat teror bagi kelompok radikal-terorisme.
"Ketika umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa atau menahan diri, itu pada dasarnya kita sedang berjihad, oleh karena itulah Ramadan disebut juga dengan dengan syahrul jihad," tuturnya.
Menurut Rubi, ada satu peristiwa luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW bersama sahabatnya saat bulan Ramadan, yaitu peristiwa Perang Badar.
Dalam kondisi berpuasa, Nabi Muhammad beserta 313 pasukannya melawan 1.000 Kafir Qurais dalam Perang Badar. Dengan kondisi timpang, akhirnya umat Islam memenangkan perang bersejarah tersebut.
Namun, Rubi mengatakan, eforia kemenangan Perang Badar ini digambarkan oleh Rasulullah sebagai satu perang yang tidak seberapa. Seusai memenangi perang, Nabi Muhammad mengatakan, roza’kna min jihadil asgar ila jihadil akbar (kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar). Kemudian para sahabat bertanya, ‘lalu seperti apa jihad akbar itu ya Rasulullah?’.
"Rasulullah menjawab jihadul akbar jihadul nafs, jihad akbar itu adalah perang melawan diri sendiri. Jadi sebenarnya jihad yang paling besar itu bukan jihad secara fisik berperang dan lain-lain," ungkapnya.
"Tapi jihad yang besar itu adalah jihad untuk melawan diri sendiri dari segala hawa nafsu yang bisa menghancurkan baik diri sendiri maupun orang lain dan itu berpuasa," tambah Dewan Pakar Asosiasi Komunikasi Penyiaran Islam (Askopis) Indonesia ini.
Dalam konteks keindonesiaan, makna jihad melawan hawa nafsu ini dapat dipupuk untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia sebagai negara yang penuh keberagaman suku, agama, ras, dan budaya, perlu menamkan nilai nilai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Menurut Rubi, perlu kesadaran bersama untuk memupuk terus kebhinekaan untuk menghindari perpecahan. "Jika kita selalu berusaha untuk berjihad melawan diri sendiri, melawan keegoan kita sendiri maka sesungguhnya menjaga kesatuan dan persatuan NKRI adalah hal yang sangat bisa untuk diwujudkan," tutupnya.
Lebaran Idulfitri merupakan momentum yang dimanfaatkan untuk saling bermaaf-maafan serta berintrospeksi, membersihkan diri dari segala salah dan dosa.
Namun seperti sering terjadi sebelumnya, kemungkinan akan ada perbedaan Idulfitri 2023 antara Muhammadiyah, pemerintah, dan Nahdlatul Ulama (NU).
Muhammadiyah telah menetapkan Idulfitri jatuh pada Jumat (21/4/2023), sedangkan pemerintah dan NU masih menunggu Sidang Isbat hasil rukyatul hilal, sore nanti.
Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidkom) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rubiyanah Jalil mengatakan, masyarakat harus memaknai perbedaan sebagai keberkahan.
Seperti disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW, al ikhtilaafu ummati rahmah yang berarti perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Perbedaan harus dimaknai sebagai keindahan yang harus dipupuk dan tidak dijadikan sebagai alat politisasi suatu kelompk.
"Jika perbedaan-perbedaan itu justru dijadikan sebagai bahan untuk memunculkan perpecahan karena ingin memenangkan satu kelompok sendiri, maka perbedaan itu justru akan menjadi musibah bagi bangsa Indonesia," kata Rubi yang juga merupakan dosen Program Studi Magister Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah, di Jakarta, Kamis (20/4/2023).
Rubi berharap, dengan momentum Ramadan dan Idulfitri ini, umat kembali kepada fitrah manusia yang sesungguhnya yakni mencintai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kedamaian.
Dengan dilandasi semangat spiritual dan kebangsaan, sejatinya momentum ini mampu memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang dapat meredam perpecahan bangsa.
Ia menjelaskan, bulan Ramadan dikenal memiliki banyak kemuliaan, mulai dari bulan suci, bulan penuh rahmat, hingga bulan syahru jihad atau bulan jihad.
Dikatakan syahru jihad, karena secara historis pelaksanaan Ramadan pada masa Nabi Muhammad SAW bertepatan dengan peristiwa perang dan kemenangan yang diraih umat Islam.
Namun semangat ini kerap disalahartikan oleh beberapa kelompok dengan konteks yang tidak sesuai. Jihad kerap diartikan dengan makna perang (qital), sehingga berpendapat bulan Ramadan adalah waktu yang tepat untuk membuat teror bagi kelompok radikal-terorisme.
"Ketika umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa atau menahan diri, itu pada dasarnya kita sedang berjihad, oleh karena itulah Ramadan disebut juga dengan dengan syahrul jihad," tuturnya.
Menurut Rubi, ada satu peristiwa luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW bersama sahabatnya saat bulan Ramadan, yaitu peristiwa Perang Badar.
Dalam kondisi berpuasa, Nabi Muhammad beserta 313 pasukannya melawan 1.000 Kafir Qurais dalam Perang Badar. Dengan kondisi timpang, akhirnya umat Islam memenangkan perang bersejarah tersebut.
Namun, Rubi mengatakan, eforia kemenangan Perang Badar ini digambarkan oleh Rasulullah sebagai satu perang yang tidak seberapa. Seusai memenangi perang, Nabi Muhammad mengatakan, roza’kna min jihadil asgar ila jihadil akbar (kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar). Kemudian para sahabat bertanya, ‘lalu seperti apa jihad akbar itu ya Rasulullah?’.
"Rasulullah menjawab jihadul akbar jihadul nafs, jihad akbar itu adalah perang melawan diri sendiri. Jadi sebenarnya jihad yang paling besar itu bukan jihad secara fisik berperang dan lain-lain," ungkapnya.
"Tapi jihad yang besar itu adalah jihad untuk melawan diri sendiri dari segala hawa nafsu yang bisa menghancurkan baik diri sendiri maupun orang lain dan itu berpuasa," tambah Dewan Pakar Asosiasi Komunikasi Penyiaran Islam (Askopis) Indonesia ini.
Dalam konteks keindonesiaan, makna jihad melawan hawa nafsu ini dapat dipupuk untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia sebagai negara yang penuh keberagaman suku, agama, ras, dan budaya, perlu menamkan nilai nilai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Menurut Rubi, perlu kesadaran bersama untuk memupuk terus kebhinekaan untuk menghindari perpecahan. "Jika kita selalu berusaha untuk berjihad melawan diri sendiri, melawan keegoan kita sendiri maka sesungguhnya menjaga kesatuan dan persatuan NKRI adalah hal yang sangat bisa untuk diwujudkan," tutupnya.
(maf)