Survei LSI Denny JA: Perolehan Suara Partai Islam Potensial Turun di Pemilu 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dukungan suara terhadap partai politik (parpol) berbasis Islam diperkirakan turun pada Pemilu 2024. Bahkan potensial paling kecil sepanjang sejarah pemilu bebas di Indonesia.
Hal ini merupakan temuan survei terbaru LSI Denny JA yang dilaksanakan pada 4 hingga 15 Januari 2023. Data survei kemudian diperkuat riset kualitatif yang dilakukan dengan analis media, Focus Group Discussion (FGD), dan indepth interview.
Direktur CPA-LSI Denny JA, Ade Mulyana memaparkan, sebagian besar publik menganggap beberapa parpol sebagai partai Islam. Parpol itu adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, dan Partai Ummat.
Sementara itu, beberapa parpol lain dianggap publik sebagai partai nasionalis atau terbuka. Parpol itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Nasdem, Partai Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Hanura, Partai Garuda, Partai Buruh, dan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN).
"Dari tiga partai papan atas (partai dengan dukungan di atas 10%), tidak ada partai berbasis Islam. Persentase partai berbasis Islam di partai papan atas adalah nol," kata Ade Mulyana, Jumat (17/3/2023).
Ade memaparkan, berdasarkan survei LSI Denny JA, partai papan atas, pertama ditempati PDIP dengan dukungan sebesar 22,7%; kemudian disusul Golkar dengan 13,8%; dan Gerindra dengan 11,2%. Ketiga partai papan atas dianggap publik sebagai partai berbasis terbuka atau nasionalis.
Di papan tengah partai dengan dukungan 4% hingga 10%, kata Ade, parpol berbasis Islam hanya dua, yakni PKB dan PKS. Di kelompok ini, paling tinggi adalah PKB dengan dukungan dukungan 8,0%; diikuti Partai Demokrat 5,0%; PKS 4,9%, dan Partai Nasdem dengan dukungan 4,4%.
"Dari partai papan bawah (partai dengan dukungan 1% sampai 4%), partai berbasis Islam ada dua partai yaitu PPP dan PAN. Masing-masing meraih 2,1% dan 1,9%," kata Ade.
Partai-partai Islam lainnya, hanya mampu meraih dukungan di bawah 1%. PBB mendapatkan dukungan 0,5%; kemudian Partai Ummat 0,3%; dan Gelora 0,1%. Ade mengungkapkan, total perolehan partai berbasis Islam pada Pemilu 2024 diprediksi sebesar 17,6%, sementara partai nasionalis/terbuka sebesar 61%.
Jika dibuat perbandingan, maka 1 berbanding 3,5. Angka perbandingan itu terkecil dalam sejarah pemilu bebas yakni, pemilu sejak era kebebasan partai politik era Reformasi 1999-2024 ditambah Pemilu 1955. Pemilu Orde Baru tidak dihitung karena tidak termasuk pemilu bebas.
Berdasarkan data, pada Pemilu 2019, partai berbasis Islam mendapat dukungan sebesar 30,1% dan partai berbasis terbuka atau nasional sebesar 69,9%. Perbandingannya 1 berbanding 2.3. Partai berbasis Islam di Pemilu 2019 adalah PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB.
Pada Pemilu 2014, perolehan dukungan partai berbasis Islam sebesar 31.4% dan partai berbasis terbuka atau nasionalis 68,6%. Perbandingannya 1 berbanding 2,2. Partai berbasis Islam di Pemilu 2014 adalah PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB.
Kemudian Pemilu 2009, partai berbasis Islam mendapat dukungan sebesar 29,2% sementara partai berbasis terbuka atau nasionalis sebesar 70,8%. Perbandingannya 1 berbanding 2,4. Partai berbasis Islam di Pemilu 2009 adalah PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, PKNU, PBR, PMB, PPNUI.
Selanjutnya Pemilu 2004, partai berbasis Islam sebesar 38,3%, sedangkan partai berbasis terbuka atau nasionalis sebesar 61,7%. Perbandingannya 1 berbanding 1,6. Partai berbasis Islam di Pemilu 2004 adalah PKB, PPP, PKS, PAN, PBB, PBR, dan PPNUI.
Pada Pemilu 1999, dukungan terhadap partai berbasis Islam sebesar 37,4%, sementara partai berbasis terbuka atau nasionalis sebesar 62,6%. Perbandingannya 1 berbanding 1,7. Partai berbasis Islam di Pemilu 1999 adalah PPP, PBB, PK, PKNU, PP, PPI MASYUMI, PSII, PKU, KAMI, PUI, PAY, PIB, SUNI, PSII 1905, PMB, PID, PAN, dan PKB.
"Dalam Pemilu 1955, partai berbasis Islam mendapatkan dukungan sebesar 43,9%, partai berbasis terbuka atau nasionalis sebesar 56.1%. Perbandingannya sebesar 1 berbanding 1,3. Partai berbasis Islam di Pemilu 1955 adalah MASYUMI, NU, PSII, PERTI, PPTI, dan AKUI," kata Ade Mulyana.
Ade menyebut, ada tiga faktor yang menyebabkan perolehan suara partai berbasis Islam lebih rendah dari partai berbasis terbuka atau nasionalis. Pertama, depolitisasi Islam di era Orde Baru selama 20 tahun sejak 1978–1998.
Pada masa itu, berlaku secara massif dan keras pemaksaan azas tunggal Pancasila melalui UU Partai Politik dan UU Keormasan. Berlaku secara massif pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) ditetapkan melalui Tap MPR 1978.
Faktor kedua, kata Ade, absennya capres berlatar belakang santri yang kuat. Padahal calon presiden (capres) yang kuat akan mengerek perolehan suara partainya. Sejak pilpres pilihan langsung 2004, tidak ada capres yang kuat yang berlatar belakang santri. Bahkan Amien Rais di 2004, tersisih di putaran pertama.
"Penyebab ketiga, tidak ada inovasi yang segar dari partai berbasis Islam yang menambah dukungan dan pesona, sejak Reformasi. Partai terbuka atau nasionalis mengalami hal yang sama, tetapi mereka memiliki capres yang kuat untuk mengangkat partai," kata Ade
Hal ini merupakan temuan survei terbaru LSI Denny JA yang dilaksanakan pada 4 hingga 15 Januari 2023. Data survei kemudian diperkuat riset kualitatif yang dilakukan dengan analis media, Focus Group Discussion (FGD), dan indepth interview.
Direktur CPA-LSI Denny JA, Ade Mulyana memaparkan, sebagian besar publik menganggap beberapa parpol sebagai partai Islam. Parpol itu adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, dan Partai Ummat.
Sementara itu, beberapa parpol lain dianggap publik sebagai partai nasionalis atau terbuka. Parpol itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Nasdem, Partai Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Hanura, Partai Garuda, Partai Buruh, dan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN).
"Dari tiga partai papan atas (partai dengan dukungan di atas 10%), tidak ada partai berbasis Islam. Persentase partai berbasis Islam di partai papan atas adalah nol," kata Ade Mulyana, Jumat (17/3/2023).
Ade memaparkan, berdasarkan survei LSI Denny JA, partai papan atas, pertama ditempati PDIP dengan dukungan sebesar 22,7%; kemudian disusul Golkar dengan 13,8%; dan Gerindra dengan 11,2%. Ketiga partai papan atas dianggap publik sebagai partai berbasis terbuka atau nasionalis.
Di papan tengah partai dengan dukungan 4% hingga 10%, kata Ade, parpol berbasis Islam hanya dua, yakni PKB dan PKS. Di kelompok ini, paling tinggi adalah PKB dengan dukungan dukungan 8,0%; diikuti Partai Demokrat 5,0%; PKS 4,9%, dan Partai Nasdem dengan dukungan 4,4%.
"Dari partai papan bawah (partai dengan dukungan 1% sampai 4%), partai berbasis Islam ada dua partai yaitu PPP dan PAN. Masing-masing meraih 2,1% dan 1,9%," kata Ade.
Partai-partai Islam lainnya, hanya mampu meraih dukungan di bawah 1%. PBB mendapatkan dukungan 0,5%; kemudian Partai Ummat 0,3%; dan Gelora 0,1%. Ade mengungkapkan, total perolehan partai berbasis Islam pada Pemilu 2024 diprediksi sebesar 17,6%, sementara partai nasionalis/terbuka sebesar 61%.
Jika dibuat perbandingan, maka 1 berbanding 3,5. Angka perbandingan itu terkecil dalam sejarah pemilu bebas yakni, pemilu sejak era kebebasan partai politik era Reformasi 1999-2024 ditambah Pemilu 1955. Pemilu Orde Baru tidak dihitung karena tidak termasuk pemilu bebas.
Berdasarkan data, pada Pemilu 2019, partai berbasis Islam mendapat dukungan sebesar 30,1% dan partai berbasis terbuka atau nasional sebesar 69,9%. Perbandingannya 1 berbanding 2.3. Partai berbasis Islam di Pemilu 2019 adalah PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB.
Pada Pemilu 2014, perolehan dukungan partai berbasis Islam sebesar 31.4% dan partai berbasis terbuka atau nasionalis 68,6%. Perbandingannya 1 berbanding 2,2. Partai berbasis Islam di Pemilu 2014 adalah PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB.
Kemudian Pemilu 2009, partai berbasis Islam mendapat dukungan sebesar 29,2% sementara partai berbasis terbuka atau nasionalis sebesar 70,8%. Perbandingannya 1 berbanding 2,4. Partai berbasis Islam di Pemilu 2009 adalah PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, PKNU, PBR, PMB, PPNUI.
Selanjutnya Pemilu 2004, partai berbasis Islam sebesar 38,3%, sedangkan partai berbasis terbuka atau nasionalis sebesar 61,7%. Perbandingannya 1 berbanding 1,6. Partai berbasis Islam di Pemilu 2004 adalah PKB, PPP, PKS, PAN, PBB, PBR, dan PPNUI.
Pada Pemilu 1999, dukungan terhadap partai berbasis Islam sebesar 37,4%, sementara partai berbasis terbuka atau nasionalis sebesar 62,6%. Perbandingannya 1 berbanding 1,7. Partai berbasis Islam di Pemilu 1999 adalah PPP, PBB, PK, PKNU, PP, PPI MASYUMI, PSII, PKU, KAMI, PUI, PAY, PIB, SUNI, PSII 1905, PMB, PID, PAN, dan PKB.
"Dalam Pemilu 1955, partai berbasis Islam mendapatkan dukungan sebesar 43,9%, partai berbasis terbuka atau nasionalis sebesar 56.1%. Perbandingannya sebesar 1 berbanding 1,3. Partai berbasis Islam di Pemilu 1955 adalah MASYUMI, NU, PSII, PERTI, PPTI, dan AKUI," kata Ade Mulyana.
Ade menyebut, ada tiga faktor yang menyebabkan perolehan suara partai berbasis Islam lebih rendah dari partai berbasis terbuka atau nasionalis. Pertama, depolitisasi Islam di era Orde Baru selama 20 tahun sejak 1978–1998.
Pada masa itu, berlaku secara massif dan keras pemaksaan azas tunggal Pancasila melalui UU Partai Politik dan UU Keormasan. Berlaku secara massif pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) ditetapkan melalui Tap MPR 1978.
Faktor kedua, kata Ade, absennya capres berlatar belakang santri yang kuat. Padahal calon presiden (capres) yang kuat akan mengerek perolehan suara partainya. Sejak pilpres pilihan langsung 2004, tidak ada capres yang kuat yang berlatar belakang santri. Bahkan Amien Rais di 2004, tersisih di putaran pertama.
"Penyebab ketiga, tidak ada inovasi yang segar dari partai berbasis Islam yang menambah dukungan dan pesona, sejak Reformasi. Partai terbuka atau nasionalis mengalami hal yang sama, tetapi mereka memiliki capres yang kuat untuk mengangkat partai," kata Ade
(cip)