Langkah PDIP Usung Gibran Bisa Picu Kekecewaan Kader
loading...
A
A
A
JAKARTA - PDIP resmi mengusung putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon Wali Kota Solo berdampingan dengan Politikus Senior PDIP, Teguh Prakoso.
Drama pencalonan Gibran ini berlangsung panjang karena sebelumnya DPC PDIP Kota Solo telah memberikan rekomendasi kepada Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo untuk menjadi calon pengganti FX Rudy Rudyatmo. (Baca juga: Megawati Minta Gibran dan Calon Kepala Daerah PDIP Lainnya Tak Berleha-leha)
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana Jakarta, Syaifuddin mengatakan keputusan DPP PDIP mengusung Gibran memang berpotensi memunculkan kekecewaan kader yang sudah terdidik dan berjuang lama dan memiliki jasa membesarkan partai di tingkat lokal. Karena itu, menurut Syaifuddin, pilihan politik PDIP ini harus disosialisasikan dengan baik di tingkat partai untuk meredam konflik di tingkat internal.
“Kenapa harus disosialisasikan, dinegosiasikan, dilobi dan seterusnya? Karena di dalam aktivitas politik itu hanya ada dua yang dominan yaitu konsensus dan konflik. Nah kalau kemungkinan terjadinya konflik maka partai harus meminimalisir terjadinya konflik internal karena parpol tidak memilih kader yang sudah didik sejak lama,” ujarnya usai Diskusi Empat Pilar bertajuk “Sidang Tahunan MPR RI: Konvensi Ketatanegaraan Dalam Rangka Laporan Kinerja Lembaga Negara” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (17/7/2020).
Dikatakan Syarifuddin, sebetulnya pilihan politik PDIP dengan mengusung Gibran di Pilkada Solo merupakan strategi politik yang bagus. Sebab dalam menentukan pilihan oleh parpol atas siapa figur yang dicalonkan harus dilihat kredibilitas dan popularitasnya, entah itu karena didorong atas popularitas orang tua atau faktor lain.
“Bahwa Si Calon sebagai anak Presiden adalah sebagai salah satu faktor yang tidak bisa kita hindari dalam melakukan kalkulasi politik untuk mencapai target kemenangan,” tuturnya.
Menurutnya, dalam membentuk pemahaman masyarakat, faktor popularitas itu sangat menentukan. “Jadi kadang-kadang konstituen atau calon pemilih dalam memilih calon pemimpin itu tidak selalu ditentukan oleh partai mana, tetapi kredibilitas, popularitas dari figur itu juga menentukan,” katanya.
Karena itu, menurutnya, tidak salah PDIP memilih Gibran untuk dicalonkan sebagai wali kota di Pilkada karena partai akan melihat prospek dalam kontestasi politik di tingkat lokal. Ketika ada kader yang dari kecil dibesarkan partai, lalu tidak mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin karena ada kewenangan dari parpol menentukan siapa yang akan dicalonkan maka ini harus dipahami bersama oleh internal partai yang mana yang harus diprioritaskan.
“Apakah itu kader yang dibesarkan dan dididik, tapi di mata publik kurang popular. Artinya kalkulasi tingkat kemenangannya kecil dibandingkan dengan ini (Gibran),” jelasnya. ( )
Di sisi lain, kewenangan yang ada di tingkat DPP dalam menentukan calon yang ada di bawah itu tidak bisa dipungkiri karena hal itu juga dilindungi oleh AD/ART. “Jadi aaaaaad plus minusnya,” kata Syarifuddin.
Drama pencalonan Gibran ini berlangsung panjang karena sebelumnya DPC PDIP Kota Solo telah memberikan rekomendasi kepada Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo untuk menjadi calon pengganti FX Rudy Rudyatmo. (Baca juga: Megawati Minta Gibran dan Calon Kepala Daerah PDIP Lainnya Tak Berleha-leha)
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana Jakarta, Syaifuddin mengatakan keputusan DPP PDIP mengusung Gibran memang berpotensi memunculkan kekecewaan kader yang sudah terdidik dan berjuang lama dan memiliki jasa membesarkan partai di tingkat lokal. Karena itu, menurut Syaifuddin, pilihan politik PDIP ini harus disosialisasikan dengan baik di tingkat partai untuk meredam konflik di tingkat internal.
“Kenapa harus disosialisasikan, dinegosiasikan, dilobi dan seterusnya? Karena di dalam aktivitas politik itu hanya ada dua yang dominan yaitu konsensus dan konflik. Nah kalau kemungkinan terjadinya konflik maka partai harus meminimalisir terjadinya konflik internal karena parpol tidak memilih kader yang sudah didik sejak lama,” ujarnya usai Diskusi Empat Pilar bertajuk “Sidang Tahunan MPR RI: Konvensi Ketatanegaraan Dalam Rangka Laporan Kinerja Lembaga Negara” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (17/7/2020).
Dikatakan Syarifuddin, sebetulnya pilihan politik PDIP dengan mengusung Gibran di Pilkada Solo merupakan strategi politik yang bagus. Sebab dalam menentukan pilihan oleh parpol atas siapa figur yang dicalonkan harus dilihat kredibilitas dan popularitasnya, entah itu karena didorong atas popularitas orang tua atau faktor lain.
“Bahwa Si Calon sebagai anak Presiden adalah sebagai salah satu faktor yang tidak bisa kita hindari dalam melakukan kalkulasi politik untuk mencapai target kemenangan,” tuturnya.
Menurutnya, dalam membentuk pemahaman masyarakat, faktor popularitas itu sangat menentukan. “Jadi kadang-kadang konstituen atau calon pemilih dalam memilih calon pemimpin itu tidak selalu ditentukan oleh partai mana, tetapi kredibilitas, popularitas dari figur itu juga menentukan,” katanya.
Karena itu, menurutnya, tidak salah PDIP memilih Gibran untuk dicalonkan sebagai wali kota di Pilkada karena partai akan melihat prospek dalam kontestasi politik di tingkat lokal. Ketika ada kader yang dari kecil dibesarkan partai, lalu tidak mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin karena ada kewenangan dari parpol menentukan siapa yang akan dicalonkan maka ini harus dipahami bersama oleh internal partai yang mana yang harus diprioritaskan.
“Apakah itu kader yang dibesarkan dan dididik, tapi di mata publik kurang popular. Artinya kalkulasi tingkat kemenangannya kecil dibandingkan dengan ini (Gibran),” jelasnya. ( )
Di sisi lain, kewenangan yang ada di tingkat DPP dalam menentukan calon yang ada di bawah itu tidak bisa dipungkiri karena hal itu juga dilindungi oleh AD/ART. “Jadi aaaaaad plus minusnya,” kata Syarifuddin.
(kri)