Ospek Harus Bermanfaat

Sabtu, 08 Agustus 2015 - 10:18 WIB
Ospek Harus Bermanfaat
Ospek Harus Bermanfaat
A A A
SAAT ini ospek tengah dipandang negatif. Bukan lagi sebagai ajang kegiatan pengenalan kampus, ospek dinilai sebagai ajang balas dendam, senioritas, dan momen nampang senior kepada para mahasiswa baru.

Dalam sejarah pendidikan Indonesia pada 1960-an, kegiatan ospek disebut mapram (masa prabakti mahasiswa). Tahun 1971 mapram diganti dengan nama POS (pekan orientasi studi). POS kemudian berganti OS, dan sejak 1990- an hingga sekarang berubah menjadi ospek. Sebenarnya, ospek sudah dihapus oleh Depdiknas dengan Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 5 Tahun 1995.

Surat tersebut juga mengharuskan ospek dilakukan dengan lebih lunak dan dikoordinasi di bawah pembantu rektor (purek) III di tingkat universitas dan pembantu dekan (pudek) III di tingkat fakultas/jurusan. Bahkan, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No30/1990 tentang Pendidikan Tinggi, tak satu kali pun memuat kata “ospek”.

Artinya, ospek memang tidak menjadi bagian penting dalam proses pendidikan. Aturan-aturan yang mengikatnya hanya setingkat surat edaran atau surat keputusan menteri. Sejak awal kemunculannya, korban kekerasan akibat ospek cukup banyak. Seorang mahasiswa di salah satu universitas di Kota Bandung menjadi korbannya.

Meski sempat mereda, pada 2013 silam kegiatan ospek kembali memakan korban. Kali ini mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang menjadi korbannya. Belum lagi kasus yang menimpa lima mahasiswa baru di Fakultas Teknik Universitas Lampung (Unila). Kelima mahasiswa tersebut harus dirawat di rumah sakit setelah diplonco seniornya.

Menurut psikolog dari Universitas Esa Unggul, Nurhayati, ospek tidak akan memakan korban jika dikembalikan ke fungsi yang sebenarnya. “Ospek tidak akan menimbulkan ekses (penyimpangan) jika sudah sesuai jalur. Pihak akademis kampus harus melakukan kontrol dan mengawasi jalannya ospek. Siapa saja panitia yang terlibat, kegiatan apa yang dilakukan, harus benar-benar diketahui,” katanya.

Ia melanjutkan, senior seharusnya memberikan contoh yang baik terhadap juniornya. “Dalam fungsi psikologis (role model), pihak yang berkuasa (senior) seharusnya menunjukkan sikap yang baik kepada bawahannya (junior). Bukan malah menunjukkan kekuasaannya dengan bertindak semena-mena,” katanya.

Sebenarnya ospek memiliki banyak manfaat. “Dapat dijadikan sebagai proses inisiasi mahasiswa baru. Intinya, memperkenalkan sistem pendidikan tinggi, bagaimana cara belajar mandiri, dan aslinya dunia kampus. Ospek juga bisa dijadikan sarana to know each other, berbaur dengan orang-orang baru, saling kenal, dan membuka diri. Dengan mengenali kondisi sosial kampus, you know who to ask when you need something.”

Mengacu pada kasus kekerasan dalam ospek, Nurhayati berpendapat ospek patut dipertahankan dengan melihat sisi positifnya. “Ospek perlu dipertahankan dengan beberapa syarat. Pertama, lebih kembangkan untuk memperkenalkan dunia kampus berikut rule of conduct masing-masing,” katanya.

Kedua, isi ospek dengan kegiatan yang lebih positif seperti kerja bakti atau kegiatan amal agar terhindar dari implusi kekerasan. ”Ketiga, mestilah rektor atau pihak kampus bertanggung jawab dan mengoordinasi langsung jalannya ospek di kampus masing-masing,” ia menambahkan.

Psikolog yang juga pernah menjadi guru BK di salah satu SD swasta tersebut menyebutkan, kekerasan yang sifatnya fisik, verbal, atau psikologis sebenarnya sudah diatur dalam konstitusi.

“Mahasiswa baru tidak perlu takut mengikuti ospek karena segala bentuk kekerasan sebenarnya sudah diatur dalam konstitusi, yaitu Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No38/DIKTI/Kep/2000 yang ditegaskan lagi dalam Surat Edaran No3120/D/T/2001,” tuturnya.

Hanifah muthmainnah
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1122 seconds (0.1#10.140)