Komisi I Akui Anggaran Alutsista Masih Jauh dari Harapan
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya mengakui kondisi alutsista TNI yang usang karena memang ada pola penganggaran untuk Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Mabes TNI yang berbeda dengan negara-negara lain.
Menurut Tantowi, negara-negara lain basisnya adalah membuat postur ancaman, kemudian ditarik kesimpulan alutsista apa yang kemudian dibutuhkan.
"Kalau kita terbalik, betul apa yang disampaikan tadi. Kemhan, Mabes TNI bersama DPR RI dan Kemenkeu ketika membuat penganggaran untuk kebutuhan alutsista bergerak dari alokasi yang tersedia," katanya saat menghadiri Media Briefing Situasi dan Kondisi Alutsista TNI di Auditorium CSIS, Gedung Pakarti Centre, Jakarta Pusat, Jumat (3/7/2015).
Kondisi ini tidak lepas doktrin pertahanan militer yang bersifat defensif aktif. Artinya, Indonesia adalah negara yang tidak punya ancaman tapi aktif dalam mendeteksi dan melokalisir ancaman dari mana.
"Karena ada defensif maka basisnya bertahan. Berbeda dengan negara yang penuh ancaman seperti Singapura, negara yang terjepit secara geografis dan Tiongkok. Kedua negara itu harus membangun dan memperbesar anggaran pertahanan," jelasnya.
Politikus Golkar ini melanjutkan, untuk mengamankan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke dibutuhkan anggaran Rp600-700 triliun. Namun, hal itu tidak mungkin dipenuhi.
"Makanya kita bicara Rp300 triliun tapi itupun enggak bisa dipenuhi, akhirnya baru bisa Rp101 triliun. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kebutuhan ideal dibandingkan kemampuan kita. Jumlah itupun tidak ada apa-apanya untuk memenuhi kebutuhan, hanya 1/3 dari minimum essential force (MEF)," tuturnya.
Tantowi menyebutkan, ada tiga hal yang membuat negara itu dihormati yakni, ekonomi yang kuat, kemudian pertahanan yang kuat atau pimpinan nasional kuat. Karena itu, dirinya tertarik dengan visi dan misi Panglima TNI terpilih Gatot Nurmantyo yang menegaskan pengadaan alutsista tidak boleh terhalang keadaan ekonomi.
"Kita negara maritim tapi doktrin pertahanannya kontinen makanya dalam postur anggaran yang dapat kue paling besar AD. Ini adalah sisa-sisa dari periode sebelumnya. Padahal, ancaman paling besar itu dari laut dan udara."
"Terlebih di pemerintahan Jokowi, laut menjadi pusat perhatian melalui Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Ini yang kita teriakkan bagaimana 2/3 wilayah kita air tapi anggaran untuk AL selalu di bawah dari matra darat," ucapnya.
Untuk membeli alutsista, lanjut Tantowi, memang tidak mudah dan murah. Karena proses pembelian selama ini menggunakan kredit ekspor yang membutuhkan waktu 4-5 tahun, sehingga ketika alutsista jadi sudah tidak relevan lagi dengan teknologi dan ancaman yang dihadapi.
Selain itu, dari 100% postur anggaran tidak sepenuhnya utuh untuk alutsista karena harus dibagi lima pos yakni Kemhan, Mabes TNI dan tiga matra AD, AL dan AU. "Untuk beli alutsista cuma 30%, sisanya 40% gaji pegawai dan prajurit, dan sisanya untuk belanja barang, kita bisa apa, makanya Kemhan dan TNI beli barang bekas yang ternyata memperbanyak anumerta."
"Sebenarnya kita bisa menahan pemerintah untuk tidak beli barang bekas, tapi permasalahannya bukan cuma teknologi yang diperlukan tapi kuantitas untuk jaga wilayah yang luas," tandasnya.
PILIHAN:
52% Alutsista TNI Beroperasi Lebih dari 30 Tahun
CSIS Sebut Perencanaan Anggaran Alutsista Anomali
Menurut Tantowi, negara-negara lain basisnya adalah membuat postur ancaman, kemudian ditarik kesimpulan alutsista apa yang kemudian dibutuhkan.
"Kalau kita terbalik, betul apa yang disampaikan tadi. Kemhan, Mabes TNI bersama DPR RI dan Kemenkeu ketika membuat penganggaran untuk kebutuhan alutsista bergerak dari alokasi yang tersedia," katanya saat menghadiri Media Briefing Situasi dan Kondisi Alutsista TNI di Auditorium CSIS, Gedung Pakarti Centre, Jakarta Pusat, Jumat (3/7/2015).
Kondisi ini tidak lepas doktrin pertahanan militer yang bersifat defensif aktif. Artinya, Indonesia adalah negara yang tidak punya ancaman tapi aktif dalam mendeteksi dan melokalisir ancaman dari mana.
"Karena ada defensif maka basisnya bertahan. Berbeda dengan negara yang penuh ancaman seperti Singapura, negara yang terjepit secara geografis dan Tiongkok. Kedua negara itu harus membangun dan memperbesar anggaran pertahanan," jelasnya.
Politikus Golkar ini melanjutkan, untuk mengamankan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke dibutuhkan anggaran Rp600-700 triliun. Namun, hal itu tidak mungkin dipenuhi.
"Makanya kita bicara Rp300 triliun tapi itupun enggak bisa dipenuhi, akhirnya baru bisa Rp101 triliun. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kebutuhan ideal dibandingkan kemampuan kita. Jumlah itupun tidak ada apa-apanya untuk memenuhi kebutuhan, hanya 1/3 dari minimum essential force (MEF)," tuturnya.
Tantowi menyebutkan, ada tiga hal yang membuat negara itu dihormati yakni, ekonomi yang kuat, kemudian pertahanan yang kuat atau pimpinan nasional kuat. Karena itu, dirinya tertarik dengan visi dan misi Panglima TNI terpilih Gatot Nurmantyo yang menegaskan pengadaan alutsista tidak boleh terhalang keadaan ekonomi.
"Kita negara maritim tapi doktrin pertahanannya kontinen makanya dalam postur anggaran yang dapat kue paling besar AD. Ini adalah sisa-sisa dari periode sebelumnya. Padahal, ancaman paling besar itu dari laut dan udara."
"Terlebih di pemerintahan Jokowi, laut menjadi pusat perhatian melalui Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Ini yang kita teriakkan bagaimana 2/3 wilayah kita air tapi anggaran untuk AL selalu di bawah dari matra darat," ucapnya.
Untuk membeli alutsista, lanjut Tantowi, memang tidak mudah dan murah. Karena proses pembelian selama ini menggunakan kredit ekspor yang membutuhkan waktu 4-5 tahun, sehingga ketika alutsista jadi sudah tidak relevan lagi dengan teknologi dan ancaman yang dihadapi.
Selain itu, dari 100% postur anggaran tidak sepenuhnya utuh untuk alutsista karena harus dibagi lima pos yakni Kemhan, Mabes TNI dan tiga matra AD, AL dan AU. "Untuk beli alutsista cuma 30%, sisanya 40% gaji pegawai dan prajurit, dan sisanya untuk belanja barang, kita bisa apa, makanya Kemhan dan TNI beli barang bekas yang ternyata memperbanyak anumerta."
"Sebenarnya kita bisa menahan pemerintah untuk tidak beli barang bekas, tapi permasalahannya bukan cuma teknologi yang diperlukan tapi kuantitas untuk jaga wilayah yang luas," tandasnya.
PILIHAN:
52% Alutsista TNI Beroperasi Lebih dari 30 Tahun
CSIS Sebut Perencanaan Anggaran Alutsista Anomali
(kri)