Fluktuasi Covid dan Kebijakan Permisif
loading...
A
A
A
PADA hari-hari dalam sepekan terakhir ini publik banyak disuguhi data kasus Covid-19 yang mengalami penambahan sangat besar. Kendati tidak terlalu mengagetkan, sajian data yang di-update tiap hari oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tersebut makin membukakan kesadaran kita bahwa pandemi ini benar-benar belum berakhir.
Kesadaran itulah yang membuat Presiden Jokowi terus mewanti-wanti agar masyarakat tidak cepat berpuas diri meski saat ini pembatasan-pembatasan banyak dilepas. Bahkan Jokowi pada Senin (13/7) memprediksi puncak Covid di Indonesia masih akan terjadi, tepatnya pada Agustus hingga September mendatang.
Ada pesan apa di balik pernyataan Presiden Jokowi tersebut? Prediksi Jokowi akan terjadinya puncak Covid pada satu hingga dua bulan mendatang itu hakikatnya merevisi pernyataannya pada Maret lalu yang menyebutkan kasus tertinggi korona di Indonesia bakal terjadi pada Mei. Dengan terjadi pada Mei diharapkan Covid akan melandai pada Juli ini.
Namun harapan tinggal harapan. Saat ini Juli tepat pada tengah bulan dan angka kasus korona justru tak kunjung melambat. Kemarin angka kasus baru tercatat sebanyak 1.591 orang. Meski tidak tertinggi, jumlah ini jangan dianggap enteng. Sebab data tersebut berbasis pada kasus yang dilaporkan. Padahal masih banyak kasus yang tak terdeteksi maupun terlaporkan (under deteceted-reported). Di level Asia Indonesia juga tercatat dalam 10 besar negara dengan kasus korona tertinggi.
Sebagai presiden, Jokowi juga terkesan resah. Namun sejatinya keresahan tak hanya milik Jokowi, tetapi kita semua. Pada perspektif positif, tingginya kasus bisa dimaknai sebagai keberhasilan pemerintah dalam melakukan tracing secara komprehensif. Bisa jadi pula gelar rapid test juga semakin gencar dan masif.
Namun di sisi lain tingginya kasus positif tersebut juga mengindikasikan bahwa pelonggaran-pelonggaran kebijakan saat ini memberi kontribusi penambahan kasus yang tak sedikit. Relaksasi kebijakan seperti PSBB di DKI Jakarta dan wilayah lain, selain berhasil menciptakan tatanan kehidupan yang baru, juga melahirkan sikap mental anyar. Banyak masyarakat akhirnya memiliki tingkat kepercayaan diri berlebihan atas ancaman Covid-19. Yang terjadi kemudian mereka menjadi lebih menganggap enteng dan abai. Sikap inilah yang sebenarnya rawan karena kurang peduli lagi dengan aspek kehati-hatian.
Fakta ini juga seharusnya menjadi penguat bagi pemerintah untuk mengevaluasi regulasi-regulasi yang dinilai tak membumi. Evaluasi ini sebuah keniscayaan karena nyatanya kebijakan-kebijakan yang serba-membolehkan atau permisif justru kontraproduktif dengan semangat penanganan Covid.
Kini saatnya pemerintah meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang permisif itu seperti pembolehan kerumunan, pembukaan tempat hiburan. Lebih baik fokus pada pelonggaran di bidang-bidang yang urgen dan inti. Pilihan fokus ini tentu banyak mendapat tentangan. Namun jika pemerintah terus ambigu seperti larut pada kepentingan ekonomi semata, mara bahaya yang lebih besar hakikatnya tengah menunggu di kemudian hari.
Agar Covid-19 di Indonesia segera melandai, sangat dibutuhkan regulasi yang mengakar kuat di sendi-sendi kehidupan rakyat dan komprehensif. Keterpaduan ini penting karena selama ini banyak kebijakan yang tumpang tindih antara kementerian satu dengan kementerian lain. Imbasnya regulasi-regulasi itu seolah hanya menjadi macan kertas dan formalitas.
Langkah baru lain adalah pentingnya mekanisme kontrol atas regulasi tersebut. Ini tak berlebihan, sebab selama ini kebijakan yang muncul hanya kuat di atas tetapi tak berdaya di lapangan. Lebih-lebih jika petugas di lapangan tak memiliki komitmen kuat, tentu regulasi menjadi tak berarti. Cara lain yang bisa dilakukan adalah saatnya memberikan sanksi dan penghargaan. Wacana Pemkot Bandung yang akan mendenda warga Rp150.000 jika tak mengenakan masker misalnya adalah sebuah ikhtiar baik. Namun reward juga perlu diberikan bagi warga yang memiliki komitmen besar dalam pencegahan persebaran Covid.
Yang tak kalah penting adalah membangkitkan kembali kesadaran dan komitmen bersama untuk mengatasi Covid. Ini mudah diucapkan, tetapi sulit untuk direalisasi. Sebab era new normal membentuk sikap mental baru yang merasa lebih kuat dan sehat sehingga mereka cenderung lebih susah diatur. Namun dengan dorongan bersama, kesadaran dan komitmen itu tak mustahil terwujud.
Kesadaran itulah yang membuat Presiden Jokowi terus mewanti-wanti agar masyarakat tidak cepat berpuas diri meski saat ini pembatasan-pembatasan banyak dilepas. Bahkan Jokowi pada Senin (13/7) memprediksi puncak Covid di Indonesia masih akan terjadi, tepatnya pada Agustus hingga September mendatang.
Ada pesan apa di balik pernyataan Presiden Jokowi tersebut? Prediksi Jokowi akan terjadinya puncak Covid pada satu hingga dua bulan mendatang itu hakikatnya merevisi pernyataannya pada Maret lalu yang menyebutkan kasus tertinggi korona di Indonesia bakal terjadi pada Mei. Dengan terjadi pada Mei diharapkan Covid akan melandai pada Juli ini.
Namun harapan tinggal harapan. Saat ini Juli tepat pada tengah bulan dan angka kasus korona justru tak kunjung melambat. Kemarin angka kasus baru tercatat sebanyak 1.591 orang. Meski tidak tertinggi, jumlah ini jangan dianggap enteng. Sebab data tersebut berbasis pada kasus yang dilaporkan. Padahal masih banyak kasus yang tak terdeteksi maupun terlaporkan (under deteceted-reported). Di level Asia Indonesia juga tercatat dalam 10 besar negara dengan kasus korona tertinggi.
Sebagai presiden, Jokowi juga terkesan resah. Namun sejatinya keresahan tak hanya milik Jokowi, tetapi kita semua. Pada perspektif positif, tingginya kasus bisa dimaknai sebagai keberhasilan pemerintah dalam melakukan tracing secara komprehensif. Bisa jadi pula gelar rapid test juga semakin gencar dan masif.
Namun di sisi lain tingginya kasus positif tersebut juga mengindikasikan bahwa pelonggaran-pelonggaran kebijakan saat ini memberi kontribusi penambahan kasus yang tak sedikit. Relaksasi kebijakan seperti PSBB di DKI Jakarta dan wilayah lain, selain berhasil menciptakan tatanan kehidupan yang baru, juga melahirkan sikap mental anyar. Banyak masyarakat akhirnya memiliki tingkat kepercayaan diri berlebihan atas ancaman Covid-19. Yang terjadi kemudian mereka menjadi lebih menganggap enteng dan abai. Sikap inilah yang sebenarnya rawan karena kurang peduli lagi dengan aspek kehati-hatian.
Fakta ini juga seharusnya menjadi penguat bagi pemerintah untuk mengevaluasi regulasi-regulasi yang dinilai tak membumi. Evaluasi ini sebuah keniscayaan karena nyatanya kebijakan-kebijakan yang serba-membolehkan atau permisif justru kontraproduktif dengan semangat penanganan Covid.
Kini saatnya pemerintah meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang permisif itu seperti pembolehan kerumunan, pembukaan tempat hiburan. Lebih baik fokus pada pelonggaran di bidang-bidang yang urgen dan inti. Pilihan fokus ini tentu banyak mendapat tentangan. Namun jika pemerintah terus ambigu seperti larut pada kepentingan ekonomi semata, mara bahaya yang lebih besar hakikatnya tengah menunggu di kemudian hari.
Agar Covid-19 di Indonesia segera melandai, sangat dibutuhkan regulasi yang mengakar kuat di sendi-sendi kehidupan rakyat dan komprehensif. Keterpaduan ini penting karena selama ini banyak kebijakan yang tumpang tindih antara kementerian satu dengan kementerian lain. Imbasnya regulasi-regulasi itu seolah hanya menjadi macan kertas dan formalitas.
Langkah baru lain adalah pentingnya mekanisme kontrol atas regulasi tersebut. Ini tak berlebihan, sebab selama ini kebijakan yang muncul hanya kuat di atas tetapi tak berdaya di lapangan. Lebih-lebih jika petugas di lapangan tak memiliki komitmen kuat, tentu regulasi menjadi tak berarti. Cara lain yang bisa dilakukan adalah saatnya memberikan sanksi dan penghargaan. Wacana Pemkot Bandung yang akan mendenda warga Rp150.000 jika tak mengenakan masker misalnya adalah sebuah ikhtiar baik. Namun reward juga perlu diberikan bagi warga yang memiliki komitmen besar dalam pencegahan persebaran Covid.
Yang tak kalah penting adalah membangkitkan kembali kesadaran dan komitmen bersama untuk mengatasi Covid. Ini mudah diucapkan, tetapi sulit untuk direalisasi. Sebab era new normal membentuk sikap mental baru yang merasa lebih kuat dan sehat sehingga mereka cenderung lebih susah diatur. Namun dengan dorongan bersama, kesadaran dan komitmen itu tak mustahil terwujud.
(ras)