Masa Depan Muslim Moderat di Indonesia
loading...
A
A
A
Ridwan
Dosen Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII),
Pengurus Mata Garuda Indonesia LPDP Periode 2022-2024
BAGAIMANA kita memprediksi wajah muslim moderat di 2023 dan tahun-tahun mendatang? Apakah trennya akan positif? Atau wajah konservatisme agama akan menguat? Tulisan singkat ini akan mendiskusikan beberapa pertanyaan ini dengan melihat lintasan sejarah Islam, terutama paska reformasi, dan mengulik aspek sosio-politik dari muslim di Tanah Air.
Kita menyaksikan bahwa semenjak era Reformasi 1998 bergulir, Indonesia telah dan sedang mengalami penguatan konservatisme agama (conservative turn) dan Islamisasi ruang publik yang meruyak, ditandai dengan meningkatnya jumlah bank syariah, sekolah Islam tradisional, universitas Islam, dan masjid. Juga, ratusan perda bernuansa syariah yang acap merugikan minoritas, non-Muslim dan perempuan.
Selain itu, kehadiran kelompok transnasional Islam, yang mempropagandakan negara Islam atau kekhalifahan Islam adalah problem tersendiri. Kehadiran kelompok Islam transnasional telah memicu ketegangan tidak hanya dengan komunitas Kristen dan agama-agama lain, tetapi juga di dalam komunitas muslim yang dianggap sempalan, seperti Jamaah Ahmadiyah dan komunitas Syiah serta agama-agama lokal. Ketegangan terutama terlihat di masyarakat akar rumput, di mana para pengkhotbah agama konservatif berkontribusi pada merajalelanya ujaran kebencian, prasangka, kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kesalahpahaman antara Muslim dan Kristen dan antar sesama muslim, yang sering kali tumpah menjadi konflik kekerasan.
Indonesia telah dan sedang berjibaku dengan sentimen religiusitas, yang sampai batas tertentu mengarah pada eksklusivitas agama, yang dapat bersalin rupa menjadi ekstremisme agama yang mengganggu kohesi sosial yang berlaku. Di tingkat sosial, sebagian masyarakat dari agama yang berbeda masih belum siap menerima dan berinteraksi dengan perbedaan agama dan kepercayaan karena ajaran agama yang berasal dari tafsir yang literal. Hal ini dibuktikan dengan semakin intensifnya tindakan intoleransi seperti penutupan tempat ibadah, serangan terhadap kelompok agama tertentu, penyesatan, dan penyebaran kebencian atas nama agama.
Meningkatnya radikalisasi agama di Indonesia disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang agama lain di kalangan komunitas agama. Beberapa ketegangan yang timbul adalah pengaruh dari tidak adanya pertemuan para pemimpin agama akar rumput dan pemimpin agama muda secara lokal. Jika minimnya perjumpaan antartokoh lintas agama terus terjadi, maka ancaman konflik agama akan semakin memburuk dan mempersulit kerukunan komunal di Indonesia. Dalam kondisi ini, moderasi beragama, termasuk Islam wasathiyyah menghadapi batu ujian kesangsian untuk tetap dianut di Tanah Air.
Memang, muslim Indonesia secara luas diakui sebagai muslim moderat, mengingat mereka umumnya lebih berpikiran terbuka, toleran, dan menghormati pluralisme. Dalam hal ini, tidak berlebihan jika Indonesia diakui sebagai panutan demokrasi bagi negara-negara muslim.
Namun, bukti menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi kebangkitan konservatisme dan radikalisme Islam seperti yang dijelaskan di atas. Muslim moderat tampil sebagai mayoritas diam (silent majority) dalam menyahuti kebangkitan gerakan radikal Islam. Bahkan, gerakan-gerakan Islam radikal menyebarkan secara luas semangat sikap intoleransi, anti-pluralisme, dan gagasan berpikiran Syari'at yang ketat, legal, dan eksklusif, yang dianggap tidak sesuai dengan karakteristik dan keislaman muslim moderat arus utama di Indonesia.
Dinamika sosial dan politik Islam Indonesia telah menarik banyak perhatian dari banyak ulama. Bagi banyak cendekiawan, Islam Indonesia telah digambarkan sebagai rumah bagi Islam moderat. Perkembangan sejarah Islam yang unik di Tanah Air telah mendefinisikan karakteristik Islam di Indonesia sebagai toleran dan menghormati perbedaan sosial-agama. Baik NU maupun Muhammadiyah, sebagai dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, telah terbuka dan menerima ide-ide keagamaan baru, sehingga memungkinkan kedua organisasi untuk menyesuaikan pandangan keagamaan mereka dengan perkembangan sosial dan politik masyarakat Indonesia kontemporer.
Namun, perkembangan politik saat ini telah menimbulkan tantangan baru bagi elite agama tidak hanya dari dua organisasi keagamaan tetapi juga organisasi keagamaan dan sosial lainnya di negara ini. Masuk akal untuk mengasumsikan bahwa para pemimpin organisasi massa Islam akan menanggapi perkembangan saat ini berdasarkan penilaian mereka terhadap kondisi tersebut. Namun, keprihatinan yang luar biasa dengan munculnya konservatisme dan intoleransi di kalangan Muslim selama dua dekade terakhir agak mengabaikan dinamika agama dan sosial-ekonomi kelompok toleran.
Dosen Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII),
Pengurus Mata Garuda Indonesia LPDP Periode 2022-2024
BAGAIMANA kita memprediksi wajah muslim moderat di 2023 dan tahun-tahun mendatang? Apakah trennya akan positif? Atau wajah konservatisme agama akan menguat? Tulisan singkat ini akan mendiskusikan beberapa pertanyaan ini dengan melihat lintasan sejarah Islam, terutama paska reformasi, dan mengulik aspek sosio-politik dari muslim di Tanah Air.
Kita menyaksikan bahwa semenjak era Reformasi 1998 bergulir, Indonesia telah dan sedang mengalami penguatan konservatisme agama (conservative turn) dan Islamisasi ruang publik yang meruyak, ditandai dengan meningkatnya jumlah bank syariah, sekolah Islam tradisional, universitas Islam, dan masjid. Juga, ratusan perda bernuansa syariah yang acap merugikan minoritas, non-Muslim dan perempuan.
Selain itu, kehadiran kelompok transnasional Islam, yang mempropagandakan negara Islam atau kekhalifahan Islam adalah problem tersendiri. Kehadiran kelompok Islam transnasional telah memicu ketegangan tidak hanya dengan komunitas Kristen dan agama-agama lain, tetapi juga di dalam komunitas muslim yang dianggap sempalan, seperti Jamaah Ahmadiyah dan komunitas Syiah serta agama-agama lokal. Ketegangan terutama terlihat di masyarakat akar rumput, di mana para pengkhotbah agama konservatif berkontribusi pada merajalelanya ujaran kebencian, prasangka, kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kesalahpahaman antara Muslim dan Kristen dan antar sesama muslim, yang sering kali tumpah menjadi konflik kekerasan.
Indonesia telah dan sedang berjibaku dengan sentimen religiusitas, yang sampai batas tertentu mengarah pada eksklusivitas agama, yang dapat bersalin rupa menjadi ekstremisme agama yang mengganggu kohesi sosial yang berlaku. Di tingkat sosial, sebagian masyarakat dari agama yang berbeda masih belum siap menerima dan berinteraksi dengan perbedaan agama dan kepercayaan karena ajaran agama yang berasal dari tafsir yang literal. Hal ini dibuktikan dengan semakin intensifnya tindakan intoleransi seperti penutupan tempat ibadah, serangan terhadap kelompok agama tertentu, penyesatan, dan penyebaran kebencian atas nama agama.
Meningkatnya radikalisasi agama di Indonesia disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang agama lain di kalangan komunitas agama. Beberapa ketegangan yang timbul adalah pengaruh dari tidak adanya pertemuan para pemimpin agama akar rumput dan pemimpin agama muda secara lokal. Jika minimnya perjumpaan antartokoh lintas agama terus terjadi, maka ancaman konflik agama akan semakin memburuk dan mempersulit kerukunan komunal di Indonesia. Dalam kondisi ini, moderasi beragama, termasuk Islam wasathiyyah menghadapi batu ujian kesangsian untuk tetap dianut di Tanah Air.
Memang, muslim Indonesia secara luas diakui sebagai muslim moderat, mengingat mereka umumnya lebih berpikiran terbuka, toleran, dan menghormati pluralisme. Dalam hal ini, tidak berlebihan jika Indonesia diakui sebagai panutan demokrasi bagi negara-negara muslim.
Namun, bukti menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi kebangkitan konservatisme dan radikalisme Islam seperti yang dijelaskan di atas. Muslim moderat tampil sebagai mayoritas diam (silent majority) dalam menyahuti kebangkitan gerakan radikal Islam. Bahkan, gerakan-gerakan Islam radikal menyebarkan secara luas semangat sikap intoleransi, anti-pluralisme, dan gagasan berpikiran Syari'at yang ketat, legal, dan eksklusif, yang dianggap tidak sesuai dengan karakteristik dan keislaman muslim moderat arus utama di Indonesia.
Dinamika sosial dan politik Islam Indonesia telah menarik banyak perhatian dari banyak ulama. Bagi banyak cendekiawan, Islam Indonesia telah digambarkan sebagai rumah bagi Islam moderat. Perkembangan sejarah Islam yang unik di Tanah Air telah mendefinisikan karakteristik Islam di Indonesia sebagai toleran dan menghormati perbedaan sosial-agama. Baik NU maupun Muhammadiyah, sebagai dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, telah terbuka dan menerima ide-ide keagamaan baru, sehingga memungkinkan kedua organisasi untuk menyesuaikan pandangan keagamaan mereka dengan perkembangan sosial dan politik masyarakat Indonesia kontemporer.
Namun, perkembangan politik saat ini telah menimbulkan tantangan baru bagi elite agama tidak hanya dari dua organisasi keagamaan tetapi juga organisasi keagamaan dan sosial lainnya di negara ini. Masuk akal untuk mengasumsikan bahwa para pemimpin organisasi massa Islam akan menanggapi perkembangan saat ini berdasarkan penilaian mereka terhadap kondisi tersebut. Namun, keprihatinan yang luar biasa dengan munculnya konservatisme dan intoleransi di kalangan Muslim selama dua dekade terakhir agak mengabaikan dinamika agama dan sosial-ekonomi kelompok toleran.