PAN Sebut Sistem Proporsional Terbuka Hindari Bahaya Nepotisme di Parpol
Sabtu, 14 Januari 2023 - 12:54 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi menilai sistem proporsional terbuka dalam pemilu memiliki banyak sisi positif. Satu di antaranya, menghindari bahaya nepotisme di internal parpol.
Menurut Yoga, setidaknya ada lima hal positif dari sistem proporsional terbuka yang diterapkan dalam pemilu. Pertama, menghindari bahaya nepotisme di internal parpol.
Secara empiris, lanjutnya, jika sistem proporsional tertutup atau berdasarkan nomor urut diterapkan, siapa yang dekat pimpinan parpol akan mendapatkan nomor urut kecil. "Meskipun parpol melakukan rekrutmen secara transparan dan objektif, namun unsur subjektivitas pimpinan selaku policy maker, dalam skala tertentu akan mengalahkan unsur objektivitas," ujar Yoga kepada SINDOnews, Sabtu (14/1/2023).
Kedua, sistem suara terbanyak tidak akan menghilangkan kedaulatan parpol. Hal ini karena yang merekrut, menyusun, dan mendaftarkan caleg ke KPU adalah parpol. Tidak bisa orang per orang karena peserta pemilu legislatif adalah partai politik. "Tentunya parpol akan mengukur caleg tersebut bagaimana kadar dan pemahaman ideologi partainya, basis massa di dapil, kinerja, dan sebagainya," katanya.
Lihat Juga: Delapan Fraksi DPR Menolak Sistem Proporsional Tertutup
Jika terpilih, lanjut Yoga, siapa pun orangnya, sudah diatur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, untuk wajib tunduk, patuh, dan taat pada kebijakan parpol. Parpol memiliki otoritas atau kewenangan mutlak untuk melakukan evaluasi dan pergantian antar waktu jika anggota Dewannya wanprestasi atau melanggar kebijakan parpol. "Setiap anggota Dewan pasti akan berbicara sesuai dengan kebijakan parpolnya. Tidak dapat membawa kepentingan pribadi yang berbeda dengan platform dan kebijakan parpolnya."
Ketiga, sistem suara terbanyak akan mendekatkan caleg terpilih dengan konstituennya. Konstituen dapat lebih mudah melakukan komunikasi dan menyuarakan aspirasi serta kepentingannya untuk diperjuangkan oleh anggota Dewan menjadi kebijakan negara dan direalisasikan dalam bentuk program-program di masyarakat.
"Dengan kata lain tentu juga akan semakin mendekatkan parpol dengan rakyat yang diwakilinya di lembaga legislatif melalui caleg terpilih. Hal ini sama sekali tidak mengganggu atau mendegradasi kedaulatan parpol dalam sistem demokrasi sebab caleg terpilih itu dicalonkan oleh parpol. Justru sebaliknya, malah akan semakin memperkuat kehadiran dan eksistensi parpol di tengah-tengah masyarakat," jelas mantan anggota Pansus RUU Pemilu tersebut.
Keempat, sistem suara terbanyak lebih bersifat adil dibanding sistem nomor urut. Siapa caleg yang bekerja lebih keras di dapil (daerah pemilihan) tentu akan mendapatkan suara lebih banyak. Memilih orang dalam pemilu adalah salah satu tonggak penting membangun kedaulatan rakyat. Rakyat menentukan sendiri siapa yang akan mewakili dirinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya di lembaga legislatif sebagai Wakil Rakyat.
Menurut Yoga, setidaknya ada lima hal positif dari sistem proporsional terbuka yang diterapkan dalam pemilu. Pertama, menghindari bahaya nepotisme di internal parpol.
Secara empiris, lanjutnya, jika sistem proporsional tertutup atau berdasarkan nomor urut diterapkan, siapa yang dekat pimpinan parpol akan mendapatkan nomor urut kecil. "Meskipun parpol melakukan rekrutmen secara transparan dan objektif, namun unsur subjektivitas pimpinan selaku policy maker, dalam skala tertentu akan mengalahkan unsur objektivitas," ujar Yoga kepada SINDOnews, Sabtu (14/1/2023).
Kedua, sistem suara terbanyak tidak akan menghilangkan kedaulatan parpol. Hal ini karena yang merekrut, menyusun, dan mendaftarkan caleg ke KPU adalah parpol. Tidak bisa orang per orang karena peserta pemilu legislatif adalah partai politik. "Tentunya parpol akan mengukur caleg tersebut bagaimana kadar dan pemahaman ideologi partainya, basis massa di dapil, kinerja, dan sebagainya," katanya.
Lihat Juga: Delapan Fraksi DPR Menolak Sistem Proporsional Tertutup
Jika terpilih, lanjut Yoga, siapa pun orangnya, sudah diatur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, untuk wajib tunduk, patuh, dan taat pada kebijakan parpol. Parpol memiliki otoritas atau kewenangan mutlak untuk melakukan evaluasi dan pergantian antar waktu jika anggota Dewannya wanprestasi atau melanggar kebijakan parpol. "Setiap anggota Dewan pasti akan berbicara sesuai dengan kebijakan parpolnya. Tidak dapat membawa kepentingan pribadi yang berbeda dengan platform dan kebijakan parpolnya."
Ketiga, sistem suara terbanyak akan mendekatkan caleg terpilih dengan konstituennya. Konstituen dapat lebih mudah melakukan komunikasi dan menyuarakan aspirasi serta kepentingannya untuk diperjuangkan oleh anggota Dewan menjadi kebijakan negara dan direalisasikan dalam bentuk program-program di masyarakat.
"Dengan kata lain tentu juga akan semakin mendekatkan parpol dengan rakyat yang diwakilinya di lembaga legislatif melalui caleg terpilih. Hal ini sama sekali tidak mengganggu atau mendegradasi kedaulatan parpol dalam sistem demokrasi sebab caleg terpilih itu dicalonkan oleh parpol. Justru sebaliknya, malah akan semakin memperkuat kehadiran dan eksistensi parpol di tengah-tengah masyarakat," jelas mantan anggota Pansus RUU Pemilu tersebut.
Keempat, sistem suara terbanyak lebih bersifat adil dibanding sistem nomor urut. Siapa caleg yang bekerja lebih keras di dapil (daerah pemilihan) tentu akan mendapatkan suara lebih banyak. Memilih orang dalam pemilu adalah salah satu tonggak penting membangun kedaulatan rakyat. Rakyat menentukan sendiri siapa yang akan mewakili dirinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya di lembaga legislatif sebagai Wakil Rakyat.
tulis komentar anda