Koalisi Interdependen Miliki Peluang Besar Usung Anies Baswedan
Kamis, 22 September 2022 - 20:49 WIB
JAKARTA - Elektabilitas Anies Baswedan dalam beberapa bulan terakhir naik dari 16,3% menjadi 17,7%. Hal ini dinilai semakin memantapkan Koalisi Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS untuk mengusung Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Direktur Eksekutif Trust Indonesia Azhari Ardinal mengatakan, keseriusan ketiga partai membangun koalisi di Pilpres 2024 ditunjukkan dengan adanya pertemuan-pertemuan formal dan informal. "Padahal jika dilihat ketiga partai politik tersebut memiliki background dan ideologi politik yang berbeda," katanya kepada wartawan, Kamis (22/9/2022).
Azhari menjelaskan, Partai Nasdem selama ini adalah partai koalisi pemerintah, sedangkan Partai Demokrat dan PKS merupakan oposisi pemerintah.
"Dengan dukungan calon presiden kepada Anies Baswedan, maka Nasdem, Demokrat, dan PKS menjadi koalisi partai politik interdependen (bekerja sama) yang terdiri dari partai politik koalisi dan oposisi," katanya.
Azhari mengatakan kerja sama memiliki peluang besar karena masyarakat memiliki mendapatkan banyak pilihan dalam menentukan calon presiden 2024. "Dengan adanya koalisi interdependen ini, semakin mempertegas bahwa PDIP akan ditinggalkan oleh partai-partai koalisi lainnya," kata Azhari.
"Hal ini akan terjadi jika sikap dan gaya politik PDIP terlalu elitis dan jumawa. Apalagi PDIP sebagai partai pemenang pemilu dan partai wong cilik sikapnya tidak tegas soal kenaikan harga BBM oleh Presiden Jokowi," katanya.
Baca juga: 3 Besar Elektabilitas Capres 2024 Bulan September versi Charta Politika: Ganjar, Prabowo, Anies
Menurut Azhari, PDIP selaku partai pemerintah sangat bertolak belakang dengan sikap sebelumnya saat kenaikan harga BBM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain itu, Azhari juga mengatakan bahwa PDIP mengusulkan tidak mengganti nomor urut partai politik.
"Sebenarnya secara ekonomis ide yang disampaikan oleh Ketua Umum PDIP ini cukup bagus, tapi menjadi sangat politis karena disampaikan langsung oleh Ketua Umum PDIP, karena sebagian besar publik merasakan keberadaan Ketua Umum PDIP hari ini terlalu banyak mengintervensi kebijakan-kebijakan teknis yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan partai koalisinya," katanya.
"Apalagi jika KIB (Golkar, PAN, PPP) dan koalisi Gerindra-PKB saat ini sedang menguat sampai ke tataran grassroot di daerah-daerah. Pilhan PDIP hanya 2, yaitu tidak berkoalisi (mengusung calon presiden sendiri) atau masuk ke dalam koalisi KIB ataupun koalisi Gerindra-PKB," katanya.
Direktur Eksekutif Trust Indonesia Azhari Ardinal mengatakan, keseriusan ketiga partai membangun koalisi di Pilpres 2024 ditunjukkan dengan adanya pertemuan-pertemuan formal dan informal. "Padahal jika dilihat ketiga partai politik tersebut memiliki background dan ideologi politik yang berbeda," katanya kepada wartawan, Kamis (22/9/2022).
Azhari menjelaskan, Partai Nasdem selama ini adalah partai koalisi pemerintah, sedangkan Partai Demokrat dan PKS merupakan oposisi pemerintah.
"Dengan dukungan calon presiden kepada Anies Baswedan, maka Nasdem, Demokrat, dan PKS menjadi koalisi partai politik interdependen (bekerja sama) yang terdiri dari partai politik koalisi dan oposisi," katanya.
Azhari mengatakan kerja sama memiliki peluang besar karena masyarakat memiliki mendapatkan banyak pilihan dalam menentukan calon presiden 2024. "Dengan adanya koalisi interdependen ini, semakin mempertegas bahwa PDIP akan ditinggalkan oleh partai-partai koalisi lainnya," kata Azhari.
"Hal ini akan terjadi jika sikap dan gaya politik PDIP terlalu elitis dan jumawa. Apalagi PDIP sebagai partai pemenang pemilu dan partai wong cilik sikapnya tidak tegas soal kenaikan harga BBM oleh Presiden Jokowi," katanya.
Baca juga: 3 Besar Elektabilitas Capres 2024 Bulan September versi Charta Politika: Ganjar, Prabowo, Anies
Menurut Azhari, PDIP selaku partai pemerintah sangat bertolak belakang dengan sikap sebelumnya saat kenaikan harga BBM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain itu, Azhari juga mengatakan bahwa PDIP mengusulkan tidak mengganti nomor urut partai politik.
"Sebenarnya secara ekonomis ide yang disampaikan oleh Ketua Umum PDIP ini cukup bagus, tapi menjadi sangat politis karena disampaikan langsung oleh Ketua Umum PDIP, karena sebagian besar publik merasakan keberadaan Ketua Umum PDIP hari ini terlalu banyak mengintervensi kebijakan-kebijakan teknis yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan partai koalisinya," katanya.
"Apalagi jika KIB (Golkar, PAN, PPP) dan koalisi Gerindra-PKB saat ini sedang menguat sampai ke tataran grassroot di daerah-daerah. Pilhan PDIP hanya 2, yaitu tidak berkoalisi (mengusung calon presiden sendiri) atau masuk ke dalam koalisi KIB ataupun koalisi Gerindra-PKB," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda