Konflik Berpotensi Jadi Pemicu Aksi Terorisme
Jum'at, 09 September 2022 - 20:01 WIB
JAKARTA - Konflik dan radikalisme seolah telah menjadi dua sisi mata uang yang mustahil dipisahkan. Keduanya memiliki keterkaitan secara resiprokal. Di satu sisi, konflik dapat memicu eskalasi radikalisme. Di sisi lain, radikalisme juga bisa melatari terjadinya konflik.
Direktur Eksekutif Jaringan Moderasi Beragama Indonesia, Islah Bahrawi menjelaskan, konflik horizontal seperti perang saudara, sejatinya bisa menjadi trigger bagi kelompok radikal guna melahirkan aksi teror di wilayah atau suatu negara.
"Seperti yang terjadi di Suriah dan Libya. Ini adalah contoh bagaimana konflik horizontal melahirkan berbagi aksi radikal teror," kata Islah Bahrawi di Jakarta, Jumat (9/9/2022).
Islah melanjutkan, gerakan radikal dan teror di seluruh dunia sarat muatan dan cita-cita politik. Bahkan narasi ambisi politik dituangkan dalam penunggangan agama melalui dalil-dalil. "Persoalan agama yang kemudian memasuki wilayah kepentingan politik, inilah yang menjadi konflik di banyak negara. Kepentingan politik dengan narasi agama bisa menghipnotis orang agar terpecah-belah dan memusuhi satu sama lain," ujarnya.
Untuk itu, ia mengingatkan agar Pemilu 2024 tidak lagi terulang sejarah hitam demokrasi di 2014 dan 2019 yang kental politik identitas hingga menimbulkan konflik SARA. Di sisi lain, Islah telah mendeteksi adanya gejala politisasi agama menjelang tahun politik mendatang.
"Kalau kita berbicara dari perspektif politisasi agama, pada tahun 2024 merupakan 1 abad keruntuhan khilafah terakhir tahun 1924. Artinya tahun 2024 akan menjadi titik krusial di mana politik identitas dan politisasi agama itu akan menjadi suatu pertaruhan luar biasa. Ini yang betul-betul harus diantisipasi," kata Cak Islah, sapaan karibnya.
Saat ini, kata Islah, mulai digelorakan oleh kelompok radikal terkait kemunculan mujaddid atau pembaharu dalam Islam bersamaan dengan peringatan 100 tahun keruntuhan khilafah dengan dilabelkan kepada salah satu calon kandidat presiden. Hal ini diperkuat dengan keyakinan kelompok tersebut melalui hadits yang mengatakan bahwa tiap 100 tahun akan dilahirkan seorang mujaddid.
"Nah ini sebenarnya gejala politisasi agama. Maka di tahun 2024 politisasi agama akan datang berlipat ganda terlebih munculnya partai baru yang mengatasnamakan agama. Bila itu terjadi akan terjadi perang elektoral yang akan lebih detail dengan narasi agama," katanya.
Islah menilai perlunya kesadaran dan partisipasi dari seluruh pihak guna mewaspadai dan menjaga stabilitas, toleransi, dan harmoni dalam lingkungan berbangsa bernegara. Caranya dengan kembali ke dasar ajaran Islam wasathiyah dan menggelorakan konsep moderasi beragama.
Direktur Eksekutif Jaringan Moderasi Beragama Indonesia, Islah Bahrawi menjelaskan, konflik horizontal seperti perang saudara, sejatinya bisa menjadi trigger bagi kelompok radikal guna melahirkan aksi teror di wilayah atau suatu negara.
"Seperti yang terjadi di Suriah dan Libya. Ini adalah contoh bagaimana konflik horizontal melahirkan berbagi aksi radikal teror," kata Islah Bahrawi di Jakarta, Jumat (9/9/2022).
Islah melanjutkan, gerakan radikal dan teror di seluruh dunia sarat muatan dan cita-cita politik. Bahkan narasi ambisi politik dituangkan dalam penunggangan agama melalui dalil-dalil. "Persoalan agama yang kemudian memasuki wilayah kepentingan politik, inilah yang menjadi konflik di banyak negara. Kepentingan politik dengan narasi agama bisa menghipnotis orang agar terpecah-belah dan memusuhi satu sama lain," ujarnya.
Untuk itu, ia mengingatkan agar Pemilu 2024 tidak lagi terulang sejarah hitam demokrasi di 2014 dan 2019 yang kental politik identitas hingga menimbulkan konflik SARA. Di sisi lain, Islah telah mendeteksi adanya gejala politisasi agama menjelang tahun politik mendatang.
"Kalau kita berbicara dari perspektif politisasi agama, pada tahun 2024 merupakan 1 abad keruntuhan khilafah terakhir tahun 1924. Artinya tahun 2024 akan menjadi titik krusial di mana politik identitas dan politisasi agama itu akan menjadi suatu pertaruhan luar biasa. Ini yang betul-betul harus diantisipasi," kata Cak Islah, sapaan karibnya.
Saat ini, kata Islah, mulai digelorakan oleh kelompok radikal terkait kemunculan mujaddid atau pembaharu dalam Islam bersamaan dengan peringatan 100 tahun keruntuhan khilafah dengan dilabelkan kepada salah satu calon kandidat presiden. Hal ini diperkuat dengan keyakinan kelompok tersebut melalui hadits yang mengatakan bahwa tiap 100 tahun akan dilahirkan seorang mujaddid.
"Nah ini sebenarnya gejala politisasi agama. Maka di tahun 2024 politisasi agama akan datang berlipat ganda terlebih munculnya partai baru yang mengatasnamakan agama. Bila itu terjadi akan terjadi perang elektoral yang akan lebih detail dengan narasi agama," katanya.
Islah menilai perlunya kesadaran dan partisipasi dari seluruh pihak guna mewaspadai dan menjaga stabilitas, toleransi, dan harmoni dalam lingkungan berbangsa bernegara. Caranya dengan kembali ke dasar ajaran Islam wasathiyah dan menggelorakan konsep moderasi beragama.
tulis komentar anda