Saatnya Jadi Manusia Digital untuk Hijrah dari Narasi Kebencian dan Perpecahan

Sabtu, 30 Juli 2022 - 13:55 WIB
Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai sejak era pandemi Covid-19 masyarakat Indonesia pada khususnya mengalami kondisi ‘Mendadak Digital’. Foto/ist
JAKARTA - Jagad maya masih disibukkan dengan berbagai konten narasi yang bernuansa hasutan, cacian, provokasi, dan adu domba. Banyak sekali kasus hukum di Indonesia yang terkait dengan ujaran kebencian .

Karena itulah, Indonesia membutuhkan upaya dan gerakan bersama untuk hijrah dari narasi kebencian yang berpotensi memecah-belah persatuan bangsa, sebab persoalannya bukan sekadar dampak hukum, namun, implikasi sosial retaknya persatuan menjadi taruhannya.

Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai sejak era pandemi Covid-19 masyarakat Indonesia pada khususnya mengalami kondisi ‘Mendadak Digital’. Akibatnya, masyarakat seakan belum siap untuk hidup dan bermasyarakat di dua dunia baik dunia maya dan dunia nyata.





“Karena kita ini mendadak digital, dan kita ini tidak siap harus hidup di dua dunia baik dunia maya dan dunia nyata. Kalau sopan santun, tata krama di dunia nyata kan kita dari kecil sudah dilatih, tapi kehidupan di ruang digital, kita belum tahu bagaimana cara hidupnya,” ujar Devie Rahmawati di Jakarta, Jumat (29/7/2022).

Dirinya melanjutkan, untuk itu masyarakat juga harus dituntut untuk menjadi manusia digital yang memiliki 4 aspek dalam dirinya agar mampu hidup dan bersosialisasi dengan baik khususnya di ruang dunia maya, yaitu keterampilan, etika, budaya, dan keamanan digital.

“Kalau empat aspek ini dikuasai maka Insya Allah masyarakat akan aman dan nyaman. Jangan hanya menekankan pada aspek keterampilan, tapi lupa aspek etika, budaya, dan keamanan digital. Sehingga empat hal itu sebagai pilar yang wajib dikuasai kalau ingin hidup paripurna dan sempurna di ruang digital,” jelas wanita yang juga berkarier sebagai praktisi komunikasi profesional ini.

Pasalnya, dewasa ini sering dijumpai kasus dan fenomena yang cukup miris, dimana banyak tokoh dan elite yang justru membuat kegaduhan di jagad maya melalui narasi kebencian yang menjurus pada perpecahan di masyarakat. Hal ini semakin diperparah dengan karakter sosial masyarakat Indonesia, yaitu Patron-Klien atau ‘Lokomotif-Gerbong’, yang membuat masyarakat cenderung lebih sering mengikuti apa yang dicontohkan oleh elite, penguasa atau pemimpinnya.

“Kehadiran para tokoh dan elite menjadi krusial, karena Indonesia inikan karakter sosialnya patron-klien, atau lokomotif-gerbong. Sehingga cara percepatannya adalah terlebih dahulu memastikan para tokoh, elite itu memiliki empat hal tadi itu. Karena mereka akan menjadi contoh,” kata perempuan yang pernah menjabat sebagai Direktur Kemahasiswaan Universitas Indonesia ini.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More