Pengamat Ajak Netizen Kawal Kasus Brigadir J Sesuai Data

Rabu, 27 Juli 2022 - 15:05 WIB
Sejumlah orang membongkar makam almarhum Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di Sungai Bahar, Muarojambi, Jambi, Rabu (27/7/2022). FOTO/ANTARA/Wahdi Septiawan
JAKARTA - Kasus penembakan Brigadir J oleh Bharada E di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 menyedot perhatian publik. Banyak informasi berseliweran di media sosial tanpa disertakan bukti maupun data terkait peristiwa tersebut.

Founder Klinik Digital, Devie Rahmawati mengatakan, informasi di media sosial bergerak bagaikan tsunami dalam kasus Brigadir J. Dengan minimnya data dan fakta dari penyelidikan menyeluruh, tak jarang satu sisi persepsi menjadi penentu opini publik.

"Dalam konteks kasus Brigadir J, awal viralnya kasus ini jelas berangkat dari opini yang begitu sengkarut. Justifikasi yang santer pada awal sebuah kasus yang digiring opini publik, tak jarang memberikan dampak negatif orang yang tidak bersalah," kata Devie dalam keterangannya dikutip Rabu (27/7/2022).



Yang mengkhawatirkan dari tuduhan di awal informasi viral, bukan saja reputasi seseorang, tetapi jejaringnya. Padahal, jika ditelisik kesalahan dari justifikasi awal netizen bisa jadi salah.

"Akan menjadi bijak, bila kita semua mengawal terus kasus Brigadir J. Berbagai kasus yang viral lainnya di media sosial dengan pikiran terbuka, dan memberikan kesempatan para ahli yang sesuai kompetensinya untuk mengumpulkan data-data objektif," katanya.

Menurut Devie, tidak semua informasi di media sosial menjadi berkah. Justru sebagian menjadi bencana karena diwarnai banyak prasangka. "Tetapi sering juga kita temui informasi yang tidak bermanfaat, bahkan opini tidak berimbang. Gulungan informasi viral menjadi alat untuk menjustifikasi sebuah pembenaran yang terus disebarkan, dan justru mengaburkan kebenaran," katanya.

Baca juga: Komnas HAM: Brigadir J Tewas di Jakarta, Bukan dalam Perjalanan Magelang-Jakarta

Pada hakikatnya, kata Devie, media sosial menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas, yang memungkinkan setiap pengguna beraksi bebas. Praktik anonimitas yang memungkinkan pengguna bersembunyi dalam identitas berbeda, membuatnya mudah menjustifikasi informasi sesuai keinginannya.

"Dari beberapa kasus viral di media sosial, tak jarang tuduhan-tuduhan yang berujung kesalahan. Jari-jari netizen yang pada awal kasus viral pun tidak terkena pertanggungjawaban," katanya.

Di dunia digital, Devie mengatakan, watak manusia Indonesia yang dulu ramah berubah menjadi marah dan dikenal sebagai masyarakat yang berang. Menurutnya, watak baru manusia Indonesia di ruang digital ini sering kemudian bertemu dengan fenomena cancel culture yang menafikan atau mengasingkan sosok, kelompok, atau produk tertentu.

"Sehingga, aksi pemboikotan berbasis praduga tanpa data ini berujung menjadikan cancel culture sebagai cancer culture dalam masyarakat, yang bisa membunuh hidup dan penghidupan seseorang," katanya.
(abd)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More