Perindo Dukung MUI Masukkan Perzinaan dan Kumpul Kebo ke RKUHP
Jum'at, 15 Juli 2022 - 11:22 WIB
JAKARTA - Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia ( Perindo ) Bidang Keagamaan Abdul Khaliq Ahmad menyatakan perluasan pasal perzinaan dalam RKUHP merupakan upaya perlindungan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan. Sebab yang paling banyak menjadi dalam hal perzinaan korban adalah perempuan.
Menurutnya, hal ini sekaligus upaya pemuliaan dan penghormatan pada lembaga pernikahan sebagai ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang diresmikan secara norma agama, norma hukum dan norma sosial.
"Kita sependapat dengan sikap MUI yang mendukung aturan pidana terkait perbuatan perzinaan dan kumpul kebo dalam RKUHP, ini sebagai kemajuan yang patut diapresiasi dan segera disahkan menjadi Undang-undang," kata Khaliq kepada MNC Portal Indonesia yang dikutip Jumat (15/7/2022).
Diketahui, pasal perzinaan merupakan satu dari beberapa pasal yang disepakati DPR dan Pemerintah dalam pembahasan RKUHP. Pasal tersebut diatur dalam Pasal 417 RKUHP yang memuat tentang zina; Pasal 418 RKUHP mengenai larangan tinggal bersama sebagai suami isteri di luar perkawinan (kumpul kebo); dan Pasal 414-416 RKUHP yang intinya mengatur ancaman pidana terhadap hak atas kesehatan seksual dan reproduksi.
Pasal 417 ayat (1) yang mengatur soal perzinaan menyebutkan "Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II (Rp10 juta),"
Pasal 417 ayat (2) menyebutkan "Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya."
Khaliq melanjutkan, aturan di atas berbeda dengan KUHP lama di mana hanya pasangan suami atau istri yang bisa melaporkan tindakan perzinaan diikuti dengan gugatan cerai. Uraian itu diatur dalam Pasal 284 ayat (2) "Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga."
Pasal 418 ayat (2) menyebutkan "Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua atau anaknya,"
Pasal 418 ayat (3) menyebutkan "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya,"
"Perluasan pasal perzinaan dalam RKUHP ini diharapkan mampu menguatkan karakter bangsa yang bersumber pada nilai-nilai luhur budaya bangsa yang terkristalisasi dalam Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia," ujarnya.
Menurutnya, hal ini sekaligus upaya pemuliaan dan penghormatan pada lembaga pernikahan sebagai ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang diresmikan secara norma agama, norma hukum dan norma sosial.
"Kita sependapat dengan sikap MUI yang mendukung aturan pidana terkait perbuatan perzinaan dan kumpul kebo dalam RKUHP, ini sebagai kemajuan yang patut diapresiasi dan segera disahkan menjadi Undang-undang," kata Khaliq kepada MNC Portal Indonesia yang dikutip Jumat (15/7/2022).
Diketahui, pasal perzinaan merupakan satu dari beberapa pasal yang disepakati DPR dan Pemerintah dalam pembahasan RKUHP. Pasal tersebut diatur dalam Pasal 417 RKUHP yang memuat tentang zina; Pasal 418 RKUHP mengenai larangan tinggal bersama sebagai suami isteri di luar perkawinan (kumpul kebo); dan Pasal 414-416 RKUHP yang intinya mengatur ancaman pidana terhadap hak atas kesehatan seksual dan reproduksi.
Pasal 417 ayat (1) yang mengatur soal perzinaan menyebutkan "Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II (Rp10 juta),"
Pasal 417 ayat (2) menyebutkan "Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya."
Khaliq melanjutkan, aturan di atas berbeda dengan KUHP lama di mana hanya pasangan suami atau istri yang bisa melaporkan tindakan perzinaan diikuti dengan gugatan cerai. Uraian itu diatur dalam Pasal 284 ayat (2) "Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga."
Pasal 418 ayat (2) menyebutkan "Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua atau anaknya,"
Pasal 418 ayat (3) menyebutkan "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya,"
"Perluasan pasal perzinaan dalam RKUHP ini diharapkan mampu menguatkan karakter bangsa yang bersumber pada nilai-nilai luhur budaya bangsa yang terkristalisasi dalam Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia," ujarnya.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda