Demokrat Sebut Risiko Utang Pemerintahan Jokowi Sangat Mengkhawatirkan
Selasa, 05 April 2022 - 10:17 WIB
JAKARTA - Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Marwan Cik Asan menilai risiko utang pemerintah saat ini sangat mengkhawatirkan di mana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjelaskan bahwa posisi utang Indonesia telah menembus Rp7.014 triliun pada Februari 2022. Peningkatan itu menyebabkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) naik menjadi 40,17% dan menimbulkan risiko yang cukup besar serta membebankan generasi bangsa selanjutnya.
"Sampai akhir periode Pemerintahan Presiden Jokowi jumlah utang pemerintah akan menembus angka Rp10.000 triliun dengan rasio utang sekitar 50% dari PDB. Peningkatan jumlah utang pada era Pemerintahan Jokowi sangat luar biasa. Dalam 2 tahun sejak pandemi, jumlah utang bulanan pemerintah rata-rata bertambah Rp102,2 triliun. Angka tersebut melonjak tiga kali lipat dari jumlah utang periode Oktober 2014 hingga Desember 2019 yang hanya berada pada kisaran Rp35,2 triliun per bulan," ujar Marwan kepada wartawan, Selasa (5/4/2022).
Anggota Badan Anggaran DPR RI itu menjelaskan pada periode pertama Pemerintahan Jokowi (2014-2019) tambahan utang pemerintah mencapai Rp2.155 triliun, sedangkan untuk periode kedua (2019-2024) diproyeksikan akan menembus angka Rp5.500 triliun.
Menurutnya, selama 7 tahun pemerintahan Jokowi, tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya mencapai 5% atau tidak pernah mencapai target dalam APBN dengan akumulasi utang Rp4.400 triliun. Tentunya, jika di bandingkan pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun, rata-rata pertumbuhan ekonomi 6% dengan akumulasi utang sebesar Rp1.300 triliun.
"Sangat fantastis utang negara kita saat ini, apakah ini kemajuan atau kemunduran, biarkan masyarakat yang menilainya. Menteri Keuangan menyatakan bahwa kondisi utang pemerintah masih dalam batas wajar dan aman, namun akumulasi utang yang terus bertambah memberikan beberapa risiko yang harus diwaspadai pemerintah seperti menurunnya rasio pajak hingga sebesar 9% ditahun 2021," jelasnya.
"Kondisi ini menggambarkan bahwa kemampuan pemerintah untuk membayar cicilan dan bunga utang yang bersumber dari penerimaan pajak sudah tidak memungkinkan. Sehingga ketergantungan terhadap utang akan semakin besar untuk menutupi utang yang jatuh tempo," terang Marwan.
Anggota Komisi XI DPR ini menjelaskan pembayaran bunga utang akan semakin membebani APBN. Untuk APBN 2022, pemerintah mengalokasikan dana Rp405,87 triliun untuk pembayaran bunga utang, nilai tersebut porsinya mencapai 20,87% dari total belanja pemerintah pusat. Kondisi ini tentu akan mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan belanja produktif.
Dari sisi imbal hasil, kata dia, biaya utang Indonesia tergolong mahal. Data ADB, sepanjang tahun 2020, untuk utang jangka waktu 10 tahun, imbal hasil Jepang hanya 0,03%, China 2,99%, Thailand 1,29%, dan Malaysia 2,5%. Sementara Indonesia 6,72% atau jadi yang tertinggi dalam daftar ADB.
Imbasnya, pemerintah harus membagi fokus belanja. Dari yang seharusnya bisa memaksimalkan anggaran untuk kesejahteraan, peningkatan kualitas SDM, sampai infrastruktur, harus dialokasikan untuk pembayaran bunga utang.
"Sampai akhir periode Pemerintahan Presiden Jokowi jumlah utang pemerintah akan menembus angka Rp10.000 triliun dengan rasio utang sekitar 50% dari PDB. Peningkatan jumlah utang pada era Pemerintahan Jokowi sangat luar biasa. Dalam 2 tahun sejak pandemi, jumlah utang bulanan pemerintah rata-rata bertambah Rp102,2 triliun. Angka tersebut melonjak tiga kali lipat dari jumlah utang periode Oktober 2014 hingga Desember 2019 yang hanya berada pada kisaran Rp35,2 triliun per bulan," ujar Marwan kepada wartawan, Selasa (5/4/2022).
Anggota Badan Anggaran DPR RI itu menjelaskan pada periode pertama Pemerintahan Jokowi (2014-2019) tambahan utang pemerintah mencapai Rp2.155 triliun, sedangkan untuk periode kedua (2019-2024) diproyeksikan akan menembus angka Rp5.500 triliun.
Menurutnya, selama 7 tahun pemerintahan Jokowi, tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya mencapai 5% atau tidak pernah mencapai target dalam APBN dengan akumulasi utang Rp4.400 triliun. Tentunya, jika di bandingkan pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun, rata-rata pertumbuhan ekonomi 6% dengan akumulasi utang sebesar Rp1.300 triliun.
"Sangat fantastis utang negara kita saat ini, apakah ini kemajuan atau kemunduran, biarkan masyarakat yang menilainya. Menteri Keuangan menyatakan bahwa kondisi utang pemerintah masih dalam batas wajar dan aman, namun akumulasi utang yang terus bertambah memberikan beberapa risiko yang harus diwaspadai pemerintah seperti menurunnya rasio pajak hingga sebesar 9% ditahun 2021," jelasnya.
"Kondisi ini menggambarkan bahwa kemampuan pemerintah untuk membayar cicilan dan bunga utang yang bersumber dari penerimaan pajak sudah tidak memungkinkan. Sehingga ketergantungan terhadap utang akan semakin besar untuk menutupi utang yang jatuh tempo," terang Marwan.
Anggota Komisi XI DPR ini menjelaskan pembayaran bunga utang akan semakin membebani APBN. Untuk APBN 2022, pemerintah mengalokasikan dana Rp405,87 triliun untuk pembayaran bunga utang, nilai tersebut porsinya mencapai 20,87% dari total belanja pemerintah pusat. Kondisi ini tentu akan mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan belanja produktif.
Dari sisi imbal hasil, kata dia, biaya utang Indonesia tergolong mahal. Data ADB, sepanjang tahun 2020, untuk utang jangka waktu 10 tahun, imbal hasil Jepang hanya 0,03%, China 2,99%, Thailand 1,29%, dan Malaysia 2,5%. Sementara Indonesia 6,72% atau jadi yang tertinggi dalam daftar ADB.
Imbasnya, pemerintah harus membagi fokus belanja. Dari yang seharusnya bisa memaksimalkan anggaran untuk kesejahteraan, peningkatan kualitas SDM, sampai infrastruktur, harus dialokasikan untuk pembayaran bunga utang.
tulis komentar anda