Peringati Hari Ibu, Partai Perindo: Solusi Perlindungan Perempuan, Sahkan RUU TPKS Segera!
Rabu, 22 Desember 2021 - 19:53 WIB
JAKARTA - Tertundanya proses legislasi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS oleh DPR menjadi topik pembicaraan hangat dalam webinar Partai Persatuan Indonesia ( Partai Perindo ) dalam rangka Hari Ibu. Diyakini sebagai perlindungan terhadap perempuan dan anak, Ketua Bidang Perempuan dan Anak DPP Partai Perindo Ratih Gunaevy mendesak DPR tidak lagi menunda pengesahan RUU TPKS menjadi UU.
Partai Perindo meyakini UU itu sudah dinantikan masyarakat Indonesia, terlebih bagi korban tindak kekerasan, keluarga, dan pendamping korban. UUtersebut dinilai penting bagi perlindungan, penanganan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual, termasuk sebagai payung hukum agar kasus-kasus serupa tidak lagi terjadi di tengah kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia.
"Mudah-mudahan tahun depan sudah ada keputusan RUU TPKS, sehingga hukuman bagi pelaku bisa diputuskan dan dilaksanakan demi rasa aman bagi kaum perempuan dan anak," kata Ratih saat menjadi Pembicara dalam Webinar yang digelar Partai Perindo bertajuk Darurat Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anakpada Hari Ibu, Rabu (22/12/2021).
Pada webinar Partai Perindo tersebut, Koordinator Bidang Advokasi PP Fatayat NU Wahidah Syuaib memaparkan setidaknya ada 4 alasan mengapa RUU TPKS mendesak untuk dibahas dan perlu segera dijadikan Undang-Undang.
Pertama, kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat berkali-kali lipat. Kondisi ini menjadi ancaman nyata bagi manusia serta kemanusiaan dan bisa menimpa siapa saja.
Kedua, kekerasan seksual mengoyak manusia dan kemanusiaan. Selain itu, menimbulkan dampak fisik, psikis kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi dan politik bagi korban seketika dan berkelanjutan.
"Ada beberapa korban kekerasan seksual yang pasti merasakan seketika dan berkelanjutan. Ada korban perkosaaan yang sudah lebih dari 20 tahun mengalami peristiwa itu dan betul-betul menjadi momok sepanjang hidupnya, trauma," ungkapnya.
Ketiga, keterbatasan payung hukum dalam mengidentifikasi dan mendefinisikan jenis-jenis kekerasan seksual yang belum mencakup seluruhnya, sehingga menghambat hukuman berat kepada predator seks maupun perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
Partai Perindo meyakini UU itu sudah dinantikan masyarakat Indonesia, terlebih bagi korban tindak kekerasan, keluarga, dan pendamping korban. UUtersebut dinilai penting bagi perlindungan, penanganan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual, termasuk sebagai payung hukum agar kasus-kasus serupa tidak lagi terjadi di tengah kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia.
"Mudah-mudahan tahun depan sudah ada keputusan RUU TPKS, sehingga hukuman bagi pelaku bisa diputuskan dan dilaksanakan demi rasa aman bagi kaum perempuan dan anak," kata Ratih saat menjadi Pembicara dalam Webinar yang digelar Partai Perindo bertajuk Darurat Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anakpada Hari Ibu, Rabu (22/12/2021).
Pada webinar Partai Perindo tersebut, Koordinator Bidang Advokasi PP Fatayat NU Wahidah Syuaib memaparkan setidaknya ada 4 alasan mengapa RUU TPKS mendesak untuk dibahas dan perlu segera dijadikan Undang-Undang.
Pertama, kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat berkali-kali lipat. Kondisi ini menjadi ancaman nyata bagi manusia serta kemanusiaan dan bisa menimpa siapa saja.
Kedua, kekerasan seksual mengoyak manusia dan kemanusiaan. Selain itu, menimbulkan dampak fisik, psikis kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi dan politik bagi korban seketika dan berkelanjutan.
"Ada beberapa korban kekerasan seksual yang pasti merasakan seketika dan berkelanjutan. Ada korban perkosaaan yang sudah lebih dari 20 tahun mengalami peristiwa itu dan betul-betul menjadi momok sepanjang hidupnya, trauma," ungkapnya.
Ketiga, keterbatasan payung hukum dalam mengidentifikasi dan mendefinisikan jenis-jenis kekerasan seksual yang belum mencakup seluruhnya, sehingga menghambat hukuman berat kepada predator seks maupun perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
tulis komentar anda