Operasi Kuta, Taktik Pasukan Intelijen Benny Moerdani Bongkar Dokumen Rahasia Portugal
Senin, 22 November 2021 - 05:25 WIB
JAKARTA - Revolucao dos Cravos atau Revolusi Anyelir pada 25 April 1974 di Portugal menjadi sorotan Jakarta. Bukan apa-apa, Portugal memiliki koloni yang juga tetangga Indonesia yaitu Timor Timur (dulu disebut Timor Portugis, kini Timor Leste ).
Revolusi Anyelir menjadikan Portugal melepas beberapa koloni mereka, antara lain Angola dan Mozambik di Afrika. Soeharto melihat bukan tidak mungkin saat itu Portugal juga bakal memberikan kemerdekaan untuk Timor Timur.
Tak dimungkiri, meletusnya Revolusi Anyelir menjadikan situasi di Portugal mengalami perubahan drastis. Kudeta tak berdarah itu menentang rezim Caetano-Salazar yang disebut dengan kediktatoran otoriter (Estado Novo) atau negara baru yang membanggakan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, namun sarat dengan penindasan.
“Pemerintahan Salazar kemudian digantikan oleh Jenderal Spinola yang kemudian diangkat menjadi Presiden Portugal. Spinola mengusulkan program dekolonisasi untuk wilayah-wilayah jajahannya,” kata Daud Aris Tanudirjo dalam buku "Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 8", dikutip pada Senin (22/11/2021).
Revolusi Anyelir juga berdampak pada Timor Timur. Sebulan sejak terjadinya revolusi itu, sentimen rakyat bergolak saat Portugal melarang pembentukan partai politik pribumi. Ada tiga pilihan politik yang diberikan untuk rakyat Timor Timur: bergabung dengan persemakmuran yang dibentuk Portugis, meminta kemerdekaan penuh, atau bergabung dengan Indonesia.
Menurut Zaky Anwar dalam buku "Hari-Hari Terakhir Timor Timur: Sebuah Kesaksian", kebijakan dekolonisasi yang telah direncanakan oleh Portugal tidak mempunyai kesatuan konsep yang pasti. Hal ini mengakibatkan janji-janji untuk mengembalikan hak-hak sipil dan demokrasi, serta kebebasan membentuk partai politik di Timor Timur tidak sepenuhnya dapat dijalankan.
“Perkembangan situasi di Timor Portugis semakin membingungkan. Jakarta terutama, menjadi semakin waspada ketika pada bulan Januari terjadi persetujuan antara kedua partai yang mendukung kemerdekaan: keduanya memusatkan oposisi terhadap Apodeti yang pro-Indonesia,” kata Ken Conboy, lulusan Georgetown University School of Foreign Service dalam bukunya "Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia".
Revolusi Anyelir menjadikan Portugal melepas beberapa koloni mereka, antara lain Angola dan Mozambik di Afrika. Soeharto melihat bukan tidak mungkin saat itu Portugal juga bakal memberikan kemerdekaan untuk Timor Timur.
Tak dimungkiri, meletusnya Revolusi Anyelir menjadikan situasi di Portugal mengalami perubahan drastis. Kudeta tak berdarah itu menentang rezim Caetano-Salazar yang disebut dengan kediktatoran otoriter (Estado Novo) atau negara baru yang membanggakan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, namun sarat dengan penindasan.
Baca Juga
“Pemerintahan Salazar kemudian digantikan oleh Jenderal Spinola yang kemudian diangkat menjadi Presiden Portugal. Spinola mengusulkan program dekolonisasi untuk wilayah-wilayah jajahannya,” kata Daud Aris Tanudirjo dalam buku "Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 8", dikutip pada Senin (22/11/2021).
Revolusi Anyelir juga berdampak pada Timor Timur. Sebulan sejak terjadinya revolusi itu, sentimen rakyat bergolak saat Portugal melarang pembentukan partai politik pribumi. Ada tiga pilihan politik yang diberikan untuk rakyat Timor Timur: bergabung dengan persemakmuran yang dibentuk Portugis, meminta kemerdekaan penuh, atau bergabung dengan Indonesia.
Menurut Zaky Anwar dalam buku "Hari-Hari Terakhir Timor Timur: Sebuah Kesaksian", kebijakan dekolonisasi yang telah direncanakan oleh Portugal tidak mempunyai kesatuan konsep yang pasti. Hal ini mengakibatkan janji-janji untuk mengembalikan hak-hak sipil dan demokrasi, serta kebebasan membentuk partai politik di Timor Timur tidak sepenuhnya dapat dijalankan.
Baca Juga
“Perkembangan situasi di Timor Portugis semakin membingungkan. Jakarta terutama, menjadi semakin waspada ketika pada bulan Januari terjadi persetujuan antara kedua partai yang mendukung kemerdekaan: keduanya memusatkan oposisi terhadap Apodeti yang pro-Indonesia,” kata Ken Conboy, lulusan Georgetown University School of Foreign Service dalam bukunya "Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia".
Lihat Juga :
tulis komentar anda