Pengamat Intelijen Pertanyakan Simpatisan KKB Tak Ditangkap, Termasuk Veronica Koman
Jum'at, 24 September 2021 - 07:24 WIB
JAKARTA - Pengamat Intelijen Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib mengatakan, ada 4 hal yang perlu disoroti dalam penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang kini semakin sering menyerang warga sipil Papua.
Pertama, kata Ridlwan, terkait permasalahan gelar pasukan, di mana mekanisme pergerakan pasukan TNI di Papua terkendala dengan beberapa peraturan.
"Sebenarnya wewenang siapa pergerakan pasukan itu sampai ke ranah terdepan? memberantas KKB, teroris ini pertanyaan penting, karena kalau kemudian KKB sudah menjadi teroris, maka kalau kita menggerakkan TNI harus ada payung hukumnya. Saat ini peraturan presiden, TNI mengatasi terorisme itu belum ditandatangani bapak presiden sampai hari ini dan belum di keluarkan perpresnya, sehingga kemudian mekanisme pergerakan pasukan ini nggak bisa leluasa," kata Ridlwan dalam Dialektika Demokrasi yang bertajuk "Jalan Terjal Pemberantasan KKB di Papua" di Media Center DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/9/2021).
Baca juga: 1 Prajurit TNI Gugur Saat Hendak Evakuasi Jenazah Suster Gabriela, Pelakunya KKB Ngalum Kupel
Ridlwan menjelaskan, jika TNI salah salah bertindak, Komisi I bisa memanggil Panglima TNI bahkan Presiden Jokowi karena pergerakan pasukan militer itu adalah keputusan politik pemerintah dan keputusan politik presiden. Sebab, KKB ini sebenarnya kecil, seperti Lekagak Telenggen di Kabupaten Puncak yang estimasinya sekitar 100-150 personel. Namun mereka punya kemampuan bertahan hidup di vegetasi di hutan-hutan Papua yang sangat dalam dan lebat, karena merupakan lingkungannya sejak kecil. Jadi, jika pasukan yang didatangkan berasal dari Jember, Malang atau Bandung, maka akan sulit beradaptasi.
"Untuk memudahkan gelar pasukan misalnya Pangkostrad misalnya Bapak Dudung mau menggerakkan pasukan 1 batalyon dari Bogor, Divisi 1 ke Kabupaten puncak, itu harus ada landasan hukumnya. Karena itu mari kita pertanyakan kenapa Perpres TNI, mengatasi terorisme belum juga keluar," ujarnya.
Kedua, Ridlwan melanjutkan, operasi opini media, khususnya di media sosial yang sangat masif dilakukan oleh KKB. Selama tiga hari terakhir ini ada broadcast WhatsApp dari orang yang mengaku juru bicara TPN/OPM, Sebby Sambom yang berisi memperingatkan bagi siapa pun orang Indonesia yang masih ada di Papua apapun profesinya, tidak keluar dari Papua akan dihabisi. Anehnya, pesan ini justru beredar di Jakarta dan di Papua sendiri terlambat menerima pesan itu.
Baca juga: Komisi I Minta Aparat Tindak Pejabat Daerah yang Diduga Sokong KKB Papua
Pertama, kata Ridlwan, terkait permasalahan gelar pasukan, di mana mekanisme pergerakan pasukan TNI di Papua terkendala dengan beberapa peraturan.
"Sebenarnya wewenang siapa pergerakan pasukan itu sampai ke ranah terdepan? memberantas KKB, teroris ini pertanyaan penting, karena kalau kemudian KKB sudah menjadi teroris, maka kalau kita menggerakkan TNI harus ada payung hukumnya. Saat ini peraturan presiden, TNI mengatasi terorisme itu belum ditandatangani bapak presiden sampai hari ini dan belum di keluarkan perpresnya, sehingga kemudian mekanisme pergerakan pasukan ini nggak bisa leluasa," kata Ridlwan dalam Dialektika Demokrasi yang bertajuk "Jalan Terjal Pemberantasan KKB di Papua" di Media Center DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/9/2021).
Baca juga: 1 Prajurit TNI Gugur Saat Hendak Evakuasi Jenazah Suster Gabriela, Pelakunya KKB Ngalum Kupel
Ridlwan menjelaskan, jika TNI salah salah bertindak, Komisi I bisa memanggil Panglima TNI bahkan Presiden Jokowi karena pergerakan pasukan militer itu adalah keputusan politik pemerintah dan keputusan politik presiden. Sebab, KKB ini sebenarnya kecil, seperti Lekagak Telenggen di Kabupaten Puncak yang estimasinya sekitar 100-150 personel. Namun mereka punya kemampuan bertahan hidup di vegetasi di hutan-hutan Papua yang sangat dalam dan lebat, karena merupakan lingkungannya sejak kecil. Jadi, jika pasukan yang didatangkan berasal dari Jember, Malang atau Bandung, maka akan sulit beradaptasi.
"Untuk memudahkan gelar pasukan misalnya Pangkostrad misalnya Bapak Dudung mau menggerakkan pasukan 1 batalyon dari Bogor, Divisi 1 ke Kabupaten puncak, itu harus ada landasan hukumnya. Karena itu mari kita pertanyakan kenapa Perpres TNI, mengatasi terorisme belum juga keluar," ujarnya.
Kedua, Ridlwan melanjutkan, operasi opini media, khususnya di media sosial yang sangat masif dilakukan oleh KKB. Selama tiga hari terakhir ini ada broadcast WhatsApp dari orang yang mengaku juru bicara TPN/OPM, Sebby Sambom yang berisi memperingatkan bagi siapa pun orang Indonesia yang masih ada di Papua apapun profesinya, tidak keluar dari Papua akan dihabisi. Anehnya, pesan ini justru beredar di Jakarta dan di Papua sendiri terlambat menerima pesan itu.
Baca juga: Komisi I Minta Aparat Tindak Pejabat Daerah yang Diduga Sokong KKB Papua
tulis komentar anda